Vitalis Goo Dok.Pribadi |
Entah sadar atau tidak, manusia sering kali bahkan selalu
mementingkan dirinya sendiri dibanding memerhatikan kepentingan orang lain,
apalagi untuk kepentingan umum. Seakan hanya dirinyalah yang hidup di dunia
ini. Barangkali orang lain dianggap bukan sebagai manusia yang punya perasaan
seperti dirinya sendiri.
Dengan pandangan dan pemahaman seperti ini, manusia tidak
akan memahami dunia di luar dirinya, meski manusia pada dasarnya adalah mahluk
sosial yang saling membutuhkan satu sama lain.
Sebagai makhluk sosial, mestinya manusia hidup saling
berdampingan. Di sana mesti ditumbuh-kembangkan rasa sosial dan saling memiliki
satu sama lain. Tetapi kenyataannya berkata lain, manusia sering mementingkan
dirinya sendiri. Manusia juga sering melakukan tindakan-tindakan tak etis demi
mengejar kepentingannya sendiri.
Jika kita melihat kembali kebiasaan para pejabat di
Indonesia, korupsi menjadi sesuatu yang biasa. Para pejabat negara
beramai-ramai melakukan korupsi di mana-mana, tanpa terkecuali. Berita tentang
korupsi selalu saja mewarnai berbagai media, baik media cetak maupun media
elektronik. Mereka menghabiskan uang pembangunan dan kesejahteraan rakyat.
Pembangunan seakan berjalan di tempat, apalagi pemberdayaan
rakyat kecil untuk menunjang kesejahteraannya. Rakyat kecil semakin menderita
sementara orang besar menikmati hidupnya yang mewah. Rakyat miskin diwajibkan
tidur di bawah kolong jembatan. Disana mereka seakan menempuh jalan buntu
karena tak diberi kesempatan untuk berkembang maju.
Di tubuh pemerintahan juga, selalu saja mempraktikkan
nepotisme. Hanya keluarga ataupun kenalan sang pejabat sajalah yang boleh
menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sementara yang lainnya seakan dilarang
menjadi PNS. Soal kepintaran tak menjadi ukuran dalam formasi penerimaan Calon
Pegawai Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Boleh saja dikatakan bahwa formasi
penerimaan mengikuti sistem kerajaan.
Kondisi ini amat dirasakan oleh rakyat kecil di Papua. Orang
luar dari Papua boleh saja berkata bahwa orang Papua pasti kaya dengan adanya
Otonomi Khusus yang diberikan oleh pemerintah pusat di Jakarta, tetapi
perkataan itu sangat keliru.
Memang
pemerintah pusat mengucurkan dana sebesar triliunan rupiah ke Papua, tetapi
dana-dana itu hanya dinikmati oleh segelintir orang. Sehingga kebanyakan orang
Papua sering berdemonstrasi dengan mengatakan bahwa otonomi khusus di Papua
gagal.
Aspirasi
kegagalan otonomi khusus itu wajar saja disampaikan sebab pemerintah daerah,
baik yang ada di provinsi maupun kabupaten dan kota selalu mengantongi dana
otonomi khusus tersebut demi kepentingannya sendiri. Mereka mengabaikan
kepentingan pembangunan apalagi demi kesejahteraan rakyat kecil. Sehingga
rakyat kecil benar-benar tak pernah merasakannya.
Rakyat kecil hanya dijadikan sebagai obyek untuk mendapatkan dana triliunan rupiah itu. Mereka semakin menderita di atas pengobyekan itu, sementara yang menikmatinya adalah para penguasa dan pengusaha.
Dengan beredarnya triliunan rupiah itu menciptakan proses pemiskinan bagi rakyat kecil yang tak berdaya. Yang miskin tetaplah miskin dan yang kaya semakin kaya. Karena para penguasa tak memberdayakan rakyat kecil, maka rakyat kecil kian dimiskinkan. Sedang pengusaha kian kaya karena mereka berdaya untuk mengembangkan sayap-sayapnya di dunia bisnis.
Jika kenyataannya seperti itu, untuk apa otonomi khusus itu diberikan ke Papua? Untuk mengayakan pengusaha? Untuk kepentingan penguasa? Ataukah untuk kepentingan pembangunan dan kesejahteraan rakyat kecil? Entahlah.
Adanya tambang tembaga di Tembagapura, Timika juga sebenarnya amat menjanjikan kesejahteraan rakyat kecil pemilik hak ulayat, tetapi kenyataannya berkata lain. Hingga detik ini pemilik hak ulayah masih hidup di bawah standar kemiskinan walau perusahaan raksasa itu telah beroperasi puluhan tahun lalu. Kehadiran PT. Freeport Indonesia saja sudah begitu, malah dikembangkan lagi perusahaan-perusahaan lain di Papua. Inikah yang dinamakan pembangunan?
Saat Papua dibanjiri triliunan rupiah, di mana-mana dibangun perusahaan, seperti perusahaan kelapa sawit di Nabire, Sarmi, Kerom, Boven Digoel, Jayapura, Merauke dan Timika. Di sini para pengusaha dengan seenaknya menanamkan modalnya. Rakyat kecil dijadikan sebagai buruh atau pekerja pada perusahaan-perusahaan tersebut. Mereka membanting tulang, sementara para pengusaha berlipat tangan menanti laba atau keuntungan yang berlipat ganda.
Sayangnya, berhektar-hektar hutan tempat masyarakat berburu digunduli. Flora dan fauna habitat hutan pun ikut punah. Hutan tak hanya menjadi tempat berburu, tetapi juga merupakan tempat memperoleh kebutuhan akan sandang, pangan dan papan. Ketika hutan digunduli, otomatis kebutuhan masyarakat takkan terpenuhi lagi. Secara perlahan mereka diterjunkan ke dunia pemiskinan.
Di sana ketergantungan akan menemani keseharian hidup mereka. Bahwa mereka akan tergantung pada semen (tidak lagi kayu atau pelepah sagu) untuk membangun sebuah rumah. Mereka juga tergantung pada bahan-bahan makan yang didatangkan dari luar ataupun bahan makanan hasil olahan pabrik.
Ketika masyarakat terjerumus ke dunia ketergantungan, mereka semakin menjadi miskin papah. Mengapa demikian? Karena selama ini pemerintah daerah (baik provinsi maupun kabupaten dan kota) seakan menutup mata untuk memberdayakan rakyat kecil yang tidak tahu-menahu tentang dunia perbisnisan, padahal Papua dianggap sebagai tempat yang basah untuk mengembangkan bisnis.
Di dunia ini, rakyat kecil hanya menjadi penonton setia, yang menyaksikan pertandingan seru yang sedang dimainkan oleh penguasa dan pengusaha.
Hidup ini hanya seakan diperuntukkan bagi segelintir orang. Ada orang yang dibiarkan merana dalam kemiskinan. Yang miskin menderita dalam kemelaratannya dan yang kaya menari di atas kelimpahan. Rakyat kecil kian menderita walau negerinya berlimpah susu dan madu.
Adakah mata hati yang kaya terbuka lebar untuk melihat penderitaan yang miskin? Mungkin tidak, sebab yang kaya selalu berpikir bagaimana strateginya untuk lebih memperkaya dirinya, dibanding memedulikan yang miskin.
Penulis Vitalis Goo Novelis Papua
0 thoughts on “Yang Miskin Tetaplah Miskin”