Yogyakarta/Religion (KM) - Saudara-saudari terkasih, dewasa ini kita hidup dalam suatu dunia yang tumbuh semakin “kecil” dan di mana, sebagai hasilnya, nampaknya lebih mudah bagi kita sekalian untuk menjadi sesame. Perkembangan dalam teknologi perjalanan dan komunikasi lebih mendekatkan kita bersama dan membuat kita lebih terhubungkan, karena globalisasi semakin membuat kita saling bergantung. Biarpun demikian, pemisahan – pemisahan yang seringkali demikian mendalam, terus menerus hadir dalam keluarga manusiawi. Pada tatanan global kita melihat suatu kesenjangan yang mencangankan antara kelimpahan kaum kaya dan keterbuangan yang menganga dari kaum miskin. Kita hanya perlu menjalani jalan – jalan dari sebuah kota untuk melihat perbedaan antara orang – orang yang hidup di jalanan dan cahaya yang berkilauan dari jendela – jendela kawasan perdagangan. Kita sudah menjadi biasa dengan hal – hal ini, sehingga tidak lagi mengusik kita. Dunia kita menderita banyak bentuk dari persaingan, keterpinggiran dan kemiskinan tanpa mengutarakan perselisihan – perselisihan yang muncul dari suatu kombinasi dari alas an – alas an ekonomi, politik dan ideology serta sayangnya juga agamawi.
Dalam sebuah dunia seperti ini, media dapat membantu kita
untuk merasa lebih dekat satu sama lain, dengan menciptakan suatu makna
persatuan dari keluarga manusiawi yang pada gilirannya dapat mengilhami
solidaritas dan upaya – upaya serius untuk menjamin suatu hidup yang lebih
bermarbatat bagi semua orang. Komunikasi yang baik membantu kita tumbuh lebih
dekat, saling mengenal lebih baik, dan akhirnya berkembang dalam persatuan. Tembok
– tembok yang memisahkan kita hanya dapat diruntuhkan jika kita bersedia untuk
mendengarkan dan belajar satu sama lain. Kita perlu menyelesaikan perbedaan –
perbedaan melalui bentuk – bentuk dialog yang membantu kita berkembang dalam
sikap saling memahami dan menghargai. Suatu budaya perjumpaan menuntut bahwa
kita tidak saja siap sedia untuk member tetapi juta menerima. Media dapat
sangat membantu kita dala hal ini, terutama dewasa ini, sewaktu jejaring
komunikasi manusiawi mengalami kemajuan yang tak terkirakan. Internet khususnya
mempersembahkan kemungkinan – kemungkinan yang sangat luas bagi perjumpaan dan
solidaritas. Ini adalah sesuatu yang sejatinya baik, suatu pemberian dari
Allah.
Hal ini tidak untuk mengatakan bahwa persoalan –
persoalan tertentu tidak ada. Kecepatan penyampaian informasi melampaui
kemampuan kita untuk berefleksi dan menilai dan hal ini tidak membuat bentuk –
bentuk yang tepat dan lebih seimbang untuk mengungkapkan diri. Keragaman pendapat
yang tertayangkan dapat dipandang sebagai sesuatu yang membantu, tetapi juga
membuka kemungkinan bagi orang untuk membentengi dirinya sendiri dibalik sumber
– sumber informasi yang hanya memperkuat keinginan – keinginan dan cita – cita atau
kepentingan politik dan ekonomi sendiri. Dunia komunikasi dapat membantu kita
entah memperluas pengetahuan kita atau menjadikan kita tersesat. Keinginan akan
ketergantungan digital dapat membawa dampak yang mengasingkan kita dari sesama
kita, dari mereka yang paling dekat dengan kita. Kita tidak seharusnya
menyepelekan kenyataan bahwa mereka yang atas alasan apapun kehilangan akses
pada media social, berada dalam bahaya tertinggal.
Biarpun kelemahan – kelemahan ini memang nyata, mereka
tidak membenarkan untuk menolak media social; sebaliknya, mereka mengingatkan
kita bahwa komunikasi pada akhirnya berwatak manusiawi lebih daripada
pencapaian teknologis. Jadi, apa yang membantu kita dalam lingkungan digital
untuk berkembang dalam kemanusiaan dan sikap saling memahami? Kita perlu
misalnya untuk menemukan kembali suatu makan tertentu dari kebebasan dan
ketenangan. Hal ini meminta waktu dan tenaga ntuk berdiam diri dan
mendengarkan. Kita juga perlu bersabar jika kita ingin memahami mereka yang
berbeda dengan kita. Orang hanya mengungkapkan diri sepenuhnya sewaktu mereka
tidak hanya menemukan tenggang rasa, tetapi tahu bahwa mereka benar – benar diterima.
