Presiden NKRI (Foto: Dok. Ist/KM) |
Oleh: Natalius Pigai
Artikel - (KM). Tidak terasa Pemerintah Jokowi telah 2 tahun berlalu, 2 tahun itu pula Ibu Justiani Liem, dkk, berkoar koar memuja muji Pemerintah saban hari tanpa henti, Anda katakan pemerintahan Jokowi anti korupsi, Pemerintah memberantas mafia, kartel, Pemerintah menepati janji, pemeintah tidak langgar HAM, komitmen pada rakyat, konsisten, demokratis, menghormati kebebasan ekspresi.
Semua kata-kata itu kesimpulan kalian, saya hormati
tapi saya mau tanya bagaiamana bisa memberantas para oligarki (mafia ekonomi
dan kartel dagang) yang menempatkan seorang wali kota ke gubernur dan Presiden
dalam waktu kurang dari 3 tahun, orang bak meteor kalau tidak dibekini oleh
kaum oligarky negeri ini. Bagaimana kita bisa memastikan pemeintah ini bersih? Sedangkan Ahok sudah mulai keluarkan jurus jitu adanya sokongan para
taipan dalam pemilihan Presiden, udar Pristono dibungkam, freeport dll.
Dalam pemerintahan ini kita menyaksikan sambil
ketawa sandiwara murahan pemerintahan, institusi negara dibentrokan, hukuman
mati, penenggelaman sampan-sampan murahan, hukum Jahiliah kebiri, kapitalisasi
politik laut Cina selatan yang suhu politiknya tidak pernah besar dan tidak
akan pernah besar dengan pura pura dan menipu rakyat dgn mengobarkan semangat
nasionalisme diatas geladak kapal perang Republik Indonesia pembelian rakyat
kecil, akhirnya juga saya mengukur moralitas pemimpin dengan hanya dilihat dari Mobil ESEMKA bikinan Solo, bahkan dijadikan mobil
dinas mendobrak citra seorang wali kota hingga menjadi presiden. Hari ini,
ESEMKA tidak bisa diproduksi jadi mobil buatan domestik seperti Proton di
Malaysia dan Mobil Nasional jaman Suharto.
Bangsa papua berduka dalam kesedihan atas
meninggalnya tokoh pejuang pasar mama-mama yang Jokowi janjikan tidak pernah kunjung
usai. Dalam politik transaksional bagaimana berkoalisi ke Pemerintahan, selain
tawaran menteri juga pembagian proyek triliunan rupiah, bukankah pembangunan
infrastruktur, jalan, jembatan dll, yang membutuhkan triliunan rupiah itu
Presiden menggunakan otoritas melalui kontraktor pemerintah
dengan diam-diam menggandeng kontraktor swasta dengan penunjukan langsung.
Itulah kekuasaan, dengan berkuasa secara leluasa bernafsu memanfaatkan
kekuasaan untuk akumulasi pundi-pundi Untuk dirinya, sanak saudaranya,
koleganya dan masa depan kariernya, ada benarnya jika seorang Inggris lord
acton menyatakan power tends to korups, and will corupts absolutely.
Namun saya menghormati bangsa ini masyarakat masih
anonim dalam politik sebagaimana Herber feith sampaikan kondisi pemilih tahun
55 dan saat ini hanya terjadi perubahan pemerintahan dan politik sementara
mayoritas masyarakat masih stagnan dan belum melek politik sehingga timbul
kelompok kelompok solidaritas nekat, solidaritas buta, militan dan cenderung
fanatis, kelompok ini sangat nampak saat ini kelompok pendukung Jokowi,
pendukung ahok, pendukung mega, pendukung risma atau Ridwan Kamil, kalau jaman
dulu pendukung Gusdur dan lain-lain, mereka-mereka ini dianggap sebagai titisan
dewa, kata-kata dan perbuatan tokoh-tokoh tersebut benar semua dihadapkan
pendukung fanatik ini, bahkan kata-kata dan nasehat, perintah mereka dianggap
tita dari Dewi langit, Devine Right of the King, seperti raja Jhon di Inggris
abad ke 15.
Semoga Ibu Justiani dan kawan-kawan pendukung
Jokowi tidak demikian, sehingga orang-orang terdidik, komunitas masyarakat
sipil harus membangun bangsa Madani yang Kritis dan rasional, Imparsial,
objektif untuk menempatkan dan memilih pemimpin berdasarkan rasionalitas, akal
yang sehat bukan atas dasar fanatisme agama, suku, ras antar golongan. Kita
sudah terlalu lama hidup didalam kungkungan kebohongan dan terpolarisasi
berdasarkan fragmentasi elit bangsa tidak berdasarkan fragmentasi ideologi,
jutaan rakyat menjadi nasionalis abangan pengikut hanya seorang oknum Sukarno,
saya katakan pengikut nasionalisme personifikasi oknum Sukarno, bukan
nasionalisme cinta tanah air dan bangsa, demikian pula kelompok santri dengan
doktrin religiusitas keluarga besar NU, dengan figur utama Hasyim Ashari, atau
pengikut Muhammadiyah Ahmad Dahlan, atau Masyumi, bahkan kelompok yang mengaku
priyayi Golkar tidak memilik doktrin ideologi, demikian pula Demokrat yang
hanya mampu menjual figur SBY, atau Gerindra, Prabowo.
