Pak Guru Cornelis Manangsang bersama istrinya. Foto: Dok |
"Dari sinilah saya menjalani
hidup ini dengan tenang dan mau menyaksikan perubahan dan pembangunan yang
dilakukan oleh anak-anak asuhan saya. Saya juga masih inggat kata-kata injil
bahwa Betlehem yang daerah tandus saja lahir Sang Juru Selamat, begitu pun di
sini. Lika-liku hidup masyarakat begitu polos, lugu, bersahaja, monoton, tapi
saya mau hidup dan mati dengan masyarakat koteka". Cornelis
Manangsang.
"Orang lain tidak perlu tahu
perjalanan hidup saya. Yang tahu hanya saya dengan Tuhan," kata
Pak Guru Manangsang ketika ditemui kontributor majalahselangkah.com untuk
menulis profil tentang dirinya.
Penolakan untuk diwawancarai ini tentu
bukan tanpa refleksi yang mendalam atas hidup dan pengabdian yang sungguh luar
biasanya di daerah pedalaman. Pekerjaannya adalah tentang pembangunan manusia,
agar manusia menjadi manusia. Karena membangun manusia maka, hubungannya adalah
dengan PENCIPTA MANUSIA yang menginginkan keselamatan manusia dari segala
keterbelakangan.
Kira-kira begitulah refleksi pribadi Pak
Guru Manangsang. Kontributor majalahselangkah.com mendatangi
yang kedua kalinya, jawabannya masih sama (tidak mau diwawancarai).
Setelah meyakinkan pentingnya pengalaman
hidup Pak Guru Manangsang bagi generasi muda ke depan, akhirnya demi
generasi muda, dia bersedia membuka kran perjalanan hidupnya.
"Pak Guru Manangsang". Begitulah
masyarakat pedalaman Nabire, tepatnya Desa Mauwa Distrik Kamuu, Kabupaten Dogiyai,
Provinsi Papua menyebut Bapak guru Cornelis Manansang. Kini genap sudah
Cornelis Manansang berkarya 48 tahun di daerah Pedalaman Papua.
Ia awali karyanya di Jayapura,
Fak-fak, Kokonao, hingga menjelajahi daerah Pedalaman Paniai. Tak heran bila
masyarakat pedalaman mengenal dan menyebut pria asal Sanger ini
dengan sebutan khas "Pak Guru Manansang".
"Tahun 2004, saya pensiun tetapi
saya tidak akan pulang kampung. Saya malah sudah beli tanah di Kampung Mauwa
Distrik Kamuu. Saya beli tanah untuk tempat peristirahatan terakhir sebelum
saya dipanggil Tuhan,"kata Pak Guru tua ini di rumahnya, desa
Mauwa.
Pria tua asal Sanger Sulawesi Utara
ini dilahirkan Tanggal 30 Oktober 1944 di Kampung
Besum-Genyem Holandia waktu itu (Sekarang Jayapura-Red) dari
pasangan Ferdinand Manangsang dan Hendrina Samuel.
Pak Guru Manangsang menuturkan,
ayahnya tiba di Papua tahun 1938 sebagai guru. Ayahnya masuk ke
Papua sebagai guru lewat Wasior-Ransiki-Arfak - dan dipindahkan ke Genyem.
Tahun 1940 Ferdinand Manangsang pulang ke kampung halamannya
Sanger dan menikahi Hendrina Samuel.
Menurut Pak Guru Manangsang, ayahnya
adalah tokoh GKI, namun terjadi kesalahpahaman dengan gereja dan pindah
ke Katolik. Cornelis Manangsang dipermandikan di Fak-fak. Setelah usia
sekolah, ia (Cornelis Manangsang) masuk sekolah VVS (Vervolog School)
di Fak-fak tahun 1950-an dan melanjutkan ke ODO (Ofdelling Dorops Onderwes) di
Fak-fak tahun 1956-1959.
Setelah menyelesaikan ODO, dia
sempat mengajar di Kokonau selama tiga tahun. Kemudian, ia ditugaskan
di Enarotali (kini ibukota Kabupaten Paniai). Setahun kemudian dipindahkan ke
Obano, Paniai. Tahun 1960 pindah lagi Kuguwapa Bibida Paniai hingga 1968.
