"Diskusi tentang perkebunan Sawit di Kabupaten Keerom tak pernah usai. Buruh sawit masih hidup dalam ketidakpastian."
Proyek Sawit di Keerom dimulai pada awal tahun 1980-an ketika pemerintah mengembangkan program perkebunan inti rakyat (PIR) dan menyelaraskannya dengan program transmigrasi di wilayah tersebut. Ternyata, dampak sosial program itu sungguh tak terduga.
Masyarakat asli kebingungan dan tergopoh-gopoh mengikuti perubahan yang cepat itu. Mereka tiba-tiba dihadapkan pada peralihan pola hidup, dari meramu menjadi pola industri yang berbasis perkebunan rakyat yang sebenarnya begitu asing.
Sebenarnya, kala itu, masyarakat asli enggan menyerahkan tanah untuk diubah menjadi perkebunan dengan pola PIR. ”Namun, karena takut dicap anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM), kami terpaksa menyerahkannya. Puluhan hektar hutan dibuka, pohon-pohon sagu dan kayu ditebang,” kata Bernard Nouyagir, tokoh masyarakat.
Hutan kayu dan sagu yang sebelumnya menjadi basis hidup, tiba-tiba lenyap dan berganti menjadi kebun kelapa sawit. Reproduksi pangan seperti umbi-umbian dan sayur-mayur mulai sulit dilakukan, binatang buruan sulit didapat.
Gegar budaya
Hutan yang menjadi basis kehidupan perlahan-lahan hancur, pola hidup mereka berubah dan terancam. “Dari cara hidup meramu, tiba-tiba kami dihadapkan pada pola hidup baru, yaitu industri berbasis perkebunan tanpa proses peralihan dan pendampingan yang memadai,” kata Hubertus Kwambre, tokoh adat.
Pemerintah melalui PTPN II, tutur Hubertus, memang melatih masyarakat untuk mengelola kebun kelapa sawit itu. Namun, itu bukan perkara mudah. Cara berkebun dengan orientasi industri sangat berbeda dengan cara berkebun masyarakat asli Papua yang berorientasi pemenuhan hidup harian saja.
Jika sebelumnya masyarakat asli cukup membuka hutan seluas kurang lebih setengah hektar untuk menanam keladi, sayur dan umbi-umbian, dengan hadirnya kelapa sawit mereka harus bekerja pada lahan minimal seluas dua hektar dengan jenis tanaman monokultur.
Sebagai plasma mereka dihadapkan pada pola intensifikasi memperoleh target produksi tandan buah segar (TBS) untuk memasok industri minyak sawit mentah atau CPO (crude palm oil). Mereka juga menjadi bergantung pada pabrik karena CPO hanya dapat dihasilkan melalui proses pemerasan di pabrik.
Tanpa disadari, itu berdampak pada hilangnya identitas kultural, dan relasi mereka dengan tanah pun berubah. “Jika sebelumnya relasi masyarakat asli dengan tanah sangat dipengaruhi oleh gagasan filosofis dan religius, dalam pola baru itu relasi masyarakat dengan lahan cenderung hanya berbasis ekonomis. Melalui proses itu, mereka pun seolah menjadi buruh dalam relasi industri berbasis perkebunan rakyat tersebut,” tutur Hubertus menambahkan.
Melompat
Dosen pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan Universitas Indonesia, Hariadi Kartodihardjo, mengatakan, kegagalan masyarakat asli Papua bercocok tanam kelapa sawit disebabkan karena mereka mengalami lompatan kultur dalam proses budidaya dan produksi tanaman perkebunan. Lompatan kultur itu memperlemah kelembagaan masyarakat dan mengancam kemandirian mereka.
Harus diakui, dalam dimensi investasi, penguatan sosial masyarakat menurutnya kerap tidak mendapat perhatian. Yang menjadi fokus utama adalah agregat pertumbuhan investasi dan laju modal. “Kemajuan ekonomi berbasis komunitas tidak menjadi perhatian karena, memang, basis kultural kerap berlawanan dengan pola perkebunan yang orientasinya produk massal,” kata Hariadi.
