Alexander Gobai/KM |
Oleh : Alexander
Gobai
Kawan-kawan
seperjuang dan kaum intelektual, perkenankan saya untuk menjelaskan topik yang
sedang diangkat ini. Karena menurut saya, topik ini perluh dikajai lebih jauh.
Sehingga dapat diketahui secara mata publik mengenai bagaimana mengkaderkan
pengkaderan yang baik. Sehingga kader-kader ini, bisa merubah dunia yang baik
pula untuk tanah papua khususnya daerah meuwodide.
***
3
hari yang lalu, hati saya, tergerak dengan sendirinya untuk pergi di kakak
laki-laki. Ia adalah kakak sepupuk, yang mamanya bersaudara kandung dengan
bapak saya. Ia adalah Benediktus kadepa, yang juga kerja sebagai karyawan
Tembagapura. Yang saat ini, tinggal di jalan Samratu Langi, Senpan, Timika, Papua.
Hari
itu, saya pergi di rumahnya. Sementara dalam perjalanan, ada sebuah ungkapan
hati yang mengatakan sebelum dari pada saya masuk di rumahnya, “bahasa apa yang
harus saya siapkan untuk bicara, di saat saya bertemu dengannya. “Ah, tidak
papa, saya jalan saja, nanti sendirinya akan muncul juga toh”…! (kata
hati). Sesampai di rumahnya, saya masuk lalu bersalaman dengan
saudara-saudara yang sempat duduk dengan kakak laki-laki.
Saya
duduk sekaligus melepaskan rasa panas di tubuh, sambil minum air putih, yang
sudah disajikan di tempat meja makan. Setelah itu, kira-kira 15 menit kemudian,
mulailah curhat dengan kakak laki-laki. Ketika terjadi kontak interakasi antara
kakak laki-laki dengan saya yang lebih hangat, ada perasaan keprihatinan yang mucul dalam hati,
yaitu mengenai keprihatinan kepemerintahan daerah paniai. Karena menurutnya,
pemerintahan paniai masih dalam tahap pembelajaran yang sifatnya ingin memiliki
sendiri, sistem pemerintahan egois, dari pada bekerja untuk masyarakat dalam
satu kesatuan yang sifanya kepentingan bersama.
Di
saat, ia berbicara, saya tidak terlalu yakin, karena gaya pembicaraannya santai
dan tidak terlalu serius. Namun, setelah diselidiki, kata-kata yang
diungkapkan, sangat benar dan itu fakta, yang sudah terjadi di kabupaten
paniai.
Pembicaraan
ini sudah mulai panas dan arahnya sudah masuk pada sistem pengkader. “Jadi,
sistem pengkaderan ini sangat penting untuk terapkan dalam sistem
pemerintahan,”kata kakak benedikutus.
Disamping
pembicaraan itu, kopi hitam menjadi teman setia. Ia mulai mengajak, untuk tetap
fokus pada pembicaraan, yaitu masalah pengakaderan.
Bahwa
kami orang Papua pada umumnya dan pada khususnya suku Mee, sulit untuk mengkaderkan
orang-orang kami sendiri, orang suku Mee. Jadi masalahnya, ketika datangnya
masa jabatannya habis, pasti kita akan lari, mencari orang-orang luar, untuk
duduk di kursinya selama ia masih menjabat sebagai jabatanya (sebagai
pengantinya), dari pada orang-orang kita sendiri. “sasah sekali, kami orang ini,”ungkapanya dengan kesedihan hati.
Oleh
karenanya, ketika kita kembali melihat kebudayaan masa dulu. “kebudayaa orang
mee, masih pegang budaya lama. Yang bila kita lihat dari sisi negatif. Artinya,
bahwa budaya orang mee masih memegang budaya yang sebagai tanggungjawab sendiri,”ajaknya
Contoh;
bila dalam satu keluarga memunyai satu
beden kebun besar, itu berarti keluarga itu, akan bagi dalam satu keluarga itu
saja. Jadi, masalah ini ada dan yang
sedang terjadi, hingga membawa sampai pada sistem pemerintahan juga. jadi sama
hal dengan masalah pengkaderan,”kantanya.
“Bila
ada satu pejabat besar, dia tidak akan memikirkan orang lain. Yang ada hanya
perut dan dompet pribadi,”ungkapnya
Tidak
sama dengan suku dani,”pintahnya. Budaya mereka sudah terjerumus pada tingkat
sistem pemerintahan. Artinya, kekompakan untuk menagani masalah atau
menyelesaikan masalah, mereka akan turun dan selesaiakan masalah secara
bersama-sama.
Begitupun
juga dengan masalah kebun. Bila di dalam satu keluarga memuyai satu beden
kebun. Mereka akan kerja secara bersama-sama hingga selesai. Dan penghasilannya
mereka akan nikmati secara sama-sama pula.