Ketika baru memasuki daerah orang Moni di Bibida masyarakat mengganggap
"setan" karena kulit maupun rambut beda dengan mereka. Demikian
pengakuannya.
Kata dia, tahun 1969 harus mengungsi
ke Jayapura karena waktu itu terjadi perang di Paniai. Walupun dalam
keadaan perang, karena kecintaan dan harapannya yang besar untuk
perubahan rakyat, ia kembali bertugas lagi di daerah pedalaman
Paniai, tepatnya di Timida. Tidak lama kemudian, lagi-lagi dia dipindahkan ke Badauwo,
tepatnya tahun 1973.
Pria Sanger yang menikah dengan Yonece
Yufuwai, anak perempuan Ondofolo dari Depapre, Jayapura ini
melanjutkan studi KPG (Kolose Pendidikan Guru) 1975 di Nabire. Usai
meneyelesaikan studi dipindahkan lagi ke SD YPPK Egebutu Distrik Kamuu,
Dogiyai tahun 1978.
Tahun 1981 dia Kembali ditugakan lagi SD
YPPK Moanaemani, kecamatan Kamuu. Selanjutnya, Pak Guru Manangsang dipindahkan
ke SD YPPK Mauwa di kecamatan yang sama pada tahun 1985 hingga saat
saat ini. Menurut pengakuannya, Pah Guru Manangsang tak tega meninggalkan
kampung ini (Mauwa).
"Saya sudah pensiun 2004 lalu, tapi
tak henkang dari tempat tugas ini sebab saya datang daerah ini masih gelap.
Sekarang saya mau melihat hasil gemblengan selama bertugas maka saya beli
tanah, tempat di mana tulang belulang saya disemayamkan ketika saya
dipanggil Tuhan,"ujar pria 6 anak ini.
Gubernur Bernabas Suebu pun sempat menyuruh
pindah dari pedalaman ke Jayapura, namun dirinya tak tega meninggalkan daerah
pedalaman. "Dari sinilah saya menjalani hidup ini dengan tenang
dan mau menyaksikan perubahan dan pembangunan yang dilakukan oleh anak-anak
asuhan saya. Saya juga masih inggat kata-kata injil bahwa Betlehem yang daerah
tandus saja lahir sang jurus selamat, begitupun di sini,"katanya.
Kata dia, lika-liku hidup masyarakat
begitu polos, lugu, bersahaja, monoton, tapi ia mau hidup dan mati
dengan masyarakat koteka. "Saya tidak tega
tinggalkan sebab ingin melihat anak-anak yang sudah sukses dari
hasil keringat sejak saya masuk hingga kini. Akan muncul rasa bangga
dan terharu ketika melihat anak-anak didikan
saya berhasil dan suskses dalam berbagai aspek pembangunan,"tuturnya.
Kendati pun demikian, kata Pak Guru
Manangsang, tidak semua anak didik berhasil dalam belajarnya. Ada sebagian
besar yang putus sekolah terutama anak-anak perempuan. Ia
harap ke depan hal ini tidak terjadi lagi. "Saya mau anak laki-laki dan
perempuan harus sekolah sama-sama,"katanya.
"Dulu ketika mengajar di Enarotali, orang tua
datang ke sekolah paksa anak gadisnya untuk dikawinkan, namun saya bersikeras
mempertahankan siswi saya. Karena demikian, orang tuanya
takut pada saya dan tidak berani paksa anaknya nikah.Terkecuali anak perempuan
sendiri ingin menikah barulah orang tua mengambil maskawin,"jelas Pak Guru
Manangsang.
Pak Guru Manangsang bersaksi, ketika
dirinya memasuki daerah pedalaman, masyarakat masih pakai cawat dan buyut
(koteka & Moge), didukung dengan rata-rata tidak tau bahasa Indonesia.
Maka, katanya, sebelum pergi bertugas dibekali dengan bahasa daerah di
Enarotali selama 3 minggu.
