BREAKING NEWS
Search

Kekuatan yang Lebih Dasyat

Penulis : Topilus B. Tebai

Topilus Bastian Tebai, Wartawan Majalah Selangkah.com







"Saya kira orang berpikir bahwa senjata adalah hal paling berbahaya  yang harus ditakuti diktator atau tiran. Nyatanya, TIDAK! Yang paling berbahaya adalah, ketika  rakyat memutuskan ingin bebas. Sekali mereka memutuskan, berpikir tentang kebebasan,  takkan ada yang bisa menghentikan mereka." Uskup Desmond Tutu.
***
Ada yang bilang, penjara adalah istana, atau taman yang indah. Ada pula yang percaya, bahwa lewat gerbang penjara, kita akan terlepas dari belenggu masa kini menuju kebebasan. Saat itu, 1907, dikenal orang, seorang tokoh kharismatik, juga pengacara, dari India, Mohandas Gandhi mendekam di pennjara.
Delapan tahun, Gandhi memimpin India berjuang tanpa kekerasan melawan penindasan rasial. Mereka berjalan ke daerah terlarang.  Mereka membangkam surat pendaftaran. Mereka ingin ditangkap, dan hal itu terwujud.
Ghandi berkata, "Ketidakadilalan harus dikalahkan  tanpa kekerasan." Gerakan ini dinamakannya, Satiyagraha: berpegang pada kebenaran. Di setiap dekade dan benua, banyak kaum tertindas memakai cara Gandhi untuk memperjuangkan hak dan kebebasannya. Gandhi menginspirasi lahirnya perjuangan tanpa kekerasan dari rakyat Afrika Selatan.
Perjuangan Tanpa Kekerasan Afrika Selatan
Setiap akhir pekan, selalu ada yang tewas. Dalam setahun terakhir, sering muncul laporan berita mengenai pembunuhan terhadap pemuda kulit hitam yang ditembak polisi.
Namanya pemberontakan. Jutaan rakyat Afrika Selatan mulai meningkatkan perjuangan demi persamaan hak dan mengakhiri apartheid. Petugas keamanan semakin agresif di pemukiman kulit hitam. Para pemuda kulit hitam yang marah balas melawan. Bahkan orang yang tak bersalah pun menjadi korban  di tengah meningkatnya kekerasan. Semua korban dari pihak kulit hitam.
Muak akan pertumpahan darah, generasi muda pejuang dari kota mencari cara baru yang efektif untuk melawan. Di Port Elizabeth, Mkhuseli Jack, 27 tahun, telah menjadi pemimpin pemuda sejak masa remaja.
"Penduduk kota frustrasi atas apa yang terjadi. Disana terjadi bentrokan serius antara polisi dan kaum muda tak bersenjata. Dan polisi menembaki mereka tanpa ampun. Lalu kami berkata: mari kita tunjukkan wajah polisi yang sebenarnya. Mari kita alihkan tempat. Kita bawa perjuangan ini dari pemukiman kita kepada pemukiman mereka."
Kebanyakan orang kulit putih tidak tahu masalah ini. Surat kabar milik kulit putih dan televisi pemerintah tidak memberitakannya. Tapi sejumlah warga kulit putih ikut gerakan anti apartheid.
Salah satunya adalah Janet Cherry. Pekerja sosial muda yang sejak masa kuliah telah menjadi anggota gerakan bawah tanah terlarang Africa National Congress (ANC).
"Idealnya adalah, kami harus memindahkan perjuangan ke pemukiman kulit putih. Bukan karena motif rasial, tapi  untuk menentang adanya konsep yang mengatakan negara baik-baik saja, kecuali bila terjadi sesuatu di luar pemukiman kulit hitam."
Gerakan sipil kulit hitam makin berkembang.  Tahun 1983, United Democratic Front (UDF) didirikan sebagai wadah dari lebih kurang 600 organisasi perjuangan, organisasi sosial, kelompok gereja, organisasi olahraga, organisasi pemuda dan kelompok wanita.
"Ketika organisasi ini semakin meluas, meluas dan meluas, pasukan keamanan sulit menghancurkan mereka. Karena sekarang, ada berbagai  pusat perlawanan berskala besar dalam satu komando dalam masyarakat."
"Berlahan-lahan, semua terlibat dalam perjuangan, demi keadilan tersebut. Lambat laun, semua melihat peran masing-masing."
Boikot Bisnis Orang Kulit Putih I
Mei 1985.  Beberapa wanita paruh baya kulit hitam mendekati pemimpin perjuangan kota Port Elizabeth, menyarankan boikot bisnis orang kulit putih. Boikot oleh konsumen kulit hitam berpotensi mencapai tujuan Mkhuseli Jack, menekan komunitas kulit putih untuk pertamakali.
