Oleh Maleaki Tipagau
KABARAMAPEGAA.COM--Hati ini cukup tersentuh saat pertama
kali mendengar syair yang dinyanyikan oleh grup musik Mambesak itu. Mendengar
lagu itu, fikiran melambung jauh pada keelokan sekaligus ketidakadilan dan
koyak-moyak kehidupan yang tak berprikemanusiaan di pulau di ujung timur sana:
Papua. Grup musik rakyat Papua itu dengan menakjubkan telah menyuarakan Papua
melalui lirik syair-syair yang indah dan menggetarkan.
Pesona keindahan alam yang dimiliki
Papua membuat orang-orang menjulukinya sebagai surga kecil yang jatuh ke bumi.
Raja Ampat, Kaimana, Lembah Baliem, Pegunungan Jayawijaya, adalah beberapa
tempat menawan yang cukup dikenal dunia. Meski masih banyak surga kecil
tersembunyi lainnya yang kini dengan kecanggihan teknologi dapat dinikmati
melalui dokumentasi-dokumentasi foto di dunia maya.
Adalah komunitas Papuans Photo, sebuah
komunitas fotografi yang dibentuk pada 18 Oktober 2014. Komunitas ini punya
tujuan utama untuk mengasah bakat fotografi orang-orang muda Papua dan
mempromosikan Papua melalui foto.
Seorang pemuda Papua bersuku Mee
bernama Whens Tebay, adalah penggagas terbentuknya komunitas itu. Ia tidak
memiliki pendidikan khusus fotografi, namun kecintaannya pada fotografi telah
mengasah tajam bakat yang ia punyai.
“Saya mulai jatuh cinta pada dunia
fotografi pada tahun 2009, waktu masuk kuliah. Dan pertama kali saya pegang
kamera baru pada tahun 2013. Itupun kamera HP, lalu tidak lama kemudian saya
beli kamera pocket canon shybershoot”.
Pada 2014, Kementrian Kehutanan
Provinsi Papua mengadakan lomba foto dengan tema Cagar Alam Cyclops. Cyclops
adalah nama sebuah pegunungan yang menaungi Jayapura. Whens terpanggil untuk
mengikuti kompetisi itu. Sekitar 20-an orang muda mengikuti lomba tersebut.
Whens mengirim karya fotonya berupa potret teluk Youtefa, yang meliputi hutan
mangroove, jembatan ringroad, dan kampung Tobati.
Pada 1996, Pemerintah Indonesia
menetapkan teluk Youtefa sebagai kawasan konservasi dengan peruntukan lokasi
taman wisata alam. Youtefa dengan luas 1.675 hektare adalah teluk kecil yang
berada di dalam teluk Yos Sudarso. Konon, kampung Tobati merupakan kampung
tertua di teluk Youtefa. Hanya ada tiga kampung di sana: Tobati, Enggros, dan
Nafri. Teluk Youtefa menjadi salah satu tempat penting dalam sejarah peradaban
Orang Asli Papua. Baik dalam perkembangan sistem budaya, agama, adat, alam,
maupun geografis, dan lainnya. Sayangnya, Youtefa kini relatif tak seindah
dulu. Kesadaran masyarakat khususnya pengunjung untuk menjaga kebersihan masih
rendah. Begitu juga dengan pihak pemerintah, belum ada upaya masif melakukan
langkah strategis dan sinergis untuk menjaga keasrian dan kebersihan kawasan
konservasi ini. Termasuk merawat budaya dan sejarah yang ada di dalamnya.
Situasi itu sudah bermula lama. Pada 2015 JERAT Papua, sebuah jaringan kerja
Hak Asasi Manusia di Jayapura menuliskan bahwa sampah berserakan di kawasan ini
hingga menimbulkan bau busuk.
