Berpikir untuk Kerja bukan meminta (Foto doc Orgenes Bunay)/KM |
Oleh
Orgenes Bunay
Opini, (KM)--
“Orang kerja dapat makan, orang tidak kerja tidak dapat makan” kata orang tua.
Otonomi
khusus (OTSUS) mematikan daya pikir orang Papua yang mana orang Papua dulunya
kerja dan kerja yang dapat menghasilkan uang, tetapi karena hadirnya otonomi
khusus membuat budaya orang Papua untuk
kerja dan kerja semakin lupa dan hilang.
Dulunya
orang Papua selalu berpegang yang namanya “Orang kerja baru dapat makan”, namun
sekarang hadirnya (otsus) membuat orang Papua hidup tanpa tidak tenang, jalan
dari satu kota ke kota akibatnya lupa anak keluarga dan kampung halaman.
Orang
Papua mampu menghasilkan uang dengan tenaga
sendiri namun sekarang menghasilkan uang dengan meminta minta di jalan seperti
seorang pengemis di jawa pada hal budaya Papua adalah budaya kerja.
Penulis
berpikir orang Papua sudah menjadi bagian dari budaya berpikir orang jakarta
dan sekitarnya, yakni hidup adalah uang dan uang adalah hidup. Tidak ada nilai
hidup tanpa uang berbeda dengan orang Papua sebelum pelaksanaan otonomi khusus
bahwa orang Papua masih berkomitmen hidup pada nilai yang bersumber pada budaya
budaya Papua.
Otonomi
khusus lain bahasa adalah hadirnya banyak uang, otonomi khusus bukan untuk membangun
orang Papua sebagai manusia yang mencintai manusia yang lain melainkan melalui
otonomi khusus manusia menghargai uang. Manusia lebih mencintai uang daripada
mencintai manusia, sehingga orang Papua sudah terjebak dalam budaya hidup
mencintai uang maka karakter dan pola pikir orang Papua sekarang adalah uang
dan uang bukan kerja dan kerja yang menghasilkan sesuatu dari hasil keringat
pribadi.
Segala
cara dimanfaatkan untuk memperoleh uang, karena (OTSUS) diartikan sebagai
bahasa lain dari uang dan juga wacana kebodohan menjadi cerita bersama di
tingkat nasional sehingga orang Papua bertarung membuka sekolah-sekolah di
setiap daerahnya masing-masing. Sistem pengolahan dana (OTSUS) bidang pendidikan
di jalankan tidak jelas, terindikasi bawah dana di gunakan juga untuk biaya
rutin pemerintah.
Sementara
itu, pengelola sekolah swasta tertentu menjadikan lahan pencarian uang, yang dituntut
oleh orang Papua adalah keadilan untuk membangun orang papua bukan mencari
popularitas dengan mendirikan berbagai gedung sekolah. Membangun sekolah sangat
penting tapi kita berjuang dan ada dalam
sistem pendidikan yang membuat kita semakin tenggelam dalam kegelapan berpikir
manusia kecuali papua sudah negara mandiri.
Yang merusak orang Papua juga dari pemerintah
dalam membangun pendidikan yang berpusat kota sementara kurang perhatikan
sekolah-sekolah di pedalaman yang mayoritas anak asli Papua, alasan trasportasi
dan geografis adalah irasional dan hanya sebagai kesadaran palsu. Tuntutan
ekonomi global merusak sistem pendidikannya sebagai masyarakat intelektual
berpikir bawah wacana kurangnya SDM orang asli Papua dapat di atasi dengan
mendirikan perguruan tinggi swasta sebanyak mungkin, maka yang penting upaya
ini adalah bukan kualitas melainkan penambahan kuantitas perguruan tinggi dan
kuantitas sarjana yang di hasilkan di daerah itu.
Korupsi
adalah separatis uang rakyatyang tidak memahami ilmu pengetahuan secara benar
dan mendalam dan hasil dari proses pendidikan karakter dan kepribadian yang
kita bisa alami. bidang pendidikan adalah bidang perioritas yang ditetapkan
oleh pemerintah dalam undang-undang otsus di tanah papua namun8,pastor Nato
mengungkapkan bahwa pemerintah tidak perna memperhatikan sekolah-sekolah Swasta
oleh pemerintah sejak sejak pemberlakuan otsus sampai saat ini.
Jadi dana otonomi khsus bidang pendidikan
terindikasi sendiri di korupsi oleh pemerintah tidak memperhatikan sekolah
swasta khususnya sekolah-sekolah Kristen. Beasiswa luar negeri untuk orang Papua
yang sampai saat ini di kelola oleh pemerintah Indonesia tidak menghasilkan SDM
Papua yang berkualitas. Negara sudah gagal membangun orang Papua dana (OTSUS)
yang di wacanakan sebagai pembangunan orang Papua tetapi beasiswa yang
bersumber dari dana (OTSUS) maupun dana dari pemerintah negara lainpun hanya
dinikmati oleh anak-anak pejabat pemerintah maupun orang yang dekat dengan para
birokrasi. Proyek pengkaderan SDM orang Papua dalam kebijakan (OTSUS) di terapkan
dalam diskriminasi suku agama dan golongan adalah kehancuran eksistensialisme Papua
dan mensabotase nasionalisme Papua.
Ketiga
pengelolahan beasiswa itu tidak memiliki hati nasionalisme Papua sangat peluang
besar untuk melakukan nilai diskriminasi. Bagi pengelola adalah menerima
anak-anak dari sukunya, sedaerahnya dan seagamanya makA beasiswa yang di
peroleh itu sekaligus untuk mengutukkan dirinya, tetapi dana beasiswa itu
diberikan bukan sesukunya, sedaerahnya atau seagamanya, tetapi uang itu bersifat
universal ingat itu.
Budaya
berpikir dan budaya kebijakan seperti inilah yang penulis maksud bahwa otonomi
khusus di pendidikan adalah proyek uang, bukan untuk mau membangun oleh orang
asli Papua.
Harapan
dari penulis bahwa:
a.
Jangan mengharapkan
tetapi mari menghasilkan
b.
Jangan berpikir
uang tetapi mari berpikir nilai-nilai kemanusiaan
c.
Jangan mengemis
tetapi berusaha
d.
Jangan
mengikuti tetapi di ikuti diri
Semoga
dengan opini singkat ini, kita dapat memahami lebih jauh kesana mengenai apa
arti dan budaya yang sesunggunya bagi orang papua, karena orang Papua hidup
bukan tergantung tetapi mandiri.
(Umagiyinagobai/KM.)
Penulis
adalah Mahasiswa Papua kuliah di Papua
0 thoughts on “Otonomi Khusus Mematikan Daya Kerja Orang Papua”