(Foto: Dok. Prib, Mecky Y/KM) |
Nasionalisme Indonesia, seperti nasionalisme di bekas wilayah-wilayah kolonial, mendasari klaim teritorialnya pada teritori pemerintahan kolonial yang berkuasa sebelum kemerdekaan nasional. Anggapan bahwa segalanya yang merupakan peninggalan pemerintahan kolonial Hindia Belanda harus menjadi kedaulatan nasional Indonesia merupakan konsepsi teritorial Indonesia.
Bangsa, meminjam istilah Benedict Anderson, adalah konsepsi tentang “komunitas yang dibayangkan”, yang di dalamnya anggota sebuah bangsa membentuk komunitas bukan melalui interaksi fisik, tapi melalui pembayangan mental tentang kesamaan-kesamaan di antara kelompok-kelompok masyarakat yang saling membayangkan tersebut. Di sini nasionalisme Indonesia mengangankan kelompok-kelompok masyarakat yang saling membayangkan diri dalam suatu komunitas Indonesia yang mungkin berdasarkan pembayangan kesamaan yang senasib-sepenanggungan selama penjajahan kolonial Belanda walaupun, seperti yang kita ketahui, tidak seluruh wilayah teritori Indonesia sekarang mengalami rentang masa penjajahan kolonial yang sama. Bahkan, sebagian dari wilayah tersebut hampir tidak pernah terjajah.
Konsepsi ala Anderson dipertanyakan: Siapa yang berhak membayangkan bangsa? Apakah konsekuensi dari pembayangan yang dilakukan oleh segelintir kelompok masyarakat dari kelompok (etnis) tertentu, yang ternyata mencakup banyak kelompok masyarakat lainnya? Pembayangan tentang Indonesia, pencetusan tentang Indonesia sendiri sebagian besar diartikulasikan oleh segelintir orang dari kelompok etnis Jawa dan Melayu (khususnya merujuk pada populasi di pulau Sumatera dan sekitarnya).
Pendudukan Indonesia di Papua selama lebih dari 40 tahun telah meyingkirkan ratusan ribu penduduk Papua, melalui pembunuhan, penghilangan dan penciptaan kondisi represif yang memaksa orang untuk meninggalkan wilayah asalnya. Bagi sebagian pihak, skala pelanggaran HAM di Papua tersebut dinilai sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan; bahkan sebagian pihak lagi menilainya sebagai genosida. Lebih jauh lagi, beragam bentuk intervensi pemerintah Indonesia juga telah menimbulkan korban jiwa secara tidak langsung, termasuk relokasi penduduk secara paksa, perusakan terhadap lahan-lahan yang mensuplai kebutuhan pangan dan dugaan penyebaran penyakit (cysticercosis), atau tidak adanya usaha serius dan memadai dari pemerintah untuk menangani wabah yang banyak memakan korban jiwa tersebut.
Berbagai kebijakan pemerintah Indonesia di bidang keamanan, politik dan sosial di Papua bertujuan untuk meminggirkan akses politik dan ekonomi masyarakat Papua dan melenyapkan identitas Papua, yang menjadi penghalang bagi operasi kekuasaan elit politik dan akses ekonomi aktor-aktor kapital multinasional.
Peminggiran akses politik masyarakat Papua dan penghilangan identitas Papua secara sistematis dilakukan beberapa tahun sebelum diselenggarakannya Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) pada tahun 1969. Untuk memastikan keberhasilan aneksasi Papua ke dalam teritori Indonesia, sejak tahun 1963, pemerintah Indonesia mulai melakukan intervensi-intervensi untuk menghilangkan identitas Papua, dengan pelarangan penyanyian lagu nasional Papua, dan pengibaran bendera Bintang Kejora melalui dekrit presiden - ketentuan legal yang kemudian diterapkan secara lentur untuk mengait-ngaitkan beragam ekspresi lainnya sebagai hal yang subversif.
PEPERA yang diklaim sebagai usaha untuk memfasilitasi masyarakat Papua untuk menentukan pilihannya sendiri ironisnya tidak melibatkan satu pun elemen masyarakat Papua. Proses PEPERA bahkan tidak memberlakukan sistem satu orang-satu suara, dengan alasan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat Papua. Di sisi lain, kebijakan rasialis Indonesia dalam PEPERA, juga didukung oleh kondisi politik internasional yang rasis, seperti yang tercermin dari pernyataan seorang diplomat Inggris pada tahun 1968 yang mengatakan:
“Saya tidak bisa membayangkan bahwa pemerintah Amerika, Belanda, Jepang atau Australia mempertaruhkan […] hubungan mereka dengan Indonesia karena alasan yang prinsipil hanya demi orang-orang yang sangat primitif yang jumlahnya relatif sedikit.”
Salah satu kebijakan rasialis yang memarjinalkan masyarakat Papua adalah program transmigrasi Orde Baru pada pertengahan 1980-an, yang diimplementasikan atas prinsip asimilasi untuk melenyapkan etnis Papua dengan memfasilitasi perpindahan orang-orang dari luar (Papua) “yang lebih beradab” ke Papua. Mochtar Kusumaatmadja, seorang menteri pada rezim Orde Baru, mengatakan bahwa transmigrasi mungkin merupakan satu-satunya cara untuk membawa masyarakat zaman batu yang primitif ke dalam arus utama pembangunan Indonesia. Dalam kebijakan transmigrasinya, pemerintah bukan hanya tidak melakukan konsultasi dengan masyarakat Papua, tapi juga mengambil alih lahan-lahan dari para pemilik tradisionalnya dan mengusir paksa penduduk lokal dalam ‘Operasi Sapu Bersih’
(Penulis adalah Sekjend KNPB 1 Pusat, Mecky Yeimo)
Editor: Frans Pigai
0 thoughts on “ Genosida: Kekerasaan Negara dan Rasialisme”