Banyak pihak berpotensi mencoreng
kecantikan Bumi Cinderawasih. Pada 4 Maret 2017, sebuah kapal pesiar berbendera
Bahama menabrak terumbu karang seluas 1.600 meter di perairan Raja Ampat Papua
Barat justru di saat air surut. Peristiwa itu menuai beragam kecaman dari
banyak pihak, sekaligus tuntutan perketat penjagaan wilayah perairan serta
penyelesaian hukum terhadap insiden itu. Melihat bagaimana keseriusan
pemerintah Indonesia dalam menangani masalah-masalah yang terjadi di lintas
sektor, barangkali dapat dilihat dengan bagaimana pemerintah menjaga dan merawat
hutan dan perairannya. Ibarat rumah, keduanya seperti halaman depan dan kebun
belakang rumah. Melalui peraturan yang dituangkan dalam undang-undang
kepariwisataan, yaitu UU No 10 Tahun 2009, sebenarnya pemerintah sudah
menjabarkan kewajibannya dan kewajiban pihak pengelola pariwisata dalam
mengelola tempat pariwisata. Bagaimana mereka harus memahami pengelolaan tempat
wisata tersebut tidak hanya sebagai sebuah sumber ekonomi, tetapi sebagai
tempat wisata yang berkualitas bahkan dengan memasukkan prinsip-prinsip
penghormatan terhadap hak asasi manusia. Itu berlaku untuk semua jenis
pariwisata, termasuk perairan laut, dan teluk.
Foto Whens tentang teluk Youtefa,
kampung Tobati, dan jembatan ringroad memenangi juara III. Kompetisi dan
prestasi itu telah menginspirasi dia bahwa orang-orang muda Papua juga punya
kemampuan, bakat, dan ketrampilan yang bagus dalam dunia fotografi. Jika tidak
diberdayakan, akan sia-sia.
Whens yang lahir dan besar di Wamena,
menyadari betul, Tanah Kehidupannya memiliki kekuatan karakter alam, aura, dan inner
beauty. Ia ingin Orang Asli Papua khususnya orang-orang mudanya mengenali
bumi Papua, dengan menjelajah dan mendokumentasikan apa yang mereka lihat dan
jumpai melalui kamera.
“Orang muda Papua tidak boleh
ketinggalan dengan pemuda luar. Harus punya ketrampilan, juga bisa menggunakan
teknologi”, kata Whens.
Whens mengutarakan gagasannya membentuk
komunitas fotografi pada kawan-kawannya di kampus. Awalnya hanya lima orang
mahasiswa yang menjadi kawan berbagi idenya itu, yang kemudian lima-limanya
menjadi anggota Papuans Photo. Mereka rapat, berdiskusi bagaimana membentuk dan
mengkonsep komunitas ini. Rapat kerap dilakukan di warung-warung tepi jalan
sepanjang Abepura-Waena. Kadang juga hanya diskusi melalui jejaring sosial.
Papuans Photo punya kegiatan utama hunting
foto bersama. Peserta hunting lintas latar belakang, tidak hanya
anggota komunitas saja. Tapi juga masyarakat umum, pegawai negeri, pelajar, dan
mahasiswa. Whens turun tangan sendiri dalam kegiatan hunting ini.
“Setelah menyepakati tempat dan waktu,
saya mentoring sendiri peserta. Tapi hanya di awal dan di akhir. Tapi saat
proses, anggota komunitas juga mentoring peserta hunting itu”
Papuans Photo punya galeri online
facebook @papuansphoto. Whens mencatat, kini pengikutinya di dunia maya itu
mencapai 21.764 orang, dan tiap hari terus bertambah. Semua orang boleh
bergabung dalam komunitas dunia maya ini, tidak hanya Orang Asli Papua saja.
Namun, foto yang diunggah dalam komunitas ini diseleksi oleh tim admin, yaitu
hanya foto yang berobjek di Tanah Papua.
Komunitas yang kini beranggotakan 25
orang muda (anggota aktif) itu juga masih punya rencana-rencana aktivitas lain
selain rutinitas hunting. Tapi masih terkendala dana dan minimnya
perlengkapan fotografi. Selama ini ia mengelola komunitasnya dengan biaya
swadaya mandiri. Selain kendala dana dan perlengkapan yang minim, buruknya
jaringan internet di Papua juga jadi kendala. Khususnya untuk pengelolaan
komunitas dunia mayanya.
Jaringan internet di Papua tidak
secepat di pulau-pulau lain. Kondisi geografis, manajemen PT Telkom, serta
situasi dan gejolak politik disinyalir merupakan faktor-faktor penyebab timbul
tenggelamnya jaringan itu. Di Papua rawan terjadi gempa bumi, bergoyang
sebentar berpengaruh lama terhadap hilangnya jaringan internet. Pemulihan
biasanya sangat lama. Jika presiden datang ke Papua, biasanya juga akan
menyisakan hilangnya jaringan internet. Oktober 2016, Presiden Jokowi datang ke
Sentani, jaringan internet di Sentani, Abepura, Jayapura dan sekitarnya mulai
melambat. Saat itu saya sedang di sana. Disusul kerusakan jaringan fyber bawah
laut karena gempa, diikuti bulan Desember tiba. Bulannya rakyat Papua. Praktis
pada minggu pertama Januari 2017 jaringan internet baru lancar kembali.