Panitia penyelenggara boikot punya waktu beberapa minggu untuk bersiap. Setengah juta penduduk kulit hitam harus dibujuk untuk belanja di kampung sendiri.
"Rencananya adalah meminta mereka (orang kulit hitam) untuk hanya membeli makanan di kota pada toko milik orang kulit hitam. Juga meminta mereka agar menyimpan cadangan makanan bahan pokok yang akan diperlukan selama perjuangan panjang yang akan dihadapi nanti."
Pemakaman mingguan, satu satunya acara bersama yang diizinkan pemerintah. Itu adalah satu-satunya kesempatan untuk mencari dukungan boikot.
Dua hari sebelum boikot dimulai, Mkhuseli Jack, menjadi pembicara utama.
"Kami ingin pemerintahan  yang didasarkan pada kehendak dan harapan rakyat. Senin adalah hari H. Senin adalah hari H. Senin adalah hari H. Kita takkan lagi belanja di kota Senin besok. Kita tidak akan beli, bahkan korek api sekalipun."
Senin, 15 Juli 1985. Pagi itu tampak seperti hari biasa lainnya. Masuk jam 10, mulai tampak perbedaan. Toko-toko kulit putih yang biasanya  dipadati kulit hitam tampak sepi. Pengamat yang dikirim untuk mengamati melaporkan kepatuhan rakyat seratus persen.
Boikot adalah taktik terbaru dalam pergolakan mereka 10 bulan terakhir. Namun hanya dalam waktu 5 hari,  Boikot terbukti paling evektif dan menyebar ke daerah lain. Ancaman serius bagi rezim Apartheid.
Presiden Afrika Selatan, P.W. Botha,  berpidato: "Keadaan ini tidak dapat ditolelir lagi. Atas dasar undang-undang keamanan umum, nomor 3 tahun 1953, pemerintah menyatakan undang-undang keadaan darurat di daerah-daerah berikut: Port Elizabeth,  Uitenhage, Kirkwood, Adelaide, Bedford, Hankey, Bathurst, Jansenville... "
Tentara Afrika Selatan menduduki kota-kota itu. Orang dilarang bepergian. Larangan keluar rumah diberlakukan. Ratusan orang ditangkap. Pemuda selalu jadi sasaran kebrutalan.  Semua penindasan itu tidak menyurutkan semangat aksi boikot.
Pasukan keamanan kurang berhasil menahan para pemimpin. Para pemimpin kebanyakan tidak dikenal di luar lingkungan mereka sendiri, berbaur dengan komite jalanan dan rakyat sipil.
"Jika pemerintah mengumumkan undang-undang keadaan darurat, itu artinya mereka panik. Oleh karena itu, kami menjadi evektif. Mereka dapat merasakan kekuatan kami. Jadi menurut kami, undang-undang darurat merupakan langkah luar biasa yang diambil mereka untuk mempertahankan Apartheid. Oleh karenanya, kami tahu, bahwa kami membahayakan Apartheid. Dan kami  akan terus mendorongnya ke kepunahan."
Mike Xego, Ketua Komite Pemboikotan Konsumen berujar: "Boikot telah berjalan 3 minggu, banyak toko orang kulit putih  telah tutup.  Ketika satu toko ditutup, kami merayakan kemenangan kami. Begitu pula bila toko berikutnya menyusul ditutup, kami merayakannya. Begitu seterusnya."
Selama boikot, Mkhuseli Jack bersembunyi menghindari penangkapan, sambil berpindah pindah, ia membahas cara memanfaatkan keberhasilan boikot bersama komite boikot.
Mereka kini menambahi beberapa syarat baru yang harus dipenuhi pemerintah, bila mengingini boikot dihentikan.
"Tuntutan kami jelas. Dan sebenarnya, tuntutan waktu itu sederhana saja, jika dilihat  pada masa saat ini. Seperti membuka sarana dan prasarana umum bagi semua ras. Menarik tentara dari wilayah kulit hitam. Dan, ada juga yang waktu itu kami sebut, tujuan jangka panjang, seperti pembebasan Nelson Mandela."
"Kami menunggu dengan sabar. Kami tidak terburu-buru. Bila tidak, untuk apa kami mengadakan boikot. Kami tidak terburu-buru, karena kami tidak rugi apa-apa, sementara mereka rugi banyak. Akhirnya, kamar Dagang menyatakan, mereka ingin berunding dengan kami."
Selama ini, Mkhuseli Jack hanya dikenal sebagai pemimpin pemuda.  Kini, ia sebagai juru bicara boikot. Ia menjadi ancaman serius bagi pemerintah. Mkhuseli Jack benar-benar dianggap pemerintah sebagai biang kerok.  Ia seoorang aktivis dalam arti kata yang sebenarnya.