Melihat apa yang dialami masyarakat Keerom, mantan Dekan Keerom yang juga penggiat HAM, Pater John Jonga, berpendapat sebaiknya pemerintah mengkaji kembali proyek pengembangan perkebunan kelapa sawit di Papua. Banyak aspek, seperti lingkungan hidup, budaya, isu-isu keamanan, dan sosial, harus dipertimbangkan kembali.
Sawit di Mimika
Lain Keerom, lain lagi di Mimika. Di daerah pertambangan emas terbesar kedua di dunia itu, pemerintah benar-benar tak mau ambil pusing. Bupati Mimika, Papua, Eltinus Omaleng secara bulat menolak sawit dengan menerbitkan surat keputusan penghentian total aktivitas PT Pusaka Agro Lestari (PAL), perusahaan perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan Iwaka, Jalan Trans Timika-Paniai.
Bupati Omaleng mengatakan, pihaknya mencabut izin PT PAL meskipun perusahaan itu telah mengantongi Hak Guna Usaha (HGU) Perkebunan dari Pemerintah Pusat sejak 2010.
Alasan utama mencabut izin operasi PT PAL, karena perusahaan itu dinilai telah merusak kawasan hutan Mimika sebagai penyanggah utama sumber air dan ekosistem di kampung-kampung wilayah pesisir selatan Mimika.
“Keputusan ini kami ambil semata-mata, karena memikirkan kepentingan masyarakat Mimika. Terutama Suku Kamoro yang hidup di wilayah pesisir. Kalau hutan rusak, bagaimana nasib anak cucu mereka ke depan. Kami tidak melihat ada keuntungan dari usaha perkebunan kelapa sawit untuk masyarakat lokal,” kata Bupati Omaleng.
Pada Desember 2014, Bupati Omaleng bersama Wakil Bupati Yohanis Bassang, Kapolres Mimika AKBP Jermias Rontini dan Komandan Kodim 1710 Mimika Letkol Inf Rafles Manurung, mendatangi lokasi PT PAL di kawasan hutan Iwaka, Jalan Trans Timika-Paniai.
Setiba di lokasi PT PAL, Kabag Hukum Pemkab Mimika Sihol Parningotan membacakan surat keputusan bupati Mimika soal penghentian operasional dan pencabutan izin perusahaan perkebunan kelapa sawit itu.
Surat pencabutan izin operasional PT PAL, kemudian diserahkan kepada salah satu pejabat perusahaan itu.
Saat rombongan Bupati Omaleng hendak meninggalkan lokasi PT PAL, terjadilah aksi perlawanan oleh pemilik hak ulayat dan buruh perusahaan itu, karena menilai keputusan Pemkab Mimika bersifat sepihak dan tidak memikirkan nasib mereka yang menggantungkan hidup di PT PAL.
Mobil-mobil rombongan pejabat Pemkab Mimika, menjadi sasaran amukan warga. Bahkan mobil pribadi Bupati Omaleng hendak dilempar dengan batu oleh salah seorang warga. Namun aksinya tersebut dihentikan oleh aparat.
Siap Digugat
Bupati Omaleng mengaku, siap melayani gugatan manajemen PT PAL maupun warga pemilik hak ulayat atas perusahaan itu. “Silahkan, kami siap menghadapi itu. Kalau PT PT PAL dan pemilik ulayat mau menggugat, pemerintah daerah Mimika siap menghadapi itu,” tegas Bupati Omaleng.
Bupati Omaleng meminta dukungan aparat keamanan dari Polres Mimika dan Kodim 1710 Mimika, untuk mengawasi aktivitas di PT PAL pascapencabutan izin operasi perusahaan itu. “Nanti akan dicek terus. Kalau orang-orang itu masih ada dan melakukan aktivitas, tangkap dan proses mereka,” ujarnya.