Kendati dibekali dengan kursus bahasa
daerah, masih terbentur dengan masyarakat lokal di mana rata-rata belum
memahami kehadirannya sebagai guru. Bagi dia, tantangan seperti itu justru
semakin memperkuat tali persaudaraan dengan rakyat sederhana itu. Malahan
tantangan dilihat sebagai suatu seni hidup.
"Tantangan harus dianggap
seni hidup yang patut dijalani. Saya masuk di Enarotali ketika berusia 14
tahun dengan gaji pertama 116 golden. Ketika itu, masyarakat belum mengenal
uang, pegawai negeri tidak ada, yang ada hanyalah honei-honei dan
polisi. Guru pun tidak ada,"katanya berkisah.
Kata dia, pada saat itu, gaji saja bisa
diambil bila hendak ke Jayapura, tidak ada kios atau toko, yang ada hanya
gudang misi. Karena daerah yang baru dibuka berbagai tantangan
sempat bersanding, namun ia hadapi dengan tenang sebagai
bumbu-bumbu kehidupan.
Alat bantu mengajar saat
itu adalah menggunakan arang kayu, sebab kapur tulis pun tidak ada, kalau
pesawat Biver tidak masuk maka terpaksa harus pakai arang kayu di atas kalam
putih. Waktu itu masyarakat tidak mengenal mata uang, polisi pun
buta aksara. Polisi naik pangkat bila menemukan suku dan daerah
baru.
"Waktu itu sekolah hanya tiga kelas,
lantas mereka ikut ujian di Epouto untuk masuk kelas IV. Setelah itu, untuk
melanjutkan kelas V dan VI mereka berjalan kaki tembus ke Kaimana menuju
ke Fak-fak,"demikian kata Pak Guru yang mengaku gaji pertama 16 golden.
Lalu, gaji setelah Indonesia masuk (pasca PEPERA-red) adalah
Rp12.000,00.
Selain kecintaannya terhadap masyarakat
koteka, dia tidak ingin pulang ke kampung halamannya karena ingin menyelamatkan anak-anak
kandungnya yang merupakan dititipkan TUHAN.
"Saya malu bila anak kandung tidak
berhasil, sementara anak didik saya berhasil. Makanya tak perlu
mengira saya buka kios untuk mencari harta kekayaan melainkan
mencari uang untuk biaya anak saya yang masih kuliah. Guru-guru pendatang yang
lain memiliki tanah, rumah mewah di Nabire tetapi saya hanya beli tanah di sini
sekedar menjalani sisa hidup isteri dan anak-anaknya,"tuturnya.
Selain dua alasan di atas, Pak Guru
Manangsang tidak ingin meninggalkan pedalaman (desa Mauwa) karena tenaganya
masih dibutuhkan di sekolah. Misalnya, cat sekolah, tulis papan nama, pendataan
guru, lambang dan lainnya. Sementara itu, masyarakat
setempat tidak ingin Pak Guru Manangsang pergi dari kampung mereka (Mauwa).
Lantas, ketika masyarakat Mauwa menghadapi masalah maskawin,
sumbangan gereja, atau persoalan lain dia selalu turun tangan untuk
menyelesaikannya.
"Di mana berkarya di situlah
tempat tulang belulang isteri dan saya disemayamkan. Di daerah ini saya masuk
ketika dunia Paniai masih hidup dalam kegelapan, keterisolasian,
keterbelakangan hingga kini sudah banyak perubahan dalam segala
dimensi,"tandas mantan Kepala Sekolah SD YPPK Mauwa ini.
"Anak-anak saya misalnya walaupun
rambut, kulit berbeda dengan masyarakat asli tetapi bahasa daerah (bahasa Mee)
merekalah yang lebih fasih. Kota adalah daerah kumuh yang penuh
dengan kebisingan."
"Saya ingin sama seperti ayah saya,
dia mati di daerah tempat tugasnya, maka saya pun ingin mati di sini, maka saya
sudah beli tanah untuk dikebumikan bila saya dipanggil Tuhan. Tanah saya dan
anak-anak saya bukan di Sanger, tetapi saya lahir di sini, anak-anak saya lahir
di sini dan di sinilah kami mengabdi hingga ajal tiba,"kata Pak Guru
Manangsang.
