Jayapura, Suara-Agadide--
Pada era yang serba cepat, serba modern, dan serba canggih ini, kata yang
biasa kita kenal dengan ‘informasi’ menjadi teramat sangat mudah untuk
disebarluaskan. Media elektronik, khususnya dengan kecanggihan resolusi gambar
bergerak atau video, yang dilengkapi dengan suara yang dapat disaksikan dan
didengar langsung oleh para penontonnya, menjadi media yang sangat cocok dan
pas untuk menggugah dan mempengaruhi pendapat, pola pikir, bahkan sikap
seseorang.
Memang, di era demokrasi ini, atmosfer untuk bersuara,
berpendapat, dan berekspresi agaknya sangat adem dan nyaman. Maksudnya, teramat
bebas bagi kita untuk menyuarakan pendapat kita di ruang publik, tanpa takut
disalahkan, tanpa takut diculik, atau dibunuh, seperti pada era orde baru. Pada
masa orde baru, demokrasi itu palsu, tidak ada ketenteraman di hati dan pikiran
rakyat Indonesia. Kehidupan berpendapat dilandasi oleh rasa takut. Tidak bisa
kita bersuara. Pikiran ini hanya membeku saja terbawa oleh waktu. Tidak
dikeluarkan, tidak dipresentasikan, tidak diekpresikan. Kemajuan yang teramat
sangat sejak kemunculan era reformasi yang menjadi titik tolak bangkitnya iklim
demokrasi di Indonesia.
Sekilas
Mahasiswa Mahasiswa adalah generasi muda yang dianugerahi
semangat tinggi yang menggelora dalam berekspresi. Mahasiswa memiliki kemampuan
intelektualitas yang cukup tinggi untuk mengungkapkan stancenya terhadap suatu
fenomena. Mahasiswa juga jiwa yang bebas, berani, dan selalu mengungkapkan
antara hitam atau putih, bukan abu-abu. Mahasiswa itu memiliki kelebihan berani
mencoba dan tidak takut salah.
Namun, perlu juga kita sadari dan pahami bahwa hal yang
diatas merupakan gambaran mahasiswa secara umum. Selalu ada keanekaragaman, selalu
ada detail dan selalu ada berbagai macam jenis atau tipe. Begitu juga dengan
mahasiswa. Dikutip dari pernyataan seorang tokoh nasional, yang juga merupakan
tokoh intelektual, pemuda terbaik bangsa Indonesia, Bapak Anies Baswedan,
setiap jamannya, selalu ada berbagai macam karakter mahasiswa di Indonesia.
Berikut adalah tipe-tipe mahasiswa di jaman Bapak Anies :
Mahasiswa yang pertama adalah mahasiswa hedonis-
konsumtif, mereka pergi kuliah naik mobil dan tidak pusing memikirkan ‘uang
bulanan’ disaat mahasiwa lain masih jalan kaki atau naik sepeda. Yang kedua
adalah mahasiswa profesional - individualis, kerjaannya kuliah saja tidak
perduli yang lain, menyiapkan diri untuk masa depan, professional tapi
individualis. Ketiga, mahasiswa kita istilahkannya asketis religius, asketis
religius ini dipikirannya hanya agama saja. Keempat adalah mahasiswa yang
aktivis, nilai minim, aktif sana-sini. Kelima, mahasiswa yang istilah kita
adalah protarian, merasa dirinya sebagai ekspresi kemiskinan, ekspresi
penderitaan rakyat kecil. Selanjutnya ada mahasiswa yang kecendrungannya adalah
melakukan kajian, lalu seakan-akan setelah melakukan kajian secara mendalam
maka problem masyarakat itu selesai.
Mungkin, dengan semakin berkembangnya zaman, karakter
mahasiswa Indonesia tidak lagi persis seperti apa yang dikatakan oleh Bapak
Anies Baswedan. Namun, pointnya disini adalah, mahasiswa itu beragam, mahasiswa
itu memiliki interest yang berbeda-beda dan tidak dapat di generalisasi.
