(Foto: Dok. Prib/KM) |
"Mengambil dari setiap manusia sesuai dengan kemampuannya, dan memberikan kepada setiap orang sesuai dengan kebutuhannya." Ini prinsip masyarakat komunis yang Karl Marx bayangkan. Dan sejak ia mengembangkan teori-teori sosialisnya, selalu ada saja para teoritisi sosial dari sayap kanan yang menganggap hal ini sebagai sebuah khayalan belaka. Menurut para teoritisi itu, insentif materiil adalah motivasi pokok setiap orang.
Banyak orang yang menerima pendapat ini. Jika kita melihat disekeliling, setiap orang tampaknya termotivasi karena uang. Siapa yang akan bekerja jika kalau tidak karena uang? Namun tata laku masyarakat saat ini merupakan hasil dari perkembangan sejarah yang bersifat khusus. Dalam sejarah manusia, tidak terdapat cukup kekayaan untuk menyediakan setiap orang agar hidup layak. Sehingga kehidupan yang bersifat barbar, dimana yang kuat memakan yang lemah, tidak bisa dihindarkan. Sedangkan orang yang paling kejam hanya memperhatikan diri sendiri, mengangkat diri sendiri diatas masayarakat kebanyakan, dan menjadi kelas yang berkuasa.
Hal ini tidak hanya tak bisa terhindarkan, melainkan ini juga sebuah proses yang penting. Hanya melalui timbulnya kelas yang berkuasa, sedikit surplus kekayaan dapat dikumpulkan ke dalam sejumlah tangan. Kelas yang berkuasa tidak hanya menggunakan surplus ini untuk konsumsi pribadi, tapi juga untuk mengembangkan produksi.
Kapitalisme adalah bentuk masyarakat berkelas yang tertinggi, karena kapitalisme adalah bentuk yang paling efisien untuk mengumpulkan surplus ekonomi ke beberapa tangan, dan kemudian memprosesnya kembali ke dalam bentuk pengembangan produksi. Proses ini bersifat brutal dan opresif. Meskipun demikian kapitalisme dapat menimbulkan industri moderen yang dahsyat. Akibatnya, untuk pertama kalinya dalam sejarah, di tingkat global alat-alat industri yang ada mampu untuk menciptakan kekayaan yang cukup untuk memberi setiap orang kehidupan yang layak.
Kapitalisme tentunya tidak menggunakan kekuatan produksinya untuk itu. Penguasa-penguasa kita menggunakan kekuatan produksi tersebut untuk menghasilkan persenjataan atom, sementara jutaan manusia dilanda kelaparan. Itulah sebabnya revolusi sosial diperlukan. Dalam masyarakat berkelas, kebanyakan masyarakat harus berjuang untuk hidup. Kebanyakan pekerjaan tidaklah nyaman, dan seringkali menghebohkan, selama revolusi industri saat anak-anak bekerja sampai 16 jam sehari.
Hal ini juga terjadi di Indonesia moderen, misalnya banyak anak yang dipekerjakan di pabrik-pabrik melebihi jam kerja yang semestinya. Misalnya di pabrik Nike di Tangerang, kenyataan serupa masih bisa dijumpai. Dibawah kapitalisme, kita tidak memiliki kontrol terhadap produksi yang berasal dari tenaga kita. Kita hanya memperkaya orang lain.
Apakah mengherankan jika masyarakat bersikap sinis terhadap pekerjaan? Apakah mengherankan jika kita hanya melakukan pekerjaan jika seseorang menawarkan penghargaan materi yang cukup? Tetapi dunia kapitalis ini penuh dengan contoh-contoh yang menunjukkan bahwa jika diberi separo kesempatan, orang akan bertindak berbeda. Umpamanya para sukarelawan yang bekerja tanpa upah untuk yayasan sosial, atau aktivist-aktivis LSM yang memberikan waktu luang mereka secara cuma-cuma, dan bekerja secara tekun untuk perubahan-perubahan sosial atau politik. Potensi ini termanifestasikan dalam jumlah yang besar diantara kelas buruh di waktu revolusi.
Di Russia, di bawah Lenin, para buruh sering bekerja secara sukarela tanpa mendapatkan upah agar menjaga ekonomi tetap berjalan selama blokade dari negara-negera imperialis. Hal serupa juga terjadi di Indonesia selama Revolusi, misalnya para pejuang tanpa pamrih memobilisasi massa untuk memerdekaan Indonesia dari belenggu penjajahan.
Gerakan-gerakan revolusi juga menciptakan sebuah antusias baru untuk mentransformasikan teknik-teknik produksi. Contohnya perlawanan di Spanyol saat dimulainya perang sipil tahun 30-an. Meningkatnya fasisme telah menghancurkan industri lokal di Catalonia sebelum kemenangan pekerja merebut kekuasaan ke tangan mereka. Para buruh ini mendirikan kontrol industri mereka.
Mereka kemudian membangun kembali ekonomi yang telah hancur itu. Kondisi yang sulit seperti ini, berarti mereka hanya di tawari sedikit penghargaan. Namun mereka termotivasi, karena merekalah yang mengontrol produksi. Salah seorang pengamat mengatakan: "Para ahli sangat terkejut terhadap keahlian para buruh dalam membangun mesin baru. Dalam waktu yang singkat, 200 hidraulik penekan yang berbeda dengan tekanan sampai 250 ton, 178 mesin bubut berputar, beratus-ratus mesin penggilingan dan beberapa mesin yang membosankan dibangun." Kejadian yang sama juga terjadi di Nikaragua tahun 80-an.
Amerika Serikat memblokade alat-alat industri Nikaragua yang sebetulnya sangat tergantung dari alat-alat buatan AS itu. Para pekerja meresponnya dengan gerakan-gerakan yang bersifat inovatif. Mereka memikirkan cars-cara untuk mengganti alat-alat itu, contohnya peralatan kedokteran. Para pekerja itu telah menunjukkan kepandaian yang luar biasa, dan tentunya mereka bekerja bukan semata-mata kerena uang. Karena kondisi ekonomi yang sulit saat itu, nilai upah di industri Nikaragua jatuh.
Orang bisa mendapatkan uang berlebih dengan berjualan di pasar gelap. Motivasi mereka adalah politik: mempertahankan revolusi Sandinista. Dibawah kapitalisme, hal seperti ini merupakan pengecualian. Tetapi kalau manusia diberi ekonomi yang bersifat kolektif sehingga mereka tidak kuwatir secara terus menerus tentang masa depan dan masa depan anak-anak mereka, kalau mereka sendiri menjadi pengontrol proses produksi, maka semua kehidupan di tempat kerja bisa ditransformasikan. Ini adalah inti dari perspektif sosialis.
Ketika para pekerja memiliki hubungan baru dengan produksi -- industri berada dibawah kontrol mereka, bukan hanya sebagai penggeraknya -- kreatifitas mereka juga akan muncul. Produksi kekayaan akan melonjak. Jam kerja akan dikurangi dan dikurangi lagi, dan tempat-tempat kerja akan layak untuk manusia. Training akan diperbaiki dan pekerjaan menjadi jauh lebih bervariasi dan merangsang. Dan anak-cucu kita akan menatap kita dengan perasaan kasihan dan tak percaya, ketika kita bercerita bagaimana orang di abad ke-20 harus membanting tulang hanya untuk mencari fulus. (FP/KM)
*) Penulis adalah Mahasiswa Papua, Kuliah di Tanah Kolonial Indonesia, Surabaya
0 thoughts on “Apakah Orang Akan Bekerja Tanpa Insentif?”