Sekarang, Guru-guru Turun ke Kota
"SEKARANG ini banyak guru lebih
condong turun ke kota dengan berbagai alasan. Guru sekarang mereka
berpendidikan tinggi, namun kedisiplinan sanagat kurang. Mereka tidak
bersemangat, disiplin, dan tidak mencintai profesi. Dulu, sangat disiplin.
Ketika cuti misalnya, diberi waktu hanya dua minggu, maka dua hari sebelum
habis masa cuti harus ada di tempat tugas," kata Pak Guru Manangsang
kesal.
Kata dia, dulu guru punya moralitas tetapi
sekarang tidak ada moralitas dan rasa tanggung jawab terhadap masa depan
anak-anak dan bangsa Papua.
"Kalau terlambat masuk, bagaimana
dengan murid saya. Guru-guru sekarang malahan ada yang beralih profesi
(politik). Bila turun ke kota buat liburan tiga sampai lima bulan baru pulang.
Sekarang anak (siswa) mengganggap orang sampah dan tidak dihargai. Sehinnga
jangan heran tamatan sekarang sangat kurang jumlah siswanya dan kualitasnya
juga merosot. Semasa saya datang tidaka ada PNS dan daerah ini masih
gelap dengan dunia luar. Selama mendidik sangat jarang keluar dari
tempat tugas, sekali pun itu liburan panjang. Saya tidak mau mengorbankan
anak-anak didik hanya karena berfoya-foya di kota".
Hingga saat ini masih terngiang dalam
benak Pak Guru Manangsang kapan akan melihat dan menikmati
keberhasilan anakanak didiknya yang mengajar dengan tekun dan penuh tanggung
jawab.
Tidak
Ada Penghargaan
Menjadi
seorang pengajar sekaligus pendidik siswa di sekolah dan masyarakat sekitarnya
selama 70-an tahun adalah bukan perjuangan main-main. Perjuangan pembebasan
manusia dari kungkungan berbagai keterbelakangan yang dilakukan Pak
Guru Manangsang adalah istimewa.
Berbicara
keselamatan maka kita juga berbicara masalah pembebasan, maka otomatis harus
bicara bagaimana pendidikan kita membangun manusia. Pendidikan adalah bicara
soal menjadikan anak menemukan diri serta membebaskan diri dan lingkungannya dari
berbagai keterbelakangan.
Pembebasan
manusia melalui pendidikan maka kita harus bicara siapa yang akan membebaskan.
Tujuh puluh tahun mengabdi dan berkarya di pedalaman adalah perjuangan
pembebasan manusia seperti yang dinginkan Allah pencipta Manusia. "Manusia
harus dibebaskan dari keterbelangan, keter-keter yang lain sampai pada akhirnya
pembebasan dari ketertindasan teritorial."
Pak
Guru Manangsang, mangabdi kepada masyarakat di bawah payung Yayasan Katolik
hingga puluhan Tahun tetapi tidak pernah mendapat penghargaan
apapun. Sementara itu, penghargaan dari pemerintah masih belum apa.
Kalau berbicara soal penghargaan, kata Pak Guru Manangsang belum ada sampai
saat baik berupa piagam maupun berupa uang. Namun bagi dirinya, yang penting
dia telah mengabdi dengan sunguh-sungguh dan dia puas dengan pengabdian itu.
Sehingga, dia lebih melihat penghargaan bukan dengan manusia tetapi hal itu
urusan dengan Tuhan pencipta manusia yang ia didik.
"Apa
yang saya buat dalam karya dan pengabdian di dunia pendidikan hanya
Tuhanlah yang tahu dan akan memetik buah-buah balasan ketika menghadap di
hadirat sebab mendidik anak-anak disini bukan balik memperbodoh orantua
melainkan lebih menyiapkan dan mencetak manusia yang
dapat membangun, merubah masyarakat dan dunia.
Zaman saya telah
berlalu dan telah diberikan kepada anak-anak didik untuk membangun dan merubah
dunia serta manusia menuju, meraih kesejahteraan hakiki. Selagi
masih diberi napas kehidupan, saya akan menyaksikan
buah buah hasiil karya dan didikan. Dulu manusia dan alamnya hidup dalam
keterbelakangan, keterisolasian, namun kini telah dirubah oleh anak-anak didik,
maka hal itu menjadi kebanggaan dan kebahagiaan tersendiri bagi
saya,"harap Pak Guru Manangsang.