Di masa aktifnya sebagai mahasiswa, kategori mahasiswa
aktivis kini dapat dideskripsikan sebagai berikut : mereka merupakan orang
terpilih yang dinyatakan kompeten dan mau untuk mengemban tugas dan kewajiban
yang mungkin lebih berat dibanding yang tidak, yang dapat kita sebut sebagai
mahasiswa pemimpin.
Perihal Pemimpin Perihal menjadi pemimpin. Seorang pemimpin muda
Indonesia pernah mengatakan : “You are a leader only if you have follower, if
you have no follower , you are not a leader”.
Follower yang dimaksudkan adalah follower yang bukan
karena dipaksakan. Seorang pemimpin yang bijaksana tidak boleh menggeneralisasi
atau memberikan label. Ini dia mahasiswa apatis, ini dia mahasiswa yang aktif.
Tidak ada mahasiswa apatis, yang ada hanya mahasiswa yang berbeda interest.
Nah, sebagai pemimpin yang baik dan memiliki cita-cita kesuksesan, alangkah
baiknya apabila dapat menyelenggarakan sesuatu, yang berguna tentunya, yang
membuat mahasiswa yang berbeda-beda interest ini menjadi tertarik dan
bergabung. Seperti yang sudah saya bahas sebelumnya, mahasiswa itu pada
dasarnya memiliki semangat yang menggelora. ‘Si individualis’ sekalipun juga
memiliki passion untuk berbuat sesuatu, tidak mungkin hanya ingin duduk diam di
bangku kelas.
Berpendapat mengenai stance atau pernyataan sikap ada
hubungannya dengan generalisasi. Agaknya kurang bijaksana apabila
mendeklarasikan pernyataan sikap individu atau kelompok menjadi pernyataan
sikap masyarakat atau konstituen kita secara general. Sekalipun itu menyuarakan
hal yang merupakan kebaikan.
Pemimpin memiliki keunggulan. Pemimpin memiliki
kesempatan untuk bersuara dan berbuat lebih. Menjadi pemimpin adalah menjadi
pioneer. Dan menjadi pioneer tidak serta merta diikuti dengan followers.
Menjadi pioneer bukan memaksakan kehendak. Seringkali ditemukan pada cerita
orang sukses bahwa pada awalnya mereka seperti aneh sendiri melakukan tindakan
rintisan tersebut. Tetapi mereka berani melakukannya sendiri, tanpa
mengatasnamakan pihak manapun. Toh, begitu orang lain melihat, orang lain dapat
menilai dan memilih. Apakah saya setuju dengan dia dan akan mengikuti dia, atau
ternyata saya merasa ada yang salah dan saya tidak setuju sepenuhnya. Seorang
pemimpin yang bijaksana mengetahui, menyadari, dan memaklumi keanekaragaman
yang terjadi. Pemimpin memang melakukan aksi yang dilandasi oleh passion
dirinya. Bertindak sebagai pioneer, yang kemungkinan besar akan menarik banyak
simpatisan apabila memang aksinya dirasakan tepat.
Mengutip tips dari Bapak Anies Baswedan mengenai
perihal pemimpin, “Jadilah pemimpin yang bisa dipercaya. Rumus Trust =
Kompetensi + Integritas + Kedekatan – (dikurangi) Self-Interest. Habiskan
self-interest jadi nol. Maka insyaAllah anda dipercaya, jika anda dipercaya
maka anda akan diikuti. Saat anda punya pengikut, maka anda adalah pemimpin! “ Mahasiswa yang aktif merupakan harapan bangsa
Indonesia. Dengan aktif berorganisasi di kampus, banyak sekali pelajaran yang
akan didapatkan mahasiswa. Pelajaran akademik di ruang kelas tidak cukup
rupanya untuk membentuk diri kita. Toh orang belum tentu bisa bermain sepatu
roda apabila hanya membaca buku “Teknik Bermain Sepatu Roda” . Orang perlu
terjun langsung praktek, bisa stabil diatas sepatu roda, baru orang itu dapat
dikatakan bisa bermain sepatu roda!
