(Sumber: Foto, Dok. Ist/KM) |
Artikel - (KM). Hantu komunis yang dihembuskan sejak rezim Orde Baru berdiri, bukan hanya menciptakan paranoid di masyarakat namun menciptakan sebuah stigmatisasi yang menjauhkan pemahaman masyarakat untuk mengetahui apa dan bagaimana ideologi komunis di Indonesia secara obyektif. Pemahaman obyektif yang dimaksudkan adalah bukan sekedar melekatkan istilah bahaya laten komunisme yang telah melakukan penculikan dan pembantaian tujuh jenderal pada 30 September 1965 serta berniat melakukan makar terhadap negara namun menelaah akar kemunculan ideologi komunisme, perkembangannya di Indonesia, tokoh dan pemikiran komunisme, peran historis di era revolusi dan paska kemerdekaan Indonesia hingga pembubaran ideologi komunisme di Indonesia oleh rezim Orde Baru serta dampak pelarangan ideologi komunis dan partai komunis yang berupa konflik sosial horisontal yang berwujud pembunuhan massal atas nama ideologi.
Istilah komunisme hanyalah salah satu cabang pemikiran radikal dari sosialisme. Untuk memahami istilah komunisme sebaiknya kita memahami terlebih dahulu apa dan bagaimana sosialisme itu. Berbicara mengenai sosialisme dan pemikiran Karl Marx, fakta historis mengatakan bahwa para sudah sejak masa revolusi fisik dan paska kemerdekaan, ideologi sosialisme dan pemikiran Karl Marx diakrabi oleh para pendiri bangsa (founding fathers) dan parta-partai nasionalis maupun agama. Jeanne S. Mintz mengatakan, “Revolusi Indonesia diperjuangkan di atas dasar prinsip-prinsip nasionalise yang amat diwarnai sosialisme. Baik pemimpin maupun organisasi-organisasi sosial politik besar di masa revolusi pada umumnya adalah kelompok sayap kiri”[1].
Hal senada dikatakan Peter Kasenda, “Sebenarnya sejumlah pemimpin Indonesia telah bersentuhan dengan sebuah partai sosialis yang berkembang di negeri kincir angin”[2].
Sebelum lebih jauh menelisik pengaruh ideologi sosialisme dan pemikiran Karl Marx terhadap para pendiri bangsa (founding fathers) dan parta-partai nasionalis maupun agama, kita akan menelaah secara singkat mengenai definisi dan konsepsi sosialisme.
Encylopaedia Britannica mendefinisikan sosialisme sbb: “Social and economic doctrine that calls for public rather than private ownership or control of property and natural resources. According to the socialist view, individuals do not live or work in isolation but live in cooperation with one another. Furthermore, everything that people produce is in some sense a social product, and everyone who contributes to the production of a good is entitled to a share in it. Society as a whole, therefore, should own or at least control property for the benefit of all its members”[3]
Encylopaedia Britannica mendefinisikan sosialisme sbb: “Social and economic doctrine that calls for public rather than private ownership or control of property and natural resources. According to the socialist view, individuals do not live or work in isolation but live in cooperation with one another. Furthermore, everything that people produce is in some sense a social product, and everyone who contributes to the production of a good is entitled to a share in it. Society as a whole, therefore, should own or at least control property for the benefit of all its members”[3]
(Ajaran sosial dan ekonomi yang menyerukan kepemilikan atau kontrol properti dan sumber daya alam oleh publik tinimbang pribadi. Menurut pandangan kaum sosialis, individu tidak tinggal atau bekerja di ruang tertutup namun hidup dalam kerjasama antara satu sama lain. Selain itu, segala sesuatu yang dihasilkan masyarakat memiliki arti sebagai produk sosial dan semua orang yang memberikan kontribusi untuk produksi barang tersebut berhak untuk bagian di dalamnya. Oleh karenanya, masyarakat secara keseluruhan, harus memiliki atau setidaknya mengendalikan properti untuk kepentingan semua anggotanya). Melengkapi definisi di atas, kita tambahkan penjelasan Joseph A. Schumpeter sbb: “Melalui masyarakat sosialis, kami akan membentuk pola kelembagaan yang mengatur kontrol atas sarana-sarana produksi dan produksi itu sendiri adalah tetap dengan otoritas pusat – atau, sebagaimana yang kami katakan sebagai masalah prinsip, urusan ekonomi masyarakat adalah milik publik dan bukan pada ranah swasta. Sosialisme disebut sebagai cendekiawan Proteus (dalam mitologi Yunani satu dewa profetik yang melayani Poseidon, mampu mengubah bentuknya jika diinginkan)”[4].