Sejak dilantik menjadi Bupati Mimika pada 6 September 2014, Bupati Omaleng mengaku, telah menerima banyak masukan baik dari kalangan gereja, lembaga adat suku Kamoro (LEMASKO) dan berbagai pihak lainnya yang tidak menghendaki adanya investasi perkebunan kelapa sawit di Mimika.
Berbagai lembaga itu menduga, investasi perkebunan kelapa sawit hanyalah modus untuk melakukan perambahan hutan dengan tujuan utama mengambil hasil kayu untuk dikirim ke luar Papua.
Investasi perkebunan kelapa sawit, juga dinilai mengancam kelangsungan hidup Suku Kamoro di wilayah pesisir, mematikan sumber air sungai dan ekosistem lingkungan lainnya. Mengingat warga Suku Kamoro menggantungkan hidup dari usaha mencari dan mengumpulkan hasil kekayaan, yang disediakan oleh alam (hidup sebagai peramu).
Perwakilan Lembaga Musyawarah Adat Suku Kamoro (LEMASKO), Marianus Maknaipeku mengapresiasi keputusan Bupati Omaleng, yang telah menutup aktivitas PT PAL demi menjamin kelangsungan masa depan generasi muda Suku Kamoro di Mimika.
PT PAL mendapatkan HGU Perkebunan dari Pemerintah Pusat sejak 2010, untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit pada lahan seluas 39 ribu hektare. Sebelum terbitnya HGU Perkebunan dari Pemerintah Pusat, perusahaan itu telah mengantongi izin atau rekomendasi dari Bupati Mimika sejak 2007.
Lokasi perkebunan PT PAL, tersebar mulai dari Sungai Kamoro di timur hingga Sungai Mimika di barat Jalan Trans Timika-Paniai. Hingga 2014, perusahaan itu merencanakan membuka kawasan hutan seluas 4.000 hektare untuk ditanami kelapa sawit.(Mako/Anigouw News/KM)
(Jery Omona/JERAT/Dari berbagai sumber)
Proyek Sawit di Keerom dimulai pada awal tahun 1980-an ketika pemerintah mengembangkan program perkebunan inti rakyat (PIR) dan menyelaraskannya dengan program transmigrasi di wilayah tersebut. Ternyata, dampak sosial program itu sungguh tak terduga.
Masyarakat asli kebingungan dan tergopoh-gopoh mengikuti perubahan yang cepat itu. Mereka tiba-tiba dihadapkan pada peralihan pola hidup, dari meramu menjadi pola industri yang berbasis perkebunan rakyat yang sebenarnya begitu asing.
Sebenarnya, kala itu, masyarakat asli enggan menyerahkan tanah untuk diubah menjadi perkebunan dengan pola PIR. ”Namun, karena takut dicap anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM), kami terpaksa menyerahkannya. Puluhan hektar hutan dibuka, pohon-pohon sagu dan kayu ditebang,” kata Bernard Nouyagir, tokoh masyarakat.
Hutan kayu dan sagu yang sebelumnya menjadi basis hidup, tiba-tiba lenyap dan berganti menjadi kebun kelapa sawit. Reproduksi pangan seperti umbi-umbian dan sayur-mayur mulai sulit dilakukan, binatang buruan sulit didapat.
Gegar budaya
Hutan yang menjadi basis kehidupan perlahan-lahan hancur, pola hidup mereka berubah dan terancam. “Dari cara hidup meramu, tiba-tiba kami dihadapkan pada pola hidup baru, yaitu industri berbasis perkebunan tanpa proses peralihan dan pendampingan yang memadai,” kata Hubertus Kwambre, tokoh adat.
Pemerintah melalui PTPN II, tutur Hubertus, memang melatih masyarakat untuk mengelola kebun kelapa sawit itu. Namun, itu bukan perkara mudah. Cara berkebun dengan orientasi industri sangat berbeda dengan cara berkebun masyarakat asli Papua yang berorientasi pemenuhan hidup harian saja.
