Sumber Sentor Papua |
Oleh : Willem Wandik, S.sos
Senator Tanah Papua: Berbangsa
dan bernegara bukanlah identitas yang diakui secara sepihak “parsial”
oleh bangsa-bangsa yang bersatu dalam bingkai Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Tetapi hasil dari sebuah konsensus bersama untuk menyatukan
visi dan cita-cita tentang tujuan bersama dalam sebuah negara-bangsa
bernama Indonesia.
Sebelum berdirinya Negara Republik
Indonesia, konsensus yang menyepakati lahirnya bangsa Indonesia, berasal
dari cita-cita dan ide besar tentang bangsa Nusantara. Lalu melalui
serangkaian kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama diantara
bangsa-bangsa nusantara, kemudian lahirlah cita-cita untuk membangun
bangsa yang besar, dengan tujuan untuk mencapai kemakmuran bersama.
Cita-cita bersama sebagai bangsa yang
ingin memajukan kepentingan bersama, terbebas dari kolonialisme
tradisional “penjajahan fisik” dan neo-kolonialisme moderen “penjajahan
ekonomi” berasal dari nilai-nilai yang disepakati bersama dalam
konsensus sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat.
Wujud konkret dari konsensus warga bangsa
bernama “bangsa nusantara” itu, lalu membentuk nilai-nilai yang diakui
secara universal sebagai nilai-nilai kebangsaan. Hal ini kemudian
tertuang dalam “the general goals of society or general acceptance of the same philosophy” yang mewarnai setiap norma-norma hukum yang diakui sebagai alat untuk mengatur kepentingan para warga bangsa nusantara.
Apa yang lahir sebagai bentuk konsekuensi bernegara dengan terbentuknya kesepakatan tentang norma-norma hukum bernegara ‘the rule of law’ yang melandasi tata cara menjalankan pemerintahan (the basis of government), lalu disusunlah bentuk institusi-institusi beserta mekanisme ketatanegaraan (the form of institutions and procedures) yang didasarkan pada kesepakatan bersama.
Serangkaian norma-norma hukum dan
institusi ketatanegaraan yang lahir dari kesepakatan-kesepakatan
bersama, bertujuan untuk memajukan kepentingan seluruh warga bangsa
“Nusantara”, dan bukan untuk meniadakan “mengubur” peran dari bangsa
Nusantara lainnya.
Konsistensi terhadap cita-cita bersama
sangat menentukan tegaknya konstitusi dan konstitusionalisme di suatu
Negara. Karena cita-cita bersama itulah, maka Negara Kesatuan Republik
Indonesia lahir sebagai sebuah bangsa yang berdaulat dan menunjukan
eksistensinya sebagai bangsa yang mampu melindungi kepentingan setiap
warga bangsa nusantara.
Tegaknya konstitusi dalam sebuah bangsa
nusantara juga mencerminkan kesamaan-kesamaan kepentingan di antara
sesama warga bangsa nusantara yang dalam kenyataannya harus hidup di
tengah-tengah pluralisme kepentingan.
Untuk menjamin kebersamaan dalam kerangka
kehidupan bernegara, diantara warga bangsa nusantara, diperlukan adanya
rumusan tentang tujuan-tujuan atau cita-cita bersama yang lazim
disebut sebagai falsafah kenegaraan atau “staatsidee” (cita negara). Falsafah kenegaraan tersebut berfungsi sebagai “filosofische grondslag” dan “common platforms” yang mengikat setiap warga bangsa nusantara dalam menjalankan fungsi bernegara.
Tanpa menafikan peran dari bangsa-bangsa
nusantara lainnya, seperti Bangsa Jawa, Bangsa Sumatera, Bangsa
Kalimantan, bangsa Sulawesi, Bangsa Nusa Tenggara, Bangsa Bali, Bangsa
Maluku, terhadap berbagai kepentingan dalam mencapai tujuan berbangsa.
Bangsa Papua meminta kesetaraan peran, berlandaskan kepentingan yang
sama, dan kehendak untuk menggapai kesejahteraan serta kemakmuran bagi
bangsa Papua.
Rakyat di Tanah Papua telah lama
merasakan ketidakadilan struktural dan sistematis. Sumber masalah utama
terletak pada tangan-tangan asing yang menguasai isi perut bumi Papua,
dan negara ikut menikmati peran sebagai tuan rumah yang baik bagi
penguasaan sumber daya alam Papua.
Ketidakadilan struktural dan sistematis
di Tanah Papua tergambar dari implikasi tingkat kemiskinan di Papua yang
jauh lebih buruk dibandingkan daerah-daerah lainnya di Nusantara.
Eksploitasi sumber daya alam yang
mentransfer kekayaan kepada negara dan pihak asing, justru meninggalkan
masyarakat asli Papua jauh kebelakang, dengan menciptakan sekelompok
bangsa yang hidup serba miskin dan terbelakang. Masyarakat asli Papua
yang mayoritas hidup di daerah pedesaan “pedalaman dan daerah
tertinggal”, justru 96,17% nya berada dibawah garis kemiskinan.
Transaksi keuntungan yang mendulang dolar
dari eksploitasi sumber daya alam pun bertolak belakang dengan tingkat
pendapatan masyarakat di Tanah Papua. Pendapatan masyarakat Papua tidak
begitu besar hanya menyumbang 2,18% dari pendapatan domestik bruto
nasional (triwulan III 2014).
Ketika suara-suara dari bangsa Papua pada
hari ini lantang menyuarakan tuntutan pemenuhan hak-hak masyarakat asli
Tanah Papua, bangsa-bangsa lainnya yang berada dalam kesatuan bangsa
nusantara, harus menghormati cita-cita perjuangan yang disuarakan oleh
bangsa Papua.
Berikan ruang bagi Bangsa Papua untuk
mengambil peran secara mandiri atas tanahnya sendiri, termasuk
kepentingan yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam, termasuk
renegosiasi kontrak sejumlah korporasi asing di Tanah Papua. Bangsa
Papua tidak ingin mengambil sesuatu yang bukan menjadi hak bangsa Papua.(Manfred Kudiai)
0 thoughts on “Willem Wandik: Bangsa Nusantara Harus Menghormati Perjuangan Bangsa Papua”