Dari kedua definisi di atas kita dapat mendeskripsikan bahwa sosialisme adalah sistem ekonomi dimana kontrol terhadap gerak perekonomian ada di tangan publik (negara), masyarakat dibandingkan individu (pengusaha, pemilik modal). Bahkan Schumpeter menyebutnya sebagai cendekiawan Proteus yang melayani Poseidon yang bermakna bahwa sosialisme bersifat melayani masyarakat.
Sebelum Karl Marx mencetuskan istilah sosialisme ilmiah dan komunisme, rumusan dan konsepsi tentang sosialisme itu sendiri sudah berkembang jauh sebelumnya sebagaimana dikatakan Frans Magnis Suseno, “Cita-cita sosialisme sudah dicetuskan jauh sebelum Marx mulai memikirkan revolusi proletariat. Banyak dari gagasan-gagasan yang akan menjadi pokok pemikirannya diperolehnya dari tulisan para pemikir sosialis sebelumnya”[5].
Sebelum Karl Marx mencetuskan istilah sosialisme ilmiah dan komunisme, rumusan dan konsepsi tentang sosialisme itu sendiri sudah berkembang jauh sebelumnya sebagaimana dikatakan Frans Magnis Suseno, “Cita-cita sosialisme sudah dicetuskan jauh sebelum Marx mulai memikirkan revolusi proletariat. Banyak dari gagasan-gagasan yang akan menjadi pokok pemikirannya diperolehnya dari tulisan para pemikir sosialis sebelumnya”[5].
Pemikiran sosialisme sudah dimulai sejak budaya Yunani kuno khususnya pemikiran Plato yang mengajarkan bahwa kasta filosof yang layak memimpin negara dan harus memiliki sejumlah kriteria yang antara lain tidak mempunyai kepemilikan pribadi dan tidak boleh berkeluarga. Selain Plato, ada Euhemeros dan Jambulos yang mendeskripsikan “negara matahari” dimana segala sesuatu, termasuk istri adalah milik bersama. Para filsuf Stoa mengajarkan bahwa pada zaman keemasan segala sesuatu adalah milik bersama. Ketika muncul hak milik pribadi, terjadilah bencana[6].
Di zaman Renaissance (Abad XV) mulai terjadi pergeseran pemikiran mengenai konsepsi sosialisme. Mulai banyak orang mengkhayalkan sebuah komunitas dengan tatanan nilai bersama yang ideal dengan tujuan kemakmuran dan kesejahteraan bersama. Motifasi dibelakang gagasan utopia tersebut tidak dilandasi latar belakang keagamaan melainkan bersifat sosial. Hak milik pribadi dituding sebagai cikal bakal konflik sosial, kondisi ekonomi yang buruk di kelas bawah, sehingga cara untuk menyembuhkan semua masalah sosial tersebut adalah peniadaan hak milik pribadi, kewajiban setiap orang untuk menkerja, penyamaan pendapatan dan hak semua orang, pengorganisasian produksi oleh negara. Istilah utopia berasal dari buku karya Thomas Morus atau Sir Thomas More (1478-1535) berjudul Utopia. Utopia sendiri adalah nama untuk sebuah pulau yang disinggung dalam buku tersebut, dimana segala sesuatu dimiliki bersama dan semua orang menikmati pendapatan yang sama dengan dan melalui bekerja. Masing-masing orang bekerja di sebuah tanah namun bukan sebagai pemilik melainkan sebagai karyawan komunitas. Penulis berikutnya bernama Campanella (1568-1639) yang menuliskan buku berjudul Negara Matahari yang mengusung tata sosial kemasyarakatan menurut cita-cita kehidupan bersama. Masih ada sejumlah pemikir lain yang menuangkan gagasan mengenaoi kolektivisme sosial seperti Gabriel Mably (1709-1785), William Goldwin (1756-1836) serta Morely (1755)[7]
Pandangan-pandangan sosialis modern terbentuk antara 1789 (permulaan Revolusi Prancis) dan 1848 (Revolusi 1846) melalui dua peristiwa penting yang menjadi konteks kelahiran sosialisme yaitu Revolusi Prancis (1789-1795) dan Revolusi Industri. Revolusi Prancis menghasilkan warisan pemikiran mengenai kesetaraan dan kesederajaatan sosial sementara Revolusi Industri menghasilkan struktur kesenjangan sosial berupa munculnya proletariat industrial yaitu kaum buruh yang memperlihatkan jurang perbedaan ekonomi yang mendalam dengan kelas orang kaya[8].
