Kapitaslisme Menggusur Papua. (Foto: Ist) |
Oleh: Frans Nawipa
Ekonomi
kapitalisme disebut-sebut, mati dengan krisis dunia yang terjadi di Amerika
Serikat (AS) saat ini. Runtuhnya gedung kembar World Trade Center (WTC) pada
tanggal 11/9/99 merupakan awal mula simbol kapitalisme tersebut sebenarnya
mulai tumbang. Jika dihitung terpaut 8 tahun antara krisis ekonomi di AS dan
runtuhnya WTC. Betulkah kapitalisme akan mati? Pertanyaan tersebut masih debatable.
Namun,
bagi bangsa Indonesia terutama yang pro pada ekonomi alternatif, kapitalisme
memang harus segera diganti biar kita tidak kalang kabut seperti sekarang,.
Amerika yang terkena krisis tapi dampaknya bisa dirasakan oleh seluruh Negara
di dunia termasuk Indonesia. Biar kita terbebas dari dampak yang timbul dari
resesi yang sama, bangsa kita harus merumuskan model perekonomian alternatif
yang aman.
Trauma
krisis tahun 1996, bisa menjadi contoh, betapa bangsa kita sempat anjlok luar
biasa saat diterpa dampak krisis regional. Kurs rupiah dari Rp 2500 naik
menjadi Rp 11000 per dolar AS, sebuah angka yang sempat membuat perekonomian
negara kita kolaps dalam waktu yang cukup lama. Dashyat benar krisis saat itu,
bukan bank-bank saja yang harus dilikuidasi tapi di sektor yang lain pun saat
itu mengalami kekacauan yang teramat luar biasa.
Politik
berjalan dengan abnormal, orang miskin karena PHK bergelimang dan masih banyak
lagi. Membayangkan hari-hari saat krisis memang teramat pilu dan menggetirkan.
Tidak perlu jauh-jauh, di Papua efek ekonomi kapitalisme yang terjadi di luar sana
bisa juga kita lihat di sini. Kapitalisme dipersoalkan karena wataknya yang
tidak sesuai dengan semangat hidup bangsa kita yang pada dasarnya bersifat
komunal. Individualism, jurang antara yang kaya dan miskin dalam memperoleh
kekayaan begitu sangat lebar adalah sedikit dari watak buruk ekonomi impor
tersebut. Kapitalisme juga berwatak tega terhadap ekonomi kecil.
Bukti otentik kapitalisme memang
teramat menggetirkan. Seolah dalam sekejap wajah Papua yang 10 tahun silam
masih begitu ‘ramah’ tapi sekarang ini ekonomi di Papua menjadi sangat
‘angkuh’. Di sepanjang jalan terlihat ada yang kontras, ekonomi kapitalisme
berdiri dengan angkuhnya dengan memperlihatkan kemewahannya, sementara di
depannya berjejer para penjual pinang, sayur-sayuran, kerajinan yang saya
simbolkan dengan kesederhanaan.
Memang sepintas ekonomi kota
berjalan dengan simbiosis-mutualisme tapi tahukah implikasi dari fenomena model
tersebut? Menggetirkan dan menghawatirkan!. Dua kalimat itu memang tidak cukup
mewakili kecemasan kita. Tapi fakta bahwa Papua sedang mengalami proses
aliaenasi pelan-pelan dengan watak kapitalisme adalah sesuatu yang tidak bisa
kita hindari lagi.
Nafri, Abepantai, Skyline, Yoka dan
Pulau Koso adalah beberapa kampung yang bisa kita jadikan contoh dari implikasi
dari kapitalisme yang menggusur tadi. Kampung pertama (Nafri) penduduknya
mayoritas Orang Asli Papua (OAP).
Beberapa dasawarsa yang lalu, mereka
dikenal sebagai pemilik tanah di sebagian kota Jayapura. Tapi tahukah Anda
sekarang, tanah mereka yang banyak tadi sudah terjual demi proyek yang bernama
pembangunan. Sejahterakah mereka setelah mereka memperoleh uang dari penjualan
tanah tersebut? Hemat penulis tidak! Kampung Nafri perlahan menjadi kampung
yang kumuh dan paling ditakuti karena sangat rawan dengan tindakan
kriminalitas.
Tentu, mudah-mudahan ini bukan
pertanda kalau pembangunan perlahan-lahan mulai menggusur mereka seperti
fenomena masyarakat Betawi di Jakarta. Abepantai adalah kampung yang konon
sebagai kampung paling ramai di kota Jayapura dahulu kala. Penghuni kampung ini
rata-rata adalah pendatang yaitu orang Buton, Fak-Fak dan lain-lain. Keramaian
kampung ini sama seperti daerah kunjungan wisata para perantau dari Buton.
Dimanapun orang Buton bertebaran di kota
Jayapura, pasti mereka sangat mengenal kampung ini. Keunikan kampung ini
terletak pada pesta Kadayo dan cewek-ceweknya. Sudah pasti daya tarik inilah
yang membuat kampung ini begitu ramai pada saat itu. Tentu selain itu, kampung
ini terkenal dengan lumbung pertanian yang mensejahterakan masyarakat setempat.