Sistem
Pendidikan Jawa Tidak Cocok untuk Papua
Ketika
meminta sedikit komentar tentang sistem pendidikan terbaru, alias KBK, kata Pak
Guru Mamangsang, sistem pendidikan dewasa ini tidak pas diterapakan di
Papua sebab dirancang menurut rancangan orang Jawa.
"Kurikulum
dirancang menurut pola pikir orang Jawa padahal sistem pendidikan harus
disesuaikan dengan kondisi suatu daerah. Dalam buku diambil contoh mobil,
kereta, dan lainnya. Seolah-olah keadaan daerah sama dengan daerah Papua. Orang
Papua yang ada di daerah pedalaman tidak mengenal itu. Maka sekarang harus
disesuaikan ala budaya setempat,"demikian ungkapan kekecewaan sistem
pendidikan yang mengharuskan segala sesuatu yang hakikatnya beda harus sama.
Pak
Guru Manangsang dari pedalaman Papua berpesan, kiranya para pakar pendidikan
yang susun bahan ajar, disusun menurut kemauan kondisi dan kemauan
mereka. Jangan campur adukan dengan kepentingan-kepentingan tertentu yang
akhirnya akan mengakibatkan hal yang fatal bagi orang lain. Kembali kepada
hakikat pendidikan yang sesuangguhnya, yaitu membebaskan manusia.
"Kalau
dulu ketika zaman Belanda kami mengajar mereka buat buku ajar sesuai
budaya di sini. I.S Kijne menyusun buku-buku ala Papua lalu kita terapkan dan
banyak siswa yang berhasil. Bahan ajar yang kini dikirim dari
Jawa ketinggalan jauh. Walaupun demikian saya bangga dengan anak-anak dari
sini yang ke Jawa. Mereka mampu bersaing dengan orang orang Jawa bahkan ada
yang berani menerbitkan buku-buku,"katanya mengkritik.
Kejujuran
dan Cinta Kasih
Ketika
ditanya apa landasan hidupnya, Pak Guru Manangsang sedang tenang mengatakan,
"KEJUJURAN DAN CINTA KASIH adalah yang utama dalam hidup saya. Hal ini
tertanam dalam hati dan menjadi semangat dan sprit dalam berkarya. Kunci utama
dalam menjalanai tugas apapun kejujuran dan cinta Kasih menjadi tumpuan hidup
melangkah dalam membangun dunia. Dari situlah akan datang kebahagian,
ketenangan, lahir bathin dalam diri pribadi".
Menurut
Pak Guru Manangsang hidup itu bagaikan cermin. "Ibarat dalam cermin ketika
kita lihat dengan senyum, dia juga akan lihat dengan senyum dan sebaliknya.
Maka kita melaksanakan segala sesuatu dengan hati dan penuh senyum maka hati
kita akan terasa damai dan semuanya akan berjalan dengan baik. Tergantung kita,
kalau kita baik kehidupan itupun akan baik."
Kata
dia, mendidik dan membina orang bagian dari pekerjaan cinta kasih
kepada Tuhan dan sesama. Cinta akan tugas dan profesi akan mewarnai dan
merangkai kehidupan yang bernuansa seni. "Kalau ada cinta
kasih dalam hati tantangan apapun akan menjadi dorongan dan
seni hidup menuju ke jalan ILAHI. Cinta kasih akan menembusi perbedaan, agama,
ras, suku dan adat istiadat,"kata dia.
Tulisan
ini dibuat oleh Almarhum Emanuel Gooubo Goo beberapa tahun lalu. Almarhum
Emanuel adalah kontributor tabloid Suara Perempuan Papua dan Majalah
Selangkah. Tulisan ini dimuat di sini sebagai penghormatan atas karya-karya
dia. Ia juga pernah menulis sebuah buku berjudul Papua dalam Bara sebelum
meninggal.
0 thoughts on “Profil Cornelis Manangsang: Hidup Mati dengan Masyarakat Koteka”