Jika kita belajar untuk memandang dunia dengan mata berbeda dan siap menghargai
kekayaan pengalaman manusiawi, sebagaimana terungkap dalam budaya – budaya dan
tradisi – tradisi yang berbeda. Kita juga akan belajar untuk menghargai lebih
penuh nilai – nilai utama yang diilhami oleh kristinitas seperti pandangan
tentang pribadi manusia, kodrat perkawinan dan keluarga, perbedaan yang benar
antara lingkup agamawi dan politik,
prinsip – prinsip solidaritas dan subsidiaritas dan banyak lagi hal lain. Bagaimana
komunikasi dapat hadir demi suatu budaya sejati dari perjumpaan? Apa artinya
bagi kita, sebagai murid – murid Tuhan, berjumpa dengan orang lain dalam terang
injil? Meskipun keterbatasan – keterbatasan dan kedosaan kita, bagaimana kita
sesungguhnya menjadi dekat satu sama lain? Pertanyaan pertanyaan ini
tersimpulkan dalam apa yang seorang ahli kitab – seorang komunikator – pernah mempertanyakan
kepada Yesus : “Dan ssiapakah sesamaku (Lk 10:29). Pertanyaan ini dapat
membantu kita untuk melihat komunikasi dalam istilah “kesesamaan”.
Mungkin kita dapat mengkalimatkannya sebagai berikut :
Bagaimana kita dapat menjadi “sesame” dalam penggunaan media komunikasi dan
dalam lingkungan baru yang diciptakan oleh teknologi digital? Saya menemukan
suatu jawaban dalam perumpaan Orang Samaria yang baik, yang juga merupakan
sebuah perumpamaan tentang komunikasi. Orang – orang yang mengadakan komunikasi
naytanya menjadi orang samaria yang baik tidak hanya lebih mendekatkan oran
yang ia temuakan setengah mati dipinggir jalan; dia mengambil dan tanggungjawab
baginya. Yesus mengalihkan pemahaman kita: itu bukan saja perihal memandang
orang lain sebagai seseorang seperti diri saya seperti orang lain, tetapi
kemampuan untuk membuat diri saya seperti orang lain. Komunikasi sesungguhnya
menyangkut kesadaran bahwa kita sekalian adalah mahkluk manusiawi, anak – anak Allah.
Saya ingin memandang kemampuan komunikasi sebagai “kesesamaan”.
Manakalah komunikasi pertama – tama bertujuan untuk
memajukan konsumsi atau memanipulasi orang – orang lain, kita berhadapan dengan
suatu bentuk penyerangan yang kejam seperti apa yang diderita oleh orang dalam
perumpaan itu, yang dipukuli oleh perampok dan ditinggalkan di jalan. Orang Levi
dan imam tidak memandang dia sebagai seorang sesame, tetapi sebagai seorang
asing yang tidak boleh dijamah. Dalam masa itu, peraturan dari kemurnian ritual
yang mengkondisikan jawaban mereka. Dewasa ini terdapat seorang asing yang
media tertentu mengkondisikan jawaban – jawaban kita, sehingga kita gagal
memandangn sesama kita yang sebenarnya.