Jika sebelumnya masyarakat asli cukup membuka hutan seluas kurang lebih setengah hektar untuk menanam keladi, sayur dan umbi-umbian, dengan hadirnya kelapa sawit mereka harus bekerja pada lahan minimal seluas dua hektar dengan jenis tanaman monokultur.
Sebagai plasma mereka dihadapkan pada pola intensifikasi memperoleh target produksi tandan buah segar (TBS) untuk memasok industri minyak sawit mentah atau CPO (crude palm oil). Mereka juga menjadi bergantung pada pabrik karena CPO hanya dapat dihasilkan melalui proses pemerasan di pabrik.
Tanpa disadari, itu berdampak pada hilangnya identitas kultural, dan relasi mereka dengan tanah pun berubah. “Jika sebelumnya relasi masyarakat asli dengan tanah sangat dipengaruhi oleh gagasan filosofis dan religius, dalam pola baru itu relasi masyarakat dengan lahan cenderung hanya berbasis ekonomis. Melalui proses itu, mereka pun seolah menjadi buruh dalam relasi industri berbasis perkebunan rakyat tersebut,” tutur Hubertus menambahkan.
Melompat
Dosen pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan Universitas Indonesia, Hariadi Kartodihardjo, mengatakan, kegagalan masyarakat asli Papua bercocok tanam kelapa sawit disebabkan karena mereka mengalami lompatan kultur dalam proses budidaya dan produksi tanaman perkebunan. Lompatan kultur itu memperlemah kelembagaan masyarakat dan mengancam kemandirian mereka.
Harus diakui, dalam dimensi investasi, penguatan sosial masyarakat menurutnya kerap tidak mendapat perhatian. Yang menjadi fokus utama adalah agregat pertumbuhan investasi dan laju modal. “Kemajuan ekonomi berbasis komunitas tidak menjadi perhatian karena, memang, basis kultural kerap berlawanan dengan pola perkebunan yang orientasinya produk massal,” kata Hariadi.
Melihat apa yang dialami masyarakat Keerom, mantan Dekan Keerom yang juga penggiat HAM, Pater John Jonga, berpendapat sebaiknya pemerintah mengkaji kembali proyek pengembangan perkebunan kelapa sawit di Papua. Banyak aspek, seperti lingkungan hidup, budaya, isu-isu keamanan, dan sosial, harus dipertimbangkan kembali.
Sawit di Mimika
Lain Keerom, lain lagi di Mimika. Di daerah pertambangan emas terbesar kedua di dunia itu, pemerintah benar-benar tak mau ambil pusing. Bupati Mimika, Papua, Eltinus Omaleng secara bulat menolak sawit dengan menerbitkan surat keputusan penghentian total aktivitas PT Pusaka Agro Lestari (PAL), perusahaan perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan Iwaka, Jalan Trans Timika-Paniai.
Bupati Omaleng mengatakan, pihaknya mencabut izin PT PAL meskipun perusahaan itu telah mengantongi Hak Guna Usaha (HGU) Perkebunan dari Pemerintah Pusat sejak 2010.
Alasan utama mencabut izin operasi PT PAL, karena perusahaan itu dinilai telah merusak kawasan hutan Mimika sebagai penyanggah utama sumber air dan ekosistem di kampung-kampung wilayah pesisir selatan Mimika.
“Keputusan ini kami ambil semata-mata, karena memikirkan kepentingan masyarakat Mimika. Terutama Suku Kamoro yang hidup di wilayah pesisir. Kalau hutan rusak, bagaimana nasib anak cucu mereka ke depan. Kami tidak melihat ada keuntungan dari usaha perkebunan kelapa sawit untuk masyarakat lokal,” kata Bupati Omaleng.
Pada Desember 2014, Bupati Omaleng bersama Wakil Bupati Yohanis Bassang, Kapolres Mimika AKBP Jermias Rontini dan Komandan Kodim 1710 Mimika Letkol Inf Rafles Manurung, mendatangi lokasi PT PAL di kawasan hutan Iwaka, Jalan Trans Timika-Paniai.