“Maaf, saya tidak bisa buka dokumen
yang Mbak kirim. Ini saya sedang numpang buka email di hotel di Jayapura, tapi
juga lama sekali. Kalau ada gangguan begini biasanya memang satu bulan lebih
baru normal lagi. Kemarin sudah ada pernyataan juga dari Telkom begitu”,
kata kawan baik saya, perempuan asli Papua yang saat ini memimpin sebuah
organisasi gereja.
Email saya di bulan Desember 2016 untuk
seorang kawan saya lainnya, baru dia balas di awal Februari 2017. Katanya baru
masuk di Januari akhir. Ia kesal karena hampir dua bulan Jayapura tanpa
internet. Ia terlambat mendapatkan informasi-informasi penting dan berguna.
Kawan saya lainnya, mengirim pesan pendek ke saya, katanya, “Kami di
Jayapura macam sedang hidup di jaman batu”. Whens juga kesal, karena
sepanjang dua bulan itu praktis komunitasnya di dunia maya antara ada dan
tiada. Aktivitasnya mengelola komunitas Papuans Photo di dunia maya terhenti.
Aktivitas Whens mengelola komunitas
Papuans Photo itu, sebenarnya bukanlah kegiatan utama kesehariannya.
Sehari-hari Whens bekerja untuk ELSHAM Papua di Jayapura.
Sebagai pembela HAM, di ELSHAM ia lekat
dengan kerja pendokumentasian. Insiden dan peristiwa-peristiwa penting di
Papua, khususnya Jayapura, tidak ketinggalan ia abadikan dalam kameranya.
Potret ketidakadilan dan pelanggaran HAM di Papua menjadi buruannya, untuk ia
suarakan melalui foto. Satu lembar foto memang mampu mengurai cerita, kisah,
dan sejarah yang panjang. Menjadi bukti sesuatu ada, sesuatu terjadi. Dalam
dunia peradilan, ia menjadi sebuah alat bukti.
Tanah dan langit Papua yang sangat
menawan selalu membuat kita terkagum. Tapi tidak dengan yang terjadi kepada
para pemilik tanah dan langit itu, Orang Asli Papua. Hingga kini, pelanggaran
hak asasi manusia terhadap Orang Asli Papua masih terus terjadi dan cukup
tinggi intensitasnya dengan beragam tindakan pelanggaran. Peradaban dan
eksistensi Orang Asli Papua tergerus atas nama pembangunan infrastruktur dan
peningkatan taraf hidup rakyat. Identitas mereka terancam hilang. Ekspansi
perkebunan kelapa sawit, tambang, mega proyek pertanian, pembukaan jalan trans,
perlahan memusnahkan tanaman sagu, makanan pokok mereka, dan mengikis budaya
asli lainnya. Pendekataan keamanan (militersime) yang berlebihan juga masih
saja kental di bumi Cenderawasih itu. Akibatnya kekerasan juga penyiksaan oleh
aparat terhadap Orang Asli Papua khususnya, begitu sering terjadi. Termasuk
pada para aktivisnya, para pembela Hak Asasi Manusia.
Orang-orang muda Papua yang berada di
garis depan utamanya dalam menyuarakan hak menentukan nasib sendiri dan Papua
merdeka, menjadi sasaran empuk aparat kepolisian juga militer. Mereka
ditangkap, ditahan, beberapa juga berbulan-bulan mendekam di dalam bui. ELSAM
Jakarta mencatat, pada 2014 telah terjadi 10 peristiwa penangkapan dan
penahanan dengan tuduhan separatis dengan korban sebanyak 133 orang di Papua.
Orang-orang muda Papua yang tergabung
dalam organisasi Komite Nasional Papua Barat (KNPB) menjadi korban langganan
aksi represif dan intimidatif aparat. Laporan SKPKC Fransiskan Papua dalam
Memoria Passionis Papua, sebuah potret hak asasi manusia selama 2015, pada
peringatan 1 Mei 2015 aparat menangkap sekitar 260 aktivis KNPB di berbagai
wilayah seperti Manokwari, Fak Fak, Sorong, Merauke, Nabire, dan Jayapura.
Whens juga menjadi incaran intel. Dalam
beberapa aksi di seputaran Jayapura, saat ia hendak mendokumentasikan aksi
tersebut, ia terus dibuntuti.
