Oleh : Marchello Yogi
ilustrasi@KM |
Makna awal dari kata “Sekolah” adalah
“Waktu senggang” ( leisure ), kemudianmenjadi
“Obrolansantai”, lalu “Tempat untuk kegiatan tersebut”.
Kata “Sekolah” berasal dari bahasa
Latin, yaitu schola, yang kemudian diserap ke berbagai bahasa menjadi école ( Perancis ), escuela (Spanyol), scuola ( Italia ), schule ( Jerman ), scola ( Swedia ),
dan skola ( Rusia )—( RoemTopatimasang, Sekolah itu Candu, INSTTPress ).
Dalam perjalanannya,
makna kata “sekolah” dipersempit menjadi
“Tempat terjadi kegiatan belajar mengajar”. Sehingga dalam maknanya sekarang,
sekolah adalah satu tempat
yang berfungsi sebagai sarana untuk berbagi ilmu. Meskipun agak melenceng dari makna awalnya, namun dengan pengertian “sekolah” sebagai “sarana atau tempat untuk berbagi ilmu” masih bagus dan layak untuk diapresiasi.
Sayangnya, fungsi sekolah sebagai sarana atau tempat berbagiilmu ( kegiatan belajar - mengajar )
hanya sebatas arti harfiah saja karena, pada kenyataannya, fungsi itu tidak lebih dari pada formalitas belaka. Sekolah
yang lebih mirip dengan penjara bias dikatakan sudah kehilangan fungsinya sebagai tempat untuk mencerdaskan seseorang. Fungsi sekolah yang seharusnya adalah tempat belajar kini berganti—atau sengaja diganti—menjadi tempat transaksi bisnis karena di sekolah-sekolah sekarang kegiatan belajar hanyalah rutinitas yang membosankan.
Fungsisekolah yang telah berganti menjadi ajang transaksi bisnis hanya menjadikan pendidikan sebagai komoditas bisnis dan pelajar sebagai konsumennya. Seperti yang dituliskan di atas, apa pun kegiatan
yang terjadi di sekolah, sebisa mungkin dikomersilkan oleh pihak sekolah. Bahkan, sekadar untuk ulangan saja,
yang soalnya difoto kopi oleh pengajar,
pelajar harus membayar dengan harga yang beberapa kali lipat dari harga fotokopi
yang sebenarnya. Misalnya, ada ulangan pelajaran Bahasa
Indonesia. Soal yang difoto kopi oleh pengajar sebanyak dua lembar dengan harga Rp.
400. Akan tetapi, pelajar diharuskan membayar Rp.
3.000 oleh pengajar. Atau, kasus yang lain, untuk memarkir sepeda motor di halaman sekolah saja pelajar diharuskan membayar uang parkir. Hal ini sama saja dengan memarkir sepeda
motor di halaman supermarket ketika akan berbelanja.
Sekolah juga sudah tidak mampu mencetak kecendekiawanan pada lulusannya. Lulusan sekolah kebanyakan tidak mampu dan tidak berani untuk bersaing dalam kehidupan. Untuk pelajarnya, sekolah sudah tidak mampu menanamkan materi pelajaran di benak pelajar karena dalam satu hari pelajar dicekoki pelajaran yang banyak namun dengan system mengajar yang
standar. hasil, pelajar menjadi limbung dan akhirnya tak ada satu pun pelajaran yang diingat. Selain itu, sekolah dalam hal ini telah gagal menanamkan rasa filantrofis kepada pelajarnya. Terbukti dengan selalu adanya permusuhan antar - pelajar dan seringnya terjadi tawuran. Ini menunjukkan bahwa, sekolah tidak mampu menanamkan nilai-nilai kemanusiaan kepada pelajar.
Sudah seharusnya semua yang terlibat dalam dunia pendidikan mengevaluasi diri, mengingat semakin terpuruknya kualitas pendidikan di negeri ini. Selenggarakan pendidikan gratis yang manusiawi,
tempatkan guru (bukan pengajar)
di sekolah, dan kembalikan fungsi sekolah sebagai sarana untuk memanusiakan manusia. Hilangkan segala bentuk bisnis di sekolah, hilangkan juga segala kepentingan politis dalam pendidikan karena pendidikan bukanlah komuditas bisinis atau ajang untuk politisasi.
Penulis adalah Mahasiswa Papua yang sedang kuliah di kota Daerah Istimewa Yogyakarta.
0 thoughts on “Hilangnya Fungsi Sekolah”