Sama
hal dengan sistem pemerintahan. Budaya yang sudah menjadi darah daging mereka
terapkan di pemerintahan.
Contoh
masalah pendidikan. Mereka kasih gratis. Biayai mereka, yang kulia
tinggi-tinggi hingga selesai. Ini adalah tahapan dasar dari pada perjuangan,
yang akan terus mereka upayakan pengkaderan hingga mendomisisli darah mereka
sendiri. Jadi isitilah tanah mereka adalah tanah kami, dan kami yang harus jadi
tuan di tanah daerah sendiri.
Sementara
kami suku mee, tidak seperti itu. Cara kerja budaya lain, cara kerja
pemerintahan lain. Istilahnya teori lain,
praktek lain. Bagaimana bisa menerapkan pengkaderan. Bila sistem
pemerintahan masih belum benar.
Yang
menjadi faktor penghambat ialah tingkat pemahaman pribadi masih kurang mapan. Artinya tingkat
pemahaman yang sifatnya kepentingan bersama, masih belum ditemukan. Yang ada
hanya ingin makan dan menikmati kebutuhan diri sendiri dari pada membuat
keperluan untuk kepentingan bersama. Dan bila sudah seperti itu, masalah
pengkaderan tidak akan tercipta entah sampai kapanpun.
***
Kawan-kawan,
saya hanya meluruskan saja, bahwa perbedaan-perbedaan yang terjadi di atas,
merupakan salah budaya yang tidak terlepas dari kebiasaan pribadi dan sosial.
Maka, masalah pengkaderan suku Mee, masih sulit untuk disikapai. Contohnya
saja, dana pendidikan yang tujuanya mengkaderkan pengkaderan malah digunakan
untuk kepentingan pribadi.
Akibatnya,
kami yang punya tanah menjadi penonton setia, banyak pengganguran dll. Dan
mereka yang datang dari luar, yang malah menikmati hasil tanah kami.
Di
samping itu, banyak terjadi konslet antara pelajar dan mahasiswa dengan
pemerintahan yang sementara menempu pendidikan di berbagai perguruan tinggi
(PT). Ingin melanjutkan di jenjang
berikut, malah tidak diberikan kesempatan. Apalagi, bagi mereka yang sudah
selesai perguruan tinggi. Ketika datangnya melamar kerja, ataupun tes pegawai
malah tidak diberikan kesempatan. Malah berikan kesempatan kepada orang lain
yang bukan orangnya.
Sifat-sifat
ini yang kadang menghambat perkembangan daerah. Ekonomi jadi macet, kehidupan
sosial baku konfilik, pejabat lari ke
luar daerah. Tujuannya ingin bertemu dengan pemintahan pusat, ingin membuat
kesepakatan bisnis ekonomi. Lalu, ketika uang sudah diberikan, malah tidak
dilaksankan program itu, tetapi untuk kepentingan perut.
Hal-hal
semacam ini, yang seharusnya diperbaiki dan tidak usah terjadi. Perluh terapkan
sistem pengakaderan, ciptakan sumber daya manusia yang berkualitaas dan
berintelektual. Sehingga pembangunan daearh terlihat rapi dan ada daya saing
luar. Jangan, membuat daerah menjadi kotor, dengan hal-hal buruk.
Sadar
akan Sesuatu adalah hal terpenting dari segalahnya. Bila daerah ingin maju,
lakukan yang terbaik untuk rakyat dan daerah. Maju mundurnya daerah hanya
terjadi bila pemimpin bijaksana dalam mengambil kebijakasanaan yang tepat dan
cepat.
Dengan
demikian, menurut pembicaraan saya dengan kakak laki-laki. Itu sudah sangat
benar. Bahwa suku mee, sulit mengkaderkan manusia menjadi manusia. Karena dilihat
dari budaya sudah begitu, banyak persoalan yang terjadi antarkeluarga, apalagi
pemerintahan malah akan semakin rusak.
Untuk
membenahi itu, perlu terapkan program yang berbaur sifat kebudayaan. Artinya,
kebiasaan masyarakat atau biasa disebut budaya, hal itu yang perlu diterapkan
di pemerintahan. Sehingga mudah di atur dan tararah dengan rapi dan indah. Bila
buat yang lain ataupun tidak melakukannya, malah akan semakin lucu rusak.
Maka,
pengkaderan suku Mee, harus dipupuk dan terus terjaga, sehingga kaum inteketual
suku Mee, terlihat dengan kasat mata, bahwa orang mee juga bisa mengkaderkan
manusi menjadi manusia.
Alexander Gobai, Mahasiswa Talepas,
Tinggal di Timika
0 thoughts on “Pengkaderan Perluh di Pupuk dan Harus Terjadi Terhadap Masyarakat Papua Khususnya Masyarakat MEE”