Ilustrasi.Ist |
IPTEK- Selama ini ilmuwan memimpikan teknologi superkonduktor yang
laik pasar. Perkaranya, untuk menghantarkan listrik tanpa kehilangan energi,
superkonduktor membutuhkan suhu kritis yang berada jauh di bawah suhu ruangan.
Fenomena yang dikenal hampir setiap orang adalah, selain
cahaya, bohlam konvensional juga memproduksi panas. Tapi hanya 10 persen energi
yang dikonversi jadi cahaya oleh bohlam lampu. Dan 90 persen dubah menjadi
panas.
Tapi mengapa arus listrik berubah menjadi sesuatu yang
berbeda? Dari mana cahaya dan panas berasal? Kuncinya ada pada hambatan
listrik. Arus listrik - elektron mengalir melalui kawat penghantar - melepas
energi ke atom kawat penghantar. Semakin besar hambatan, semakin besar energi
yang dilepaskan oleh atom dan suhunya akan bertambah panas. Kawat penghantar
yang sangat tipis akan menjadi merah menyala: hasilnya cahaya dan panas.
Pada bohlam, efek semacam ini diinginkan. Tapi pada banyak
kasus, energi justru menghilang. Seperti pada jaringan listrik saluran udara.
Seabad yang lalu, ahli fisika Belanda Heike Kamerlingh Onnes
menemukan, bahwa dalam kondisi tertentu beberapa material tidak lagi memiliki
hambatan listrik. Lalu menjadi "superkonduktif". Kamerlingh Onnes
menggunakan helium cair untuk mendinginkan merkuri hingga mencapai suhu minus
269 derajat. Ini hampir mencapai nol absolut, suhu yang paling rendah di alam.
Hasil analisanya menunjukkan, dalam keadaan super dingin, logam kehilangan
tahanan listrik.
Selama berabad-abad, efek ini hanya menarik bagi para ahli
fisika. Tapi di akhir abad 20, peneliti menemukan, bahwa material menjadi
superkonduktif pada suhu yang lebih tinggi. Pada minus 196 derajat, efeknya
sudah bisa dimanfaatkan. Suhu rendah tersebut bisa dicapai dengan nitrogen
cair, bahan yang bisa diperoleh dengan mudah karena juga digunakan untuk
kebutuhan industri lainnya.
Superkonduktor dikenal manfaatnya untuk MRI, pencitraan
resonansi magnetik. Kumparan magnet superkonduktif mampu menghasilan medan
magnetik kuat, yang tidak akan bisa dicapai dengan material konvensional. Hasil
pindaian MRI memberikan citra sesungguhnya dari jaringan tubuh yang tidak akan
bisa diperoleh dari sinar X.
Kumparan superkonduktif juga digunakan pada keret maglev
yang bobotnya puluhan ton. Kereta berada dalam posisi mengambang di atas rel
dan mampu melaju hingga lebih dari 580 kilometer per jam.
Idealnya, jika superkonduktivitas bisa digunakan untuk
transmisi listrik jarak jauh. Ini bisa mencegah kehilangan listrik saat
ditribusi, sehingga pembangkit listrik tidak harus dibangun sedekat mungkin
dengan konsumen.
Pembangkit listrik tenaga surya di belahan dunia yang
disinari matahari akan mampu memproduksi listrik yang tidak akan berkurang saat
transmisi ke seluruh dunia. Hasil uji awal distribusi tanpa kehilangan listrik
telah dilakukan di Denmark dan Amerika Serikat.
Pustaka:Made For Mind.Teknologi
Superkonduktor untuk Energi Terbarukan. Edisi, Tanggal 28.06.2015. vlz/as (Know
It-Transtel)
0 thoughts on “ Teknologi Superkonduktor untuk Energi Terbarukan ”