Tapi apa yang terjadi setelah pembangunan digalakan?
Realitas kampung ini lagi-lagi
menggetirkan, kampung ini sekarang menjadi kampung yang kumuh dan gelap di
malam hari karena masyarakatnya enggan menyalakan lampu. Lapangan pekerjaan pertanian
yang menjadi tumpuan hidup mereka selama ini perlahan mulai hilang karena
geliat pembangunan yang luar biasa. Banyak diantara mereka kini mulai beralih
profesi, sebagai pemungut sampah, kuli bangunan, tukang ojek dan lain-lain.
Lagi-lagi dalam sekejap pula, kampung ini
menjadi kampung yang tidak menarik. Identitas kampung Buton yang “wah” di masa
lalu, kini berubah 180 derajat menjadi kampung Buton yang kumuh dan terpinggir.
Pelajaran apa yang bisa kita peroleh dari realitas tersebut? Pertama, pembangunan
dipercaya dapat mempercepat kemajuan suatu daerah memang tidak bisa dibantah.
Tapi tahukah dimanapun pembangunan, pasti melahirkan efek negatif.
Arif Budiman dalam bukunya
Pembangunan Dunia Ketiga (Gramedia;1991) tercengang dengan model ekonomi kapitalisme
yang begitu cepat menggusur dan mengalienasi masyarakat yang tidak siap. Kedua,
tahukah juga bahwa alianasi tersebut terjadi karena penguasaan sektor-sektor
vital dimiliki oleh beberapa gelintir orang. Kasus penguasaan tanah oleh sebuah
perusahaan terhadap tanah-tanah yang ada di kota Jayapura dan sekitarnya telah
menyebabkan kebingungan baru bagi sebagian masyarakat kita.
Mereka dilarang berkebun dan
akhirnya terjadi pengangguran baru karena tanah-tanah yang tadinya menjadi
lahan pertanian kini telah dipatok oleh pemiliknya. Kasus ini bisa ditemukan
pada masyarakat petani di Skyline.
Begitupula dengan motif pembangunan
yang ingin menggusur masyarakat pulau Koso, Jayapura Selatan. Para penghuninya
yang rata-rata berprofesi sebagai nelayan itu ingin ditertibkan karena di
anggap merusak pemandangan pembangunan. Teralienasinya masyarakat dari proses
pembangunan akan semakin banyak terjadi. Kasus daerah-daerah itu hanya sedikit
dari contoh kapitalisme yang menggusur.
Lalu apa yang harus diperbuat agar
pembangunan bisa lebih ramah pada kelompok yang rentan di atas? Program
pemberdayaan dengan model piramida terbalik sebenarnya sangat tepat dalam
menjawab problem tersebut – porsi anggaran lebih besar ke kampung-kampung
daripada untuk pemerintah.
Tapi fakta di lapangan, program itu
ternyata tidak berjalan dengan baik karena perilaku elit kita sendiri. Jika
ditarik, perilaku elit yang tidak konsisten itu sesungguhnya adalah bagian dari
ekses kapitalisme juga. Jadi, impian bahwa pembangunan yang bernama berkeadilan
sebenarnya tidak ada dalam logika kapitalisme.
Jika banyak Negara yang sudah
terjebak dan sudah melawan kapitalisme seperti Bolivia, Venezuela dan beberapa
Negara di Asia. Mengapa bangsa ini belum juga merumuskan sesuatu yang baru dan
dapat menyelamatkan ekses negatif dari ekonomi kapitalisme tersebut?
Keinginan
itu pastinya ada tapi tanpa pemerintah yang kuat, berani dan konsisten maka
bangsa ini akan tetap berkutat di situ saja. Kita bagai negara yang berada
dalam lingkaran setan kapitalisme.
Kendati
kita sadar bahwa ini salah tapi kita tidak punya keberanian untuk mengambil
keputusan secara cepat dan berani. Sebelum kita terjerambab dalam krisis sosial
karena geliat pembangunan, khususnya di Papua maka patut kiranya kita bisa
membaca tanda-tanda ekses kapitalisme tadi dengan bijak.
Siapa
lagi yang harus berpikir dan mengantisipasi efek-efek kapitalisme di sekeliling
kita kalau bukan generasi sekarang. Jika kita terbuai dengan model sekarang
maka sesungguhnya kita tidak ada bedanya dengan keledai.
Contoh
kota-kota besar yang mengagung-agungkan kemajuan fisik dalam waktu 32 tahun
hanya menghasilkan beberapa gelintir orang kaya tapi melahirkan puluhan juta
rakyat yang kehilangan masa depan yang bertebaran di kolong-kolong jembatan.
Kita
tinggal memilih, maukah kita seperti keledai yang jatuh di lubang yang sama?
Tentu kita berharap apa yang terjadi di kota besar lain, tidak akan sampai
terjadi di Papua. Kalau itu impian kita, maka saatnya kita berbenah bila kita
masih ingin otensitas budaya, alam dan masyarakat kita bisa terjaga baik dari
generasi ke generasi.
Penulis:Frans
Nawipa Ketua Aliansi Mahaiswa papua (AMP) Jakarta
0 thoughts on “Kapitalisme Menggusur Papua ”