Frans Magnis Suseno meletakkan konteks historis kemunculan kata Sosialisme pada periode 1830-an di Prancis. Baik istilah sosialisme dan komunisme dipergunakan secara bergantian untuk menunjuk makna yang sama, namun dalam perkembangannya istilah komunisme dipergunakan untuk aliran sosialis yang lebih radikal yang menuntut penghapusan hak milik pribadi dan kesamaan konsumsi[9].
Di zaman Renaissance (Abad XV) mulai terjadi pergeseran pemikiran mengenai konsepsi sosialisme. Mulai banyak orang mengkhayalkan sebuah komunitas dengan tatanan nilai bersama yang ideal dengan tujuan kemakmuran dan kesejahteraan bersama. Motifasi dibelakang gagasan utopia tersebut tidak dilandasi latar belakang keagamaan melainkan bersifat sosial. Hak milik pribadi dituding sebagai cikal bakal konflik sosial, kondisi ekonomi yang buruk di kelas bawah, sehingga cara untuk menyembuhkan semua masalah sosial tersebut adalah peniadaan hak milik pribadi, kewajiban setiap orang untuk menkerja, penyamaan pendapatan dan hak semua orang, pengorganisasian produksi oleh negara. Istilah utopia berasal dari buku karya Thomas Morus atau Sir Thomas More (1478-1535) berjudul Utopia. Utopia sendiri adalah nama untuk sebuah pulau yang disinggung dalam buku tersebut, dimana segala sesuatu dimiliki bersama dan semua orang menikmati pendapatan yang sama dengan dan melalui bekerja. Masing-masing orang bekerja di sebuah tanah namun bukan sebagai pemilik melainkan sebagai karyawan komunitas. Penulis berikutnya bernama Campanella (1568-1639) yang menuliskan buku berjudul Negara Matahari yang mengusung tata sosial kemasyarakatan menurut cita-cita kehidupan bersama. Masih ada sejumlah pemikir lain yang menuangkan gagasan mengenaoi kolektivisme sosial seperti Gabriel Mably (1709-1785), William Goldwin (1756-1836) serta Morely (1755)[7]
Pandangan-pandangan sosialis modern terbentuk antara 1789 (permulaan Revolusi Prancis) dan 1848 (Revolusi 1846) melalui dua peristiwa penting yang menjadi konteks kelahiran sosialisme yaitu Revolusi Prancis (1789-1795) dan Revolusi Industri. Revolusi Prancis menghasilkan warisan pemikiran mengenai kesetaraan dan kesederajaatan sosial sementara Revolusi Industri menghasilkan struktur kesenjangan sosial berupa munculnya proletariat industrial yaitu kaum buruh yang memperlihatkan jurang perbedaan ekonomi yang mendalam dengan kelas orang kaya[8].
Frans Magnis Suseno meletakkan konteks historis kemunculan kata Sosialisme pada periode 1830-an di Prancis. Baik istilah sosialisme dan komunisme dipergunakan secara bergantian untuk menunjuk makna yang sama, namun dalam perkembangannya istilah komunisme dipergunakan untuk aliran sosialis yang lebih radikal yang menuntut penghapusan hak milik pribadi dan kesamaan konsumsi[9].