Namun, yang perlu diingat oleh mahasiswa yang
berkegiatan aktif di organisasi yaitu harus tetap meningkatkan dan mengasah
kemampuan dirinya. Rupanya, dengan aktif di organisasi saja juga belum cukup.
Mahasiswa harus berpandangan kedepan (visioner) dan menyadari kalau dirinya
perlu menempa diri untuk menghadapi persaingan global. Sudah saatnya mahasiswa
Indonesia memiliki wawasan global. Paham akan Negara Indonesia, tapi juga paham
mancanegara. Aktivis kampus juga perlu membekali dirinya dengan kemampuan
bahasa asing yang baik, prestasi akademis, dan juga prestasi lainnya yang
mungkin prestasi di bidang yang ia senangi.
Mahasiswa aktivis kampus memiliki keanakaragaman peran.
Peran tentunya berbeda dengan passion. Passion melekat pada kepribadian kita,
sedangkan peran adalah sesuatu yang timbul setelah seseorang memilih untuk
menyandang sesuatu, entah jabatan, atau pekerjaan. Ada yang berperan sebagai
pemimpin, peserta, penampil bakat (keahlian tertentu), media, bahkan
penggembira. Dinamika peran yang ada akan menghasilkan harmoni yang selaras. Perbedaan
peran yang ada memang sangat wajar. Perbedaan peran juga menghasilkan cara
berekspresi yang berbeda-beda. Peran penampil bakat tentu akan berbeda dengan
peran pemimpin. Begitu juga dengan peran pemimpin, tentu akan berbeda dengan
peran penggembira.
Kepemimpinan
Mahasiswa Menjadi pemimpin berarti menjadi penengah, penyemangat,
pendorong, pioneer, serta fasilitator. Seorang pemimpin juga harus punya sikap
& prinsip, namun harus bijaksana dalam menempatkan diri di tengah-tengah
orang yang dipimpin sehingga orang-orang yang dipimpinnya dapat nyaman
mengembangkan dirinya masing-masing sesuai dengan passionnya. Seorang pemimpin
akan mempersilahkan pendapat dilayangkan, aksi dijalankan. Tetapi tidak untuk
mengeneralisasi pendapat seluruh orang yang dipimpin tanpa mengingat adanya
perbedaan passion didalamnya. Meskipun pendapat dan aksi yang ingin dilayangkan
merupakan sebuah kebaikan dan kebenaran. Ada baiknya memberikan kesempatan bagi
komunitas dengan isu spesifik atau kelompok dengan peran yang tepat dalam
menyuarakan pendapat atau melakukan aksi. Misalkan saja, isu budaya, dapat
diberikan kepada kelompok-kelompok kesenian yang memang memiliki konsentrasi
dan kepedulian terhadap budaya, serta lebih mengetahui ‘medannya’. Atau
misalkan saja isu kebebasan pers, berikanlah kepada teman media dan pers untuk
menyuarakan itu. Apabila kita hubungkan dengan hal-hal sebelum ini, ada satu
hal yang mungkin terangkum, yaitu, seorang pemimpin, agaknya kurang pantas
menonjolkan passion dan/atau self-interestnya terhadap sesuatu dan menggunakan
anugerah melekat (honour) yang dimilikinya untuk mencapai sesuatu tersebut.(Fransiskus Xaverius Kobepa/26/SA)
Media Online Kabar Mapega adalah salah situs media online yang mengkaji berita-berita seputar tanah Papua dan Papua barat secara beragam dan berimbang.
BACA INI JUGA
0 thoughts
on “Mahasiswa dan Ekspresinya Menjadi Pemimpin”
0 thoughts on “Mahasiswa dan Ekspresinya Menjadi Pemimpin”