Kolonel Lourens Du Plesses, kepala Intelijen Militer provinsi Cape Timur mengatakan: "Seperti yang anda katakan tadi,  mereka tidak melakukan kejahatan jika mereka tidak ingin belanja, tidak membeli pada orang lain. Ini bukan kejahatan tetapi aksi masal. Anda bisa buat apa? Anda tidak bisa menembak ataupun memenjarakan mereka. Cara ini sangat evektif. Gandhi telah memperkenalkan perlawanan tanpa kekerasan ini."
Ketika pasukan keamanan sadar, boikot tidak mereda, mereka memutuskan untuk bertindak.  Pada 2 Agustus malam, Mkhuseli Jack, dan para pemimpin boikot ditangkap dan dipenjarakan.
Mengenai hal ini, Popo Molefe, sekertaris jenderal United Democratic Front (UDF) berkomentar: "Ketika akhirnya pemerintah memutuskan untuk memenjarakan semua orang, sekitar 130 orang dimasukkan dalam penjara, menggunakan ketentuan UU Darurat tahun 1985, begitu para peimpin ditahan, kemarahan makin meningkat dan terjadi kekacauan. Itulah yang dilakukan pemerintah terhadap rakyat kulit hitam Afrika Selatan."
Gerakan spontan para pemuda yang meladeni militer pemerintah, sekarang membahayakan gerakan perlawanan kembali. Salah satu orang yang dengan tegas berani memperingatkan hal ini adalah tokoh gereja Afrika Selatan, uskup Desmond Tutu.
"Mengapa kita harus menodai niat kita, dengan memakai cara, yang kalau mereka gunakan pada kita, kita tentu menentangnya? Dan, anda dan saya, kita semua, harus menjadi orang yang dengan bangga dapat mengatakan bahwa kita memakai cara-cara yang tahan terhadap ujian berat sejarah."
Dengan tetap menahan Mkhuseli Jack dan rekan- rekannya, pemerintah berusaha menegosiasi untuk berusaha mengakhiri boikot.
Bulan Agustus, para pedagang di Port Elizabeth putus asa. Mkhuseli Jack tiba-tiba punya sekutu kulit putih yang kuat.
"Seorang pengusaha terkemuka yang dahulu menyebut para pemimpin boikot sebagai berandalan, sekarang mengatakan, tuntutan mereka punya dasar hukum.  Kalau mereka telah melakukan pelanggaran, bawa ke pengadilan. Adili. Dan putuskan, apakah bersalah, atau tidak. Jangan hanya dipenjara, tanpa diadili."
Boikot memasuki bulan keempat. Ribuan orang kulit hitam tetap dan masih terus bekerja di toko milik orang kulit putih, tetapi tidak membeli apa-apa. Para pedagang kulit putih bernegosiasi. Boikot akan dhentikan, bila pada pedagang kulit putih dapat mendesak pemerintah membebaskan para pemimpin kulit hitam.
"Kami tidak berniat membuat mereka kesal. Kami hanya ingin menyampaikan pesan. Menurut hemat kami, penghentian boikot memenuhi dua tujuan. Pertama, untuk penduduk belanja kebutuhan hari Natal, juga mencegah hal-hal yang berpotensi menimbulkan keretakan di kalangan sendiri. Jadi, sekali merengkuh dayung, kami melewati dua pulau. Membenahi persediaan pengusaha kulit  hitam dan menjaga persatuan kami, untuk perjuangan berikutnya."
Musim belanja Natal kembali normal. Para pengusaha mulai negosiasi serius dengan komite boikot. Mkhuseli Jack, dan rekan-rekannya menetapkan batas waktu. Bila tuntutan dalam negosiasi tidak dipenuhi pada tanggal 31 Maret, boikot akan dilanjutkan.
Keberhasilan itu membuat kaum muda di Port Elizabeth percaya diri. Pemimpin mereka dibebaskan, dan pasukan keamanan ditarik.
Ketika batas waktu sudah dekat, dan belum ada realisasi kesepakatan di bidang politik, mereka bersiap untuk boikot lagi. Tanpa diduga, pada 23 maret, pemerintah mencekal 2 pemimpin sipil. Salah satunya, Mkhuseli Jack. Ia dikenai tahanan rumah, dan ini menghentikan perundingan.
"Saat itu, tekanan dunia internasional meningkat. Ini bukan lagi soal Apartheid. Apartheid kecil. Ini karena fasisme murni, kalau hampir semua surat kabar dilarang terbit. Setiap individu dicekal. Saat itu, banyak perusahaan besar hengkang dari Afrika Selatan. Ini sangat memalukan bagi pemerintah."