Berturut-turut kemudian sejumlah nama turut mewarnai rumusan sosialisme modern al., Babeuf yang menuliskan buku Manifesto Kaum Plebeyi, kemudian Saint Simon yang mengusulkan istilah Politik Fisika dimana negara harus dijalankan menurut metode fisikan dan kimia, lantas Robert Owen yang mendirikan komunitas-komunitas dan koperasi-koperasi teladan, nama Fourier muncul dengan gagasan organisasi perekonomian dalam komunitas harmonis bernama Phalansterium yaitu pemukiman-pemukiman agraris kecil mandiri yang hidup dari pertanian dan pertukangan serta memproduksi kebutuhan mereka sendiri. Ada pula Etienne Cabet yang menuliskan buku berjudul Voyage en Icare (Perjalanan di Ikaria) yang mirip dengan konsepsi Utopia-nya Sir Thomas More, ada pula nama Louis Auguste Blanqui yang merumuskan aksi boikot buruk dan pengorganisasian pemberontakan oleh kaum buruh. Weitling pada tahun 1938 menuliskan brosur berjudul Die Menscheit, wie sie ist und wie sie sein solte (Umat manusia, bagaimana keadaannya dan bagaimana seharusnya keadaannya) yang bersifat agitatif ke arah pemberontakkan. Tahun 1840 seorang bernama Proudhon menuliskan brosur berjudul Qu’est-ce la propriete (Apa itu hak milik) yang dijawabnya sendiri: La propriete c’est le vol (Hak milik itu hasil curian) dimana tulisan itu menyerang mengenai konsep hak milik pribadi. Bagi Proudhon, La propriete c’est la liberte (Hak milik itulah kebebasan). Louis Blanc menuliskan buku Oraganisation du travail (Organisasi pekerjaan) yang mengusulkan mengenai adanya Ateliers sociaux (Bengkel-bengkel sosial) untuk menyingkirkan adanya kompetisi di antara perusahaan-perusahaan swasta. Dan terakhir Moses Hess yang menggerakkan sosialisme yang bercorak religius dan menekankan revolusi sosial agar terjadi perdamaian abadi dan masyarakat tanpa kelas dengan kepemilikan bersama[10].
Pemetaan historis di atas menolong kita untuk menelusuri akar pemikiran sosialisme yang dalam bentuk radikalnya menjadi komunisme yang digaungkan oleh Karl Marx dalam buku magnum opusnya berjudul Das Capital. Sosialisme mencita-citakan sebuah pemerintahan dan sistem ekonomi yang berkeadilan melalui proses evolusi, sementara komunisme menempuh jalur revolusi. Setelah kita memahami apa dan bagaimana sosialisme dan perbedaannya dengan komunisme, kita kembali kepada penjelasan Jeanne S. Mintz mengenai corak pemikiran nasionalisme berwarna sosialisme yang mempengaruhi pemikiran para pendiri bangsa dan organisasi-organisasi kepartaian pada zaman itu. Menurutnya, “Filsafat yang mendominasi pada masa itu adalah sintesa dari tiga ketegangan: Pertama, prinsip-prinsip nasionalis revolusioner dalam tradisi yang pada tahun 1927 diprakarsai oleh PNI dan terhimpun begitu fasihnya dalam Indonesia Menggugat! Kedua, sosialisme eklektis yang disodorkan oleh Hatta dan Syahrir dan ketiga, sosialisme religius yang berakar dalam ajaran Islam modern seperti yang pernah berkembang selama bertahun-tahun sejak Serikat Islam sampai Muhammadiyah. Penyimpangan-penyimpangan dari filsafat sosialisme ini adalah kelompok-kelompok komunis Stalinis dan kelompok-kelompok komunis nasionalis Tan Malaka di sebelah kiri, serta orang-orang Islam konservatif yang ortodox di sebelah kanan”[11].
Pemetaan historis di atas menolong kita untuk menelusuri akar pemikiran sosialisme yang dalam bentuk radikalnya menjadi komunisme yang digaungkan oleh Karl Marx dalam buku magnum opusnya berjudul Das Capital. Sosialisme mencita-citakan sebuah pemerintahan dan sistem ekonomi yang berkeadilan melalui proses evolusi, sementara komunisme menempuh jalur revolusi. Setelah kita memahami apa dan bagaimana sosialisme dan perbedaannya dengan komunisme, kita kembali kepada penjelasan Jeanne S. Mintz mengenai corak pemikiran nasionalisme berwarna sosialisme yang mempengaruhi pemikiran para pendiri bangsa dan organisasi-organisasi kepartaian pada zaman itu. Menurutnya, “Filsafat yang mendominasi pada masa itu adalah sintesa dari tiga ketegangan: Pertama, prinsip-prinsip nasionalis revolusioner dalam tradisi yang pada tahun 1927 diprakarsai oleh PNI dan terhimpun begitu fasihnya dalam Indonesia Menggugat! Kedua, sosialisme eklektis yang disodorkan oleh Hatta dan Syahrir dan ketiga, sosialisme religius yang berakar dalam ajaran Islam modern seperti yang pernah berkembang selama bertahun-tahun sejak Serikat Islam sampai Muhammadiyah. Penyimpangan-penyimpangan dari filsafat sosialisme ini adalah kelompok-kelompok komunis Stalinis dan kelompok-kelompok komunis nasionalis Tan Malaka di sebelah kiri, serta orang-orang Islam konservatif yang ortodox di sebelah kanan”[11].