Ibu Justiani Liem dkk, rakyat ini Sdh lama menderita,
seandainya negara dan rakyat ibarat bersuami dan istri sejak jaman dahulu kala
mereka Sdh kasih talak 3 ke nagara, apakah kita tahu bahwa rakyat yang hidup di
pelosok nusantara ini mereka hidup dan berpengaruh dengan adanya negara? Mereka
hidup dari hasil usahanya, ketergantungan kepada alam, hidup sangat autarkis,
taken for granted dari Illahi dengan sumber daya alam yang melimpa rumah di
bumi nusantara, tanpa sentuhan negara bisa hidup, bahkan lebih aman, mereka
tidak paham Presiden operasi pasar harga daging sapi turun sampai 80 ribu,
mereka tidak tahu operasi pasar untuk turunkan harga pangan, sandang dan papan,
mereka juga tidak paham berbagai kebijakan dan regulasi tetek bengek yg dibuat
oleh negara, mereka juga tidak tahu segala kebijakan pembangunan infrastruktur
jalan-jalan bertingkat, jembatan tanpa sungai, dan juga gedung-gedung pencakar
langit yg menjulang, jutaan rakyat di bumi pertiwi ini hidup bisu, tuli
cenderung sebagai orang-orang tidak bersuara, nun jauh dari hirup pikuk modern
yang hanya berkutat di Jakarta, Jawa dan kota-kota tertentu.
Memang power tens to corupts, semua ini akibat kita
rakus berkuasa, kekuasaan memang penting namun kita lalai distribusi kekuasaan
bagi putra putri di seluruh nusantara, bagaimana mungkin Presiden selalu Jawa,
menteri-menteri mayoritas selalu Jawa lantas bisa distribusi kekuasaan, orang
Ambon sdh lama menderita, 40 tahun tidak pernah menjadi menteri, meskipun
Leimena pernah menjadi wakil perdana menteri, orang Dayak pemilik pulau
terbesar kedua setelah Greenland sampai hari ini belum ada yang menjadi
menteri, walaupun orang Dayak di Malaysia sering menjadi menteri, sejak
Indonesia merdeka sampai saat ini orang Buton di Sulawesi tenggara belum pernah
di kasih kesempatan meskipun saudara-saudara kita Laode-laode banyak
orang-orang hebat di negeri ini, orang Papua jadi pemberontak dulu baru dikasih
menteri padahal bangsa papua adalah bangsa pemberi bukan bangsa pengemis
seperti kau, jong Ambon, celebes, Borneo dan Andalas bersatu bukan tanpa cek
kosong, mereka memberi dengan cek berisi sumber daya alam yang melimpa, Selain
distribusi kekuasaan ada aspek yang paling penting adalah distribusi
pembangunan, sangat tidak adil dan cenderung diskriminatif, ketika pula Jawa
dan Sumatera konektivitas antar daerah baik darat, udara dan laut terbangun
rapi sementara di seberang sana, Kalimantan, Nusa tenggara, Maluku dan Papua,
pembanguan jalan Trans yang dibangun saat ibu kandung saya masih kecil sampai
saat ini belum pernah kelar-kelar, ini bukan berita hoax, pembangunan jalan
Trans Papua dibangun tahun 1970, ibu saya usia 15 tahun, sampai hari ini tidak
ada jalan Trans Papua yang terbangun.
Para pendukung bodoh nekat sekalian, negeri ini
bukan monarki, juga bukan oligarky, yang kekuasaan hanya berpusat pada raja dan
sekelompok orang, negeri ini Republik Indonesia, negeri milik bersama kekuasaan
berpusat pada rakyat Indonesia dan mereka yang mengelola hanya diberi
kedaulatan oleh rakyat (Summa Potestas, sive summum, sive imperium dominium).
Karena itu esensi dari negara demokrasi maka
satu-satunya cara untuk memperbaiki bangsa ini adalah distribusi keadilan
(distribution of justice) melalui distribusi kekuasaan (distribution of power)
dan distribusi pembangunan (distribution of development) di seluruh Indonesia.
Dan itu hanya bisa dilakukan melalui pemimpin yang dipilih secara rasional dan
masyarakat Madani yang kritis tanpa pendukung fanatis, militan dan cenderung
destruktif (NP)
(Penulis adalah Anggota HAM Pusat, Jakarta)
Editor: Frans Pigai
0 thoughts on “ Tuhan Hanya Membuka Pintu Bagi Orang Yang Tidak Pernah Berkuasa: Catatan Untuk Jokopedia, Projo, Seknas, Bara JP, Ibu Justiani Liem, dkk”