Foto : Jhon N.R Gobai Ketua Dewan Adat Paniai/ Doc Jhon N.R |
Oleh
: JOHN GOBAI
Pengantar
Kasus Paniai telah sampai pada saat yang dilematis, disatu sisi
masyarakat, saksi dan korban segera dibawah ke pengadilan namun disisi
lain ada permintaan otopsi terhadap jenasah, korban penembakan, padahal
ada saksi korban telah menyampaikan kesaksian bahwa pelakunya semakin
jelas. Hal itu jika dikaitkan dengan Pasal 9 UU No 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM,disebutkan ada sembilan perbuatan yang dikategorikan
Pelanggaran HAM Berat. Kesembilan perbuatan tersebut, yakni; pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan
penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan’ dan ‘penghilangan orang secara paksa.
Bentuk-bentuk perbuatan yang disebut, masing-masing dalam Pasal 9 huruf
a, b, c, d, e, f, g, h, dan i Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
Sekarang telah jelas bahwa salah satu saja tindakan dalam pasal 9 jika
dilakukan oleh aparat negara maka aparat negara telah melakukan
Kejahatan terhadap kemanusiaan sehingga disebut Pelanggaran HAM Berat.
Otopsi Bertentangan Dengan Budaya.
Permintaan otopsi sebetulnya dilakukan sejak awal, bukan setelah
beberapa bulan, namun jika baru setelah beberapa bulan, maka ini hanya
sebuah upaya untuk menyembunyikan kasus paniai, karena dari kesaksian
telah sangat jelas, siapa pelakunya, sehingga tidak perlu institusi
menyembunyikan anggotanya. Jika institusi menyembunyikan maka akan
merusak citra negara dimata dunia, karena kasus Paniai berdarah telah mendunia bahkan harus diingat jarum jatuh dihutan saja dunia akan tau melalui
media social atau media elektronik.
Dari kronologis yang telah disebarkan lewat media, tentunya telah jelas,
ini kami tidak perlu melakukan otopsi terhadap jenasah, karena telah
jelas siapa yang bertanggung jawab, sehingga institusi dan negara tidak
perlu menyembunyikan pelaku dibalik hukum karena belum melakukan otopsi
hanya untuk membuktikan siapa yang memiliki peluru yang bersarang dalam
tubuh korban. Diduga berbagai pihak telah memperoleh informasi tentang
budaya suku Mee, yang biasanya tidak membolehkan orang untuk membuka
peti jenasah yang telah dikubur dalam tahun dalam waktu yang masih belum
lebih dari setahun.
Permintaan otopsi terhadap jenasah jelas merupakan
sebuah jebakan bagi kita karena jelas pasti ditolak oleh keluarga, jika
ditolak jelas akan dikatakan kami sulit membuktikan pemilik peluru, dan
bisa saja kasus ini dianggap pelanggaran ham biasa, padahal ini sebuah
pelanggaran ham berat sesuai dengan pasal 9 UU No 26 Tahun 2000, karena
dikasus ini tidak hanya terjadi pembunuhan tetapi juga penyiksaan dan
penganiyaan, sehingga kasus ini adalah Pelanggaran HAM berat.
Penutup
Untuk menutupi aksi Aparat Negara yang melanggar hak asasi warga sipil adalah tindakan
yang melalaikan kewajiban utama dalam melindungi dan menjamin hak asasi
warga negaranya. Sebagaimana, setiap Negara termasuk Indonesia
diwajibkan untuk melaksanakan kewajiban melaksanakannya pasca Deklarasi
Umum HAM (DUHAM, 10/12/1948).
Dengan demikian, dapat terlihat jelas
bahwa serangan yang dilakukan aparat negara terhadap warga sipil di
Paniai diduga dilakukan secara terencana atau sistematis dan meluas. Dua
unsur terencana atau sistematis dan meluas dalam kasus ini dapat
terpenuhi kriteria pelanggaran berat HAM yang diatur dalam hukum dan
HAM. Terutama tentang kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM pasal 9
dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM pasal 104, sehingga
telah dibentuk Tim Ad Hoc Kasus Paniai.
Kasus ini adalah pelanggaran HAM berat, dilihat dari keterangan saksi
dan saksi korban kasus. Pertanyaan mendasar adalah dimana kelompok aparat dan oknum mana yang terlibat dalam kasus ini. Apakah pelaku adalah dari kelompok Brimob, Polsek, PASKHAS,
KORAMIL,POLRES, TIMSUS ?.
Pertanyaan lanjutan adalah pihak aparat ada dimana saat kejadian itu ?. Komandan siapa (Brimob, Polsek, PASKHAS, KORAMIL,POLRES, TIMSUS) perintahkan apa ?. Ini Pertanyaan-pertanyaan kunci, namun pihak aparat terlihat
sangat tidak jujur dan menghalangi penegakan HAM di Papua serta mereka
sebenarnya punya data tetapi aparat melakukan sortir berita.
Jhon N.R Gobai adalah Ketua Dewan Adat Kab. Paniai Papua.
0 thoughts on “Jujur Itu Sakit Kah? Pak Tentara dan Polisi Kata Kunci Membuka Kasus Paniai”