Pada 19 Desember 2016, saat orang-orang
Papua memperingati hari Trikora (Tiga Komando Rakyat) di beberapa titik di kota
Jayapura, Whens ditangkap oleh gabungan polisi dan Dalmas. Whens yang sedang
mendokumentasikan aksi di Waena, tiba-tiba ditarik, tercekik, dan tercakar
bagian dadanya, lalu digelandang ke Polresta Jayapura. Semua hasil jepretan
Whens dihapus oleh polisi. Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP)
mencatat, di hari yang sama telah terjadi penangkapan disertai tindakan
kekerasan terhadap sejumlah aktivis dan demonstran di Merauke, Nabire,
Yogyakarta, Gorontalo, Manado, Wamena, dan Jayapura, dengan total korban 520
orang.
“Begitulah...., dan selalu begitu.
Paling sering menimpa kawan-kawan KNPB. Kamera diminta paksa, foto
dihapus......”
Di Papua militer dan polisi menjadi
pihak lawan utama bagi banyak persoalan Orang Asli Papua, termasuk mereka para
jurnalis dan fotografer. Apalagi aktivis dan demonstran.
“Padahal saya ingin, suatu saat buat
pameran foto potret pelanggaran HAM di Papua”,
kata Whens pada suatu hari di bulan Mei 2016 di dalam bajai yang membawa kami
melaju di jalanan Tanah Abang Jakarta.
Pada akhir Mei 2016 saya menemani Whens
ke kantor TEMPO di Palmerah Tanah Abang. Saya memperkenalkan Whens pada
jurnalis senior TEMPO, Yosep Suprayogi dan jurnalis foto TEMPO, Rully Kesuma.
Whens ingin menjadi kontributor foto buat TEMPO. Rully Kesuma meminta Whens
setidaknya dalam tiga bulan kedepan mengirim hasil jepretannya. Whens setuju.
Diskusi singkat dengan Rully dan Yosep membuat Whens bersemangat.
Namun sekembalinya Whens ke Jayapura,
ia harus lama tinggal di pedalaman Wamena, kampung halamannya. Mamanya sakit
parah. Whens yang sudah tidak punya Bapa dan hanya punya dua adik laki-laki,
merawat seorang diri mamanya, hingga pada 30 Oktober 2016 mamanya meninggal,
menyusul Bapa Whens.
Ia memasang foto dirinya bersama
mamanya pada account facebook pribadinya. Ucapan belansungkawa
membanjir. Kebanyakan dari kawan-kawannya di Papuans Photo.
“Apa karya fotomu yang paling istimewa
bagimu?”
“Saya rasa foto ini. Orangtua anak ini
sudah meninggal. Anak ini sendiri yang merawat adiknya sehari-hari”, jawab
Whens sambil menunjukkan foto seorang anak perempuan berseragam sekolah SD
berwarna merah putih rapi, berjalan menggendong adiknya. Dua-duanya menatap
kosong ke depan dengan tatapan sayu dan kening berkerut.
“Objek yang belum tergapai?”
“Apa ee? Mungkin memfoto sejumlah
aparat yang sedang brutal membubarkan paksa demonstran di Papua. Dan foto
aparat yang sedang kasih pukul demonstran. Itu sulit. Kalaupun dapat,
yaaa...begitulah....”.
Whens bukan demonstran yang orator.
Namun ibarat orator, kamera adalah megaphonenya, foto adalah suaranya. Melalui
foto ia menyuarakan Papua: keindahan budaya, alam dan langitnya serta
ketidakadilan yang terjadi di tanahnya. Dan yang terpenting, ia menggerakkan
kaum muda Papua untuk terus berkarya, mencintai tanah air dan langitnya.
Komunitas-komunitas orang muda Papua harus terus bertumbuh dan bergerak dalam
banyak bidang. Kuat dan komitmen menjaga kekayaan leluhur dengan berkarya
menekuni bidang itu hingga zaman demi zaman berganti. Seperti Grup Musik
Mambesak dengan syair-syairnya yang menggetarkan itu. Di masa lalu, Mambesak
dan syair-syairnya telah menandai gerakan kebudayaan Papua, dan syair-syairnya
akan terus mengalun abadi menemani gerakan generasai dan generasi gerakan
penerusnya kini. sumber :https://indonesiana.tempo.co/read/110279/2017/04/11/vi2_163/papua-dalam-lensa-kamera.
0 thoughts on “Papua dalam Lensa Kamera”