Setiba di lokasi PT PAL, Kabag Hukum Pemkab Mimika Sihol Parningotan membacakan surat keputusan bupati Mimika soal penghentian operasional dan pencabutan izin perusahaan perkebunan kelapa sawit itu.
Surat pencabutan izin operasional PT PAL, kemudian diserahkan kepada salah satu pejabat perusahaan itu.
Saat rombongan Bupati Omaleng hendak meninggalkan lokasi PT PAL, terjadilah aksi perlawanan oleh pemilik hak ulayat dan buruh perusahaan itu, karena menilai keputusan Pemkab Mimika bersifat sepihak dan tidak memikirkan nasib mereka yang menggantungkan hidup di PT PAL.
Mobil-mobil rombongan pejabat Pemkab Mimika, menjadi sasaran amukan warga. Bahkan mobil pribadi Bupati Omaleng hendak dilempar dengan batu oleh salah seorang warga. Namun aksinya tersebut dihentikan oleh aparat.
Siap Digugat
Bupati Omaleng mengaku, siap melayani gugatan manajemen PT PAL maupun warga pemilik hak ulayat atas perusahaan itu. “Silahkan, kami siap menghadapi itu. Kalau PT PT PAL dan pemilik ulayat mau menggugat, pemerintah daerah Mimika siap menghadapi itu,” tegas Bupati Omaleng.
Bupati Omaleng meminta dukungan aparat keamanan dari Polres Mimika dan Kodim 1710 Mimika, untuk mengawasi aktivitas di PT PAL pascapencabutan izin operasi perusahaan itu. “Nanti akan dicek terus. Kalau orang-orang itu masih ada dan melakukan aktivitas, tangkap dan proses mereka,” ujarnya.
Sejak dilantik menjadi Bupati Mimika pada 6 September 2014, Bupati Omaleng mengaku, telah menerima banyak masukan baik dari kalangan gereja, lembaga adat suku Kamoro (LEMASKO) dan berbagai pihak lainnya yang tidak menghendaki adanya investasi perkebunan kelapa sawit di Mimika.
Berbagai lembaga itu menduga, investasi perkebunan kelapa sawit hanyalah modus untuk melakukan perambahan hutan dengan tujuan utama mengambil hasil kayu untuk dikirim ke luar Papua.
Investasi perkebunan kelapa sawit, juga dinilai mengancam kelangsungan hidup Suku Kamoro di wilayah pesisir, mematikan sumber air sungai dan ekosistem lingkungan lainnya. Mengingat warga Suku Kamoro menggantungkan hidup dari usaha mencari dan mengumpulkan hasil kekayaan, yang disediakan oleh alam (hidup sebagai peramu).
Perwakilan Lembaga Musyawarah Adat Suku Kamoro (LEMASKO), Marianus Maknaipeku mengapresiasi keputusan Bupati Omaleng, yang telah menutup aktivitas PT PAL demi menjamin kelangsungan masa depan generasi muda Suku Kamoro di Mimika.
PT PAL mendapatkan HGU Perkebunan dari Pemerintah Pusat sejak 2010, untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit pada lahan seluas 39 ribu hektare. Sebelum terbitnya HGU Perkebunan dari Pemerintah Pusat, perusahaan itu telah mengantongi izin atau rekomendasi dari Bupati Mimika sejak 2007.
Lokasi perkebunan PT PAL, tersebar mulai dari Sungai Kamoro di timur hingga Sungai Mimika di barat Jalan Trans Timika-Paniai. Hingga 2014, perusahaan itu merencanakan membuka kawasan hutan seluas 4.000 hektare untuk ditanami kelapa sawit.(Mako/Anigouw News/KM)
(Jery Omona/JERAT/Dari berbagai sumber)
0 thoughts on “Cerita Sawit di Papua”