Stevanus Yogi (Foto: Dok/KM) |
Oleh:
Stevanus Yogi
Saat negara Indonesia
diproklamirkan, Papua tidak turut di dalamnya. Sabang (Ache) sampai Amboina
(Ambon) saat itu menjadi wilayah negara Indonesia. Sumpah palapa, sumpah pemuda
dan beberapa sumpah pemuda Indonesia yang lain tidak pernah ada keterwakilan
Papua. Ini menandakan bahwa Papua bukanlah bagian dari negara Indonesia.
Pada 1 Mei 1961 oleh intelektual
Papua yang tergabung dalam Nieuw Guinea Raad pernah mendeklarasikan kemerdekaan
Papua. Saat itu lagu “Hai Tanahku Papua” dinyanyikan, lambang burung mambruk
diperlihatkan, juga bendera bintang kejora dikibarkan dan membentuk
pemerintahan sendiri. Tri komando rakyat, salah satunya berbunyi bubarkan
negara boneka buataan Belanda, Indonesia juga pernah mayakini bahwa Papua
adalah sebuah Negara (P.J Drooglever, 2005).
Tahun 1969 atas usulan Elswot
Bungker, akhirnya penentuaan pendapat rakyat diberlangsungkan. Saat itu
usulannya satu orang Papua memberikan satu suaranya, bukan beberapa orang Papua
mewakili seluruh rakyat Papua, tetapi pemerintah Indonesia berlaku tidak adil,
mereka menunjuk 1. 025 orang Papua untuk memberikan suara mereka mewakili
800.000 orang Papua (Jhon Saltford, 2006).
UNTEA, badan khusus PBB yang
ditugaskan untuk memantau perkembangan di Papua juga tak bisa berbuat apa-apa.
Pemerintah Indonesia menekan semua gerak-gerik mereka. Ruang demokrasi ditutup
rapat. Mereka tidak menghargai hak setiap orang untuk berpendapat, termasuk
utusan PBB sendiri. Hasil pepera akhirnya memutuskan bahwa rakyat Papua ikut
dengan negara Indonesia. Mereka yang memberikan suaranya mewakili rakyat Papua
adalah orang-orang pilihan pemerintah Indonesia. Mereka diancam akan dibunuh
jika memilih ikut Papua. Mereka memilih dibawah tekanan.
Setelah Papua integrasi ke dalam
negara Indonesia secara sepihak banyak problem yang terjadi. Misalnya, militer
mencurigai masih banyak orang Papua menghendaki kemerdekaannya sendiri. Mereka
dikejar, diinterogasi bahkan banyak dari antara mereka yang dibunuh.
Pelanggaran HAM oleh aparat militer sering terjadi di Papua. Semua berlangsung
atas nama kepentingan negara. Orang Papua dianggap tidak penting untuk hidup.
Pemerintah lebih mementingkan kekayaan alam orang Papua dari pada manusianya.
PT Freeport Indonesia menjadi lahan yang paling menguntungkan bagi pemerintah
Indonesia.
Pertumbuhaan penduduk Papua tak
nampak. Program keluarga berencana yang dicanangkan oleh pemerintah pusat, hal
itu hanyalah akal-akalan untuk menekan penduduk asli Papua. Transmigrasi terus
diberlangsungkan di Papua. Orang Papua sungguh tidak berdaya. Orang Papua
memang betul-betul di buat tidak berdaya. UU Otsus hanyalah bentuk penjajahaan
baru. Pemerintah Indonesia menaruh kecurigaan yang besar terhadap rakyat Papua,
dampaknya Otsus tidak diimplementasikan secara baik dan konsekuen.
Uang Otsus hanya di nikmati oleh
pejabat Papua dan pemerintah Jakarta. Peraturan daerah khusus yang di buat oleh
pemerintah daerah untuk menjaga hak-hak adat masyarakat lokal juga selalu
dicurigai. Pemerintah selalu beralasan untuk tidak menyetujui Perdasi maupun
Perdasus seperti itu. Rakyat Papua dianggap manusia yang tidak berguna dan
tidak perlu dididik.
Rakyat kecil yang seharusnya
menikmati dana Otsus tetap terpinggirkan. Betul-betul dibuat tidak berdaya.
Pemekaraan malah menimbulkan penyakit baru. Banyak uang Otsus dialokasikan
untuk membuka daerah pemekaran. akhirnya lebih banyak uang Otsus dinikmati oleh
birokrasi pemerintah dan aparat negara. Rakyat Papua masih tetap di jajah.
Dijajah oleh sistem yang tidak memihak. Sepertinya keadilaan tidak pernah ada
untuk rakyat Papua. Penjajahaan itu membuat orang Papua sebagai kaum lemah yang
sungguh tak berdaya.
Maka pantaslah, jika rakyat Papua
menuntut hak mereka untuk memisahkan diri, arti lain menuntut merdeka. Semua
rakyat Papua, termasuk pejabat-pejabat birkorasi pemerintah sudah muak dengan
pemerintah pusat yang tidak pernah menghargai rakyat Papua sebagai manusia
beradab. Pemerintah Indonesia merdeka, berarti rakyat Papua juga harus merdeka.
Semua orang, termasuk rakyat Papua juga berhak menentukan nasib sendiri. Tidak
ada seseorang-pun yang bisa menghalangi hak setiap orang. Negara di dunia
manapun mengakui hak-hak itu.
Pemerintah Indonesia perlu membuka
diri dan merefleksikan kembali kegagalan mereka dalam membangun Papua.
Menyadari bahwa tidak siap memimpin sebuah daerah yang di sebut Papua. Ini juga
sudah menunjukan kedwasaan mereka sebagai negara demokrasi. Dunia sedang
menanti sikap pemerintah Indonesia.
Kemarin lalu negara Indonesia senang
karena telah merdeka. Tetapi bagaimana dengan rakyat Papua yang saat ini sedang
dijajah, dan merasa benar-benar belum merdeka. Semoga pemerintah Indonesia
sadar akan ketidakmampuaan itu. Hanya satu kebutuhan rakyat Papua saat ini;
bebas dari penjajahan Indonesia.
Penulis
adalah Jurnalis Independent
0 thoughts on “Sejarah Jelas, Mari Kobarkan Semangat 61”