Bukan hanya pemikir-pemikir individu yang menjadikan sosialisme sebagai pisau analisis perjuangan dan perlawanan terhadap sistem kapitalisme dan imperialisme namun sejumlah partai-partai selain partai komunis pun menggunakan ideologi sosialisme sebagaimana dikatakan Jeanne S. Mintz, “Dari empat partai besar, kecuali satu yaitu NU, semuanya mewakili atau mengklaim dirinya mewakili salah satu bentuk ajaran sosialis”[12].
Partai-partai yang dimaksudkan adalah Partai Nasional Indonesia (PNI) yang mengusung pemikiran Sukarno, Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dengan para pemikir sosialis religius di dalamnya (Natsir, Roem, Syafrudin, Sukiman), Partai Sosialis Indonesia (PSI) pimpinan Sutan Syahrir, Partai Murba (Musyawarah Rakyat Banyak) yang berasal dari Gerakan Revolusi Rakyat (GRR) pimpinan Tan Malaka, serta Partai Komunis Indonesia (PKI) yang mengalami banyak evolusi kepemimpinan sebelum diketuai D.N. Aidit.
Mengapa pemikiran-pemikiran Karl Marx dan gagasan sosialisme begitu memikat para pendiri bangsa untuk dipergunakan sebagai pisau analisis dan alat perjuangan? Sangat jelas bahwa pemikiran Karl Marx dan gagasan sosialisme berpihak pada nasib rakyat kecil dan kelompok-kelompok strata ekonomi bawah. Kemiskinan bukan diterima sebagai sebuah realitas deterministik melainkan disebabkan oleh sistem dan struktur yang menyebabkan kemiskinan dan sistem itu adalah ideologi kapitalisme yang melahirkan dan mendorong imperialisme. Rakyat yang mengalami ketertindasan dan kemiskinan akibat imperialisme dan kapitalisme merasa mendapatkan jawaban bahwa apa yang mereka alami melalui pisau analisis Marxis yang membahas pertentangan kelas, eksploitasi nilai lebih oleh kaum kapitalis serta harapan-harapan profetik mengenai masa depan dimana rakyat akan mengambil alih kekuasaan dan melenyapkan sistem kapitalisme.
Kita mulai dengan mengkaji pemikiran Bung Karno yang sarat dengan konsep dan rumusan sosialisme dan analisis Marxis. Peter Kasenda mendeskripsikan kegandrungan Bung Karno terhadap konsepsi Karl Marx dan gagasan-gagasan sosialis dengan mengatakan, “Marxisme telah memberikan kepada Sukarno alat yang paling sistematis dalam analisis sosial dan dalam pengkajiannya tentang sifat kekuasaan kolonialisme”[13].
Mengapa pemikiran-pemikiran Karl Marx dan gagasan sosialisme begitu memikat para pendiri bangsa untuk dipergunakan sebagai pisau analisis dan alat perjuangan? Sangat jelas bahwa pemikiran Karl Marx dan gagasan sosialisme berpihak pada nasib rakyat kecil dan kelompok-kelompok strata ekonomi bawah. Kemiskinan bukan diterima sebagai sebuah realitas deterministik melainkan disebabkan oleh sistem dan struktur yang menyebabkan kemiskinan dan sistem itu adalah ideologi kapitalisme yang melahirkan dan mendorong imperialisme. Rakyat yang mengalami ketertindasan dan kemiskinan akibat imperialisme dan kapitalisme merasa mendapatkan jawaban bahwa apa yang mereka alami melalui pisau analisis Marxis yang membahas pertentangan kelas, eksploitasi nilai lebih oleh kaum kapitalis serta harapan-harapan profetik mengenai masa depan dimana rakyat akan mengambil alih kekuasaan dan melenyapkan sistem kapitalisme.