Tidaklah cukup untuk lalu lalang dalam jalan bebas
hambatan digital, asalkan “terhubungkan”; keterhubungan perlu berkembang
menjadi rekan – rekan perjumpaan yang sejati. Kita tidak dapat hidup terpisah,
tertutup dalam diri kita sendiri. Kita perlu mencintai dan dicintai. Kita perlu
kelembutan. Strategi – strategi media tidak menjamin kecantikan, kebaikkan dan
kebenaran dalam komunikasi. Dunia media juga harus peduli akan kemanusiaan;
media juga dipanggil untuk menunjukkan kelembutan. Dunia digital dapat menjadi
suatu lingkungan yang kaya dalam kemanusiaan; suatu jejaring bukanlah untaian
kabel – kabel tetapi hubungan orang – orang. Ketidak-berpihakkan media hanyalah
suatu penampilan; hanya orang – orang yang keluar dari dirinya sendiri dalam
komunikasi dapat menjadi titik rujukkan yang benar bagi orang lain. Keterlibatan
pribadi adalah dasar dari kepercayaan dari seorang komunikator. Kesaksian kristiani,
terima kasih atas internet. Olehnya dapat mencapai kawasan pinggiran dari
keberadaan manusiawi. Sebagaimana saya sering mengamatim jika suatu pilihan
harus dilakukan antara sebuah gereja memar yang pergi karena kepuasan diri,
maka pasti saya lebih menyukai orang pertama. “jalan-jalan” itu adalah dunia
dimana mereka dapat dijumpai, baik
secara efektif maupun afektif. Jalan bebas hambatan digital adalah salah
satunya, sebuah jalan yang digandrungi oleh orang – orang yang sering terlukai,
laki – laki dan perempuan yang mencari keselamatan aau pengharapan. Dengan sara
internet, pesan kristiani dapat menjangkau “sampai ke ujung bumi” (kis 1:8). Dengan
menjaga pintu – pintu gereja – gereja terbuka juga berarti menjaganya terbuka
dalam lingkugan digital sehingga orang – orang apapun keadaan hidupnya, dapat
masuk dan demikian injil dapat pergi menjumpai setiap orang. Kita dipanggil
untuk menunjukkan bahwa gereja adalah rumah semua orang. Apakah kita mampu
menanyakan gambaran dari sebuah Gereja demikian? Komunikasi adalah suatu sarana
untuk mengungkapkan paggilan missioner dari seluruh Gereja; dewasa ini jejaring
sosial adalah salah satu jalan untuk mengalami panggilan ini guna menemukan
kembali keindahan dari iman, kecantikkan perjumpaan dengan Kristus. Dala lingkup
komunikasi juga, kita perlu sebuah Gereja yang mampu membawa kehangatan dan
menggerakan hati.
Kesaksian kristiani yang efektif bukanlah tentang
mencekoki orang – orang dengan pesan – pesan agamawi tetapi tentang kerelaan
kita untuk siap sedia bagi orang – orang lain “dengan menanggapi secara sabar
dan penuh hormat pertanyaan – pertanyaan dan keragu – raguan yang mereka ajukan
guna mencari kebenaran dan makna keberadaan manusiawi “(Benediktus XVI, Pesan
Hari Komunikasi Sosial ke-47, 2013). Kita cukup mengingat kembali kisah murid –
murid dalam perjalanan ke Emmaus. Kita harus mampu berdialog dengan laki – laku
dan perempuan semasa untuk memahami kecemasan, keraguan dan pengharapan mereka,
dan memperkenalkan injil Yesus Kristus sendiri, Allah yang menjelma, yang wafat
dan bangkit membebaskan kita dan siap sedia secara rohaniah. Berdialog berarti
percaya bahwa “orang lain” mempunyai sesuatu yang pantas disampaikan, dan
menyenangi pandangan dan perspektifnya. Dengan melibatkan dalam dialog tidak
berarti mengesampingkan ide – ide dan tradisi kita sendiri tetapi menampik
pendakuan bahwa hanya milik kita yang sah atau mutlak. Semoga gambaran Orang
Samaria yang baik yang peduli akan luka – luka dari orang itu menuangkan minyak
dan anggur atasnya menjadi inspirasi kita. Biarlah komunikasi kita menjadi
sebuah balsam yang meringankan rasa sakit dan anggur enak yang meriangkan hati.
Semoga terang yang kita bawa kepada orang lain tidak merupakan buah hasil
kosmetik atau akibat – akibat khusus tetapi “kasih dan belaskasih “bersesama”
kita akan mereka yang terluka dan ditinggalkan ditepi jalan. Biarlah kita
dengan berani menjadi warga dari dunia
digital. Gereja perlu menjadi peduli dan hadir dalam dunia komunikasi, agar
berdialog dengan orang – orang semasa dan membantu mereka berjumpa dengan
kristus. Dia perlu menjadi sebuah gereja yang berpihak pada orang – orang lain,
mampu menemani siapa saja sepanjang jalan Revolusi yang terjadi dalam media
komunikasi dan dalam teknologi informasi menghadirkan suatu tantangan yang
besar dan mendebarkan hati; semoga kita menanggapi tantangan itu dengan tenaga
dan imaginasi yang segar sewaktu kita berupaya untuk berbagi kecantikan Allah
bersama orang lain.
Vatikan, 24 Januari 2014
Pesta St. Fransiskus dari Sales
Paus Fransiskus
(Steven/KM)
0 thoughts on “PESAN DARI SRI PAUS FRANSISKUS PADA HARI KOMUNIKASI SEDUNIA ke-48”