Boikot Bisnis Orang Kulit Putih II
Pada 22 Maret 1986. Mahkama Agung membebaskan Mkhuseli Jack, dengan alasan, pemerintah tak punya cukup bukti. Kemenangan itu menyemangati gerakan. Mkhuseli Jack pidato sebelum boikot dimulai 9 hari ke depan.
Depan massa, Mkhuseli Jack merobek surat penahanannya. Ia berpidato: "Kita harus yakin akan dapat membuat Botha (presiden Afrika Selatan) bertekuk lutut. Daya beli kita, akan menjadi kunci masa depan, yang akan menentukan nasib kita di negeri ini."
"Jelas, mulai tanggal 1 April nanti, kita tidak akan membeli bahkan hanya satu permen karetpun di kota."
Satu Mei, boikot dimulai. Setelah 9 minggu berlalu, terjadi kejutan. 12 Juni 1986, dini hari, pasukan keamanan memasuki wilayah kulit hitam, menagkap ribuan orang, dan UU Darurat diam-diam diberlakukan.
Berjam-jam polisi menggrebek kantor-kantor warga kulit hitam, UDF, Dewan Gereja Afrika Selatan, dan yang lainnya. Mereka menyita berbagai dokumen. 16 Jam setelah tindakan brutal polisi, presiden Botha bicara (menghasut)di parlemen:
"Kelompok revolusi ini dikontrol oleh kekuatan tertentu mirip rezim Marxis dan yang hanya tertarik pada  perebutan kekuasaan melalui kekerasan. Tidak mungkin bagi mayoritas  rakyat (kulit hitam) untuk terus mengusahakan solusi damai dan demokratis."
Itu adalah UU Darurat II dalam waktu kurang dari setahun. UU Darurat diperpanjang terus selama 3 tahun, bukti bahwa represif telah menajdi fungsi utama negara. Kekuatan anti Apartheid terpaksa bergerak di bawah tanah. Pemerintah belum jatuh. Namun legitimasinya di mata umum hancur akibat aksi massa tanpa kekerasan.
Kekuatan tetap ada dalam komunitas orang kulit hitam dan organisasi sosial mereka. Ajal Apartheid tinggal menunggu waktu.
"Kini, tak ada lagi rasa keengganan untuk tidak menggunakan kekerasan. Malah banyak pihak memandang ANC sebagai gerakan bersenjata. Namun nyatanya, Aksi massa UDF-lah yang membawa perubahan di Afrika Selatan."
Hasil Perjuangan Tanpa Kekerasan
Mata dunia tertuju pada Afrika Selatan. De Klerk menjadi presiden Afrika Selatan pada 1989, setelah P.W. Botha dipaksa mundur. De Klerk bergerak cepat, membebaskan Nelson Mandela yang telah dipenjara selama 27 tahun.
"Seingat saya, perjuangan bersenjata  tidak menghasilkan apa-apa. Kebebasan terwujud berkat rakyat dan tekanan dari luar negeri. Itulah yang akhirnya membuat orang mengerti, bahwa kami tidak bisa terus begini. Itu sebabnya, De Klerk harus melakukan  apa yang harus dia lakukan."
Oslo, Norwegia, 10 Desember 1993. Nelson Mandela dan De Klerk memenangkan hadiah Nobel Perdamaian karena menghasilkan konstitusi yang menjamin persamaan hak rakyat Afrika Selatan. Tak lama kemudian, mereka berkompetisi dalam pertarungan pemilihan umum demokratis pertama di Afrika Selatan.
April 1994, pemilihan umum nasional Afrika Selatan pertama. Seumur hidup, rakyat Afrika Selatan belum pernah memilih. Begitu juga dengan orang tua dan kakek nenek mereka.
"Perjuangan melawan Apartheid berlangsung tanpa kekerasan. Kami terilhami dengan gerakan di India, Polandia, dan di Amerika, juga yang terjadi di Filipina."
Uskup Desmond Tutu berujar, "Saya kira orang berpikir, bahwa senjata adalah hal paling berbahaya  yang harus ditakuti diktator atau tiran. Nyatanya, TIDAK! Yang paling berbahaya adalah, ketika  rakyat memutuskan ingin bebas. Sekali mereka memutuskan, berpikir tentang kebebasan,  takkan ada yang bisa menghentikan mereka."
(Dari Film Dokumenter berjudul, Kekuatan yang Lebih Dasyat: Seabad Gerakan Tanpa Kekerasan).

Topilus B. Tebai adalah Mahasiswa Papua, Kuliah di Yogyakarta

Sumber : Klik di sini : www.majalahselangkah.com


TAG

nanomag

Media Online Kabar Mapega adalah salah situs media online yang mengkaji berita-berita seputar tanah Papua dan Papua barat secara beragam dan berimbang.


0 thoughts on “Kekuatan yang Lebih Dasyat