Kita mulai dengan mengkaji pemikiran Bung Karno yang sarat dengan konsep dan rumusan sosialisme dan analisis Marxis. Peter Kasenda mendeskripsikan kegandrungan Bung Karno terhadap konsepsi Karl Marx dan gagasan-gagasan sosialis dengan mengatakan, “Marxisme telah memberikan kepada Sukarno alat yang paling sistematis dalam analisis sosial dan dalam pengkajiannya tentang sifat kekuasaan kolonialisme”[13].
Dalam pandangan-pandangan politik paling awal Sukarno muda sudah tampak adanya upaya, walaupun pada waktu itu masih belum disadari, ke arah suatu sintesis dari ketiga aliran yang mempengaruhinya – nasionalisme, islamisme dan marxisme. Tahun 1921, Sukarno mengatakan: “Setelah tercipta kondisi-kondisi dan setelah terbentuk parlemen kita sendiri…Sarekat Islam hendaknya jangan menghentikan kegiatannya; ia harus bekerja untuk memperkukuh demokrasi dan Islam di Indonesia, juga untuk menghapuskan kapitalisme”[14].
Perlawanan dan penghapusan kapitalisme adalah gagasan yang kental berwarna sosialisme khususnya sosialisme radikal macam komunisme yang dicetuskan Karl Marx. Fase kedua dari kehidupan Sukarno khususnya setelah keluar dari penjara sampai masa pembuangan (1932-1933), “pikiran-pikirannya didominasi oleh slogan-slogan Marxis”[15], demikian ulasan Kasenda.
(Penulis adalah Mahasiswa Papua, Kuliah di Tanah Colonial Indonesia)
Referensi:
[1] Jeanne S. Mintz, Muhammad, Marx, Marhaen: Akar Sosialisme Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2003, hal 111
[2] Peter Kasenda, Sukarno, Marxisme & Leninisme: Akar Pemikiran Kiri dan Revolusi Indonesia, Depok: Komunitas Bambu 2014, hal 5
[3] Socialism http://www.britannica.com/EBchecked/topic/551569/socialism
[4] Joseph A. Schumpeter, Capitalism, Socialism & Democracy, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013, hal 272
[5] Frans Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011, hal 13
[6] Ibid., hal 14
[7] Ibid., hal 16-17
[8] Ibid., hal 18
[9] Ibid., hal 19
[10] Ibid., hal 20-44
[11] Loc. Cit., Muhammad, Marx, Marhaen: Akar Sosialisme Indonesia, hal 111
[12] Ibid., hal 176
[13] Peter Kasenda, Sukarno Muda: Biografi Pemikiran 1926-1933, Depok: Komunitas Bambu, 2014, hal 123
[14] Ibid., hal 118
[15] Ibid., hal 122
(Penulis adalah Mahasiswa Papua, Kuliah di Tanah Colonial Indonesia)
Referensi:
[1] Jeanne S. Mintz, Muhammad, Marx, Marhaen: Akar Sosialisme Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2003, hal 111
[2] Peter Kasenda, Sukarno, Marxisme & Leninisme: Akar Pemikiran Kiri dan Revolusi Indonesia, Depok: Komunitas Bambu 2014, hal 5
[3] Socialism http://www.britannica.com/EBchecked/topic/551569/socialism
[4] Joseph A. Schumpeter, Capitalism, Socialism & Democracy, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013, hal 272
[5] Frans Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011, hal 13
[6] Ibid., hal 14
[7] Ibid., hal 16-17
[8] Ibid., hal 18
[9] Ibid., hal 19
[10] Ibid., hal 20-44
[11] Loc. Cit., Muhammad, Marx, Marhaen: Akar Sosialisme Indonesia, hal 111
[12] Ibid., hal 176
[13] Peter Kasenda, Sukarno Muda: Biografi Pemikiran 1926-1933, Depok: Komunitas Bambu, 2014, hal 123
[14] Ibid., hal 118
[15] Ibid., hal 122
0 thoughts on “Hantu Komunis yang Dihembuskan Sejak Rezim Orde Baru Berdiri ”