Ilustrasi : West Papau Vs B.K/@/google./KM. |
Oleh : Wenes Kobogau |
1.
PANDANGAN DALAM PERJUANGAN BANGSA PAPUA
Perjuangan kemerdekaan bangsa
Papua tidak sekedar karena alasan perbedaan ras Melansia dan Melayu,bukan juga
karena mayoritas orang Papua itu beragama Kristen dan mayoritas orang Indonesia
beragama Islam, tidak juga karena pelanggaran HAM yang kebanyakan dilakukan
oleh orang Idnonesia dan bukan atas dasar ketidak seimbangan dalam kebijakan
pembangunan seperti umumnya diperdebatkan dalam kampanye sejauh ini. Karena
pokok-pokok sengketa yang ada dalam konteks perjuangan ini tidak sekedar
masalah pelanggaran HAM, bukan sesempit persoalan perbedaan ras, tidak juga
sekerdil karena orang Papua meminta sesuap nasi. Karena pokok-pokok sengketa
dimaksud bersumber pada tingkah laku dan perbuatan badan dan negara yang
mengkleim diri sebagai juara demokrasi, juara penegakan supremasi hukum dan
juara dalam pemajuan demokrasi.
Kita perlu melihat apa saja yang menjadi tekanan NKRI dalam rangka
mengkleim wilayah West Papua sebagai bagian integral dari wilayah hukum NKRI.
Perjanjian Indonesia Belanda itu ada beberapa tahapan:
a.
Konferensi Malino
Tahun 1946, Belanda menyelenggarakan Konferensi Malino membahas pembentunan
Negara Indonesia Serikat, yang dihadiri juga oleh utusan West Papua atas nama
Mr. Frans Kaisiepo.
Mr. Frans Kaisiepo nyatakan kepada Dr. H.J. van Mook dan perwakilan
Indonesia bahwa orang Papua harus diberikan hak untuk berpemerintahan sendiri.
Waktu inilah nama Irian (yang dalam bahasa biak artinya berkabut/baruap,
steamy) diajukan menggantikan nama New Guinea. Konferensi ini tidak mencapai
kesepakatan dalam hal nasib West Papua.
b.
Konferensi Meja Bundar, Den Haag
Dalam konferensi ini Indonesia-Belanda telah sepakat tentang status Irian
Barat akan dibahas dalam negosiasi-negosiasi dalam tempo setahun setelah
kedaulatan Indonesia diakui oleh Belanda (tahun 1949). Berarti sejak tahun 1951
sudah harus ada negosiasi-negosiasi itu. Tetapi karena sampai tahun 1961,
Belanda belum menunjukkan tindakan real dari janjinya, maka Indonesia
menggunakan isu komunisme sebagai senjata ampuh untuk menantang sikap berdiam
diri dan delay tactics yang diterapkannya. Hasil konfrontasi awal 1961 akhirnya
memaksa musuh bebuyutan Blok Timur, AS untuk terpaksa dilibatkan dalam
merekayasa Pepera.
Seperti dilihat dalam Pasal berikut, Mohammad Hatta
yang menjadi Ketua Delegasi Indonesia waktu itu menolak dengan tegas
mempermasalahkan West Papua dengan alasan West Papua merupakan bangsa yang
terpisah dari NKRI. Tetapi akhirnya ditetapkan bahwa status wilayah itu akan
dibahas dalam negosiasi-negosiasi selanjutnya. Nah, dalam negosiasi-negosiasi
selanjutnya itu, Moh. Hatta sudah tidak dilibatkan lagi, karena sudah
mengundurkan diri dari politik kotor Sukarno.
c.
Ketiga, waktu The New York Agreement
Indonesia juga mengkleim bahwa pelaksanaan Pepera 1969 itu sepenuhnya
didasarkan atas Perjanjian New York 1962. The New York Agreement inilah yang
menjadi dalil utama NKRI kemudian untuk mengkleim wilayah West Papua dan
menyatakan sebagai wilayah hukumnya sampai hari ini.
Padahal sudah jelas bahwa orang Papua tidak terlibat ataupun
dikonsultasikan dalam kesepakatan-kesepakatan, diskusi-diskusi dan
tawar-menawar politik antara Belanda dan Indonesia.
d.
Keempat, The Joint Rome Statement
Indonesia juga punya kleim bahwa Belanda-Indonesia juga telah memperkuat
sikap dan persetujuan mereka untuk melaksanakan sepenuhnya Perjanjian New York,
dengan rencana pembangunan selanjutnya sebagaimana yang dicantumkan dalam
pernyataan Roma ini.
Yang menarik untuk diperhatikan adalah bahwa setelah kegagalan Konferensi
Malino dan Konferesni Meja Bundar (KMB), AS mulai memainkan perannya dalam
deal-deal selanjutnya. Hasilnya seperti kita akan lihat dalam Pasal berikut
bahwa kepentingan-kepentingan AS juga turut dibahas dan ditetapkan dalam The
Rome Joint Statement maupun The Memorandum of Rome itu.
Lalu kita bertanya:
·
Apakah
ada perwakilan atau orang Papua yang terlibat di sini ?
·
Kalau
ada, di mana pendapat mereka ?
·
Kalau
tak ada, apakah ini sebuah keputusan kolonialis, yang tidak tunduk kepada
prinsip demokrasi ?
1)
Bahwa prosedur dari penentuan pendapat akan dikonsultasikan dengan
perwakilan rakyat (Irian)
Ada juga uraian bahwa prosedur dari penentuan pendapat akan dikonsultasikan
dengan perwakilan rakyat (Irian).
Nah, kalau dikaitkan dengan realitas tindakan di lapangan, maka yang
terjadi adalah intimidasi, indokrinasi dan drilling exercises bagi tokoh-tokoh
yang ditunjuk NKRI untuk berteriak bergabung dengan NKRI. Yang terjadi bukanlah
konsultasi, tetapi pemaksaan, intimidasi dan teror.
·
Apakah
ini berbeda dengan proses sosialisasi RUU dan UU Otsus untuk West Papua
sekarang ?
·
Tahukah
Anda cara Indonesia menunjuk para wakil dimaksud ?
· Tahukah
Anda apa yang diucapkan Ali Murtopo dan pasukannya dalam kegiatan drilling
exercises itu?
2)
Bahwa penyediaan akan partisipasi
dalam penentuan pendapat akan sesuai dengan praktek-praktek
internasional dan sebagai kesimpulan dari implementasi ini, walaupun Ortiz Sanz
menyatakan bahwa Pepera dilakukan sesuai dengan cara Indonesia, ternyata
Indonesia mengkleim bahwa cara yang dilakukan Indonesia (musyawarah) sudah
diakui oleh PBB (dunia internasional), maka dengan demikian hal itu sesuai
dengan prinsip praktek-praktek internasional.
Jadi, Ortiz Sanz tidak mengakui pelaksanaan Pepera sesuai praktek
internasional, tetapi sesuai dengan cara Indonenesia. Maka yang menjadi
pertanyaan adalah:
Apakah cara Indonesia itulah yang disebut cara internasional ?
· Apakah cara musyawarah itu harus
diakui dulu, baru dirapkan ?
·
Ataukah karena hasilnya diakui, maka cara itu, yang telah diterapkan dalam
Pepera itu dianggap diakui dunia internasional ?
· Apakah cara musyawarah itu pernah diakui dalam sebuah resolusi PBB sebagai
salah satu praktek demokrasi dan sebagai cara yang diakui dunia internasional ?
3)
Karena prinsip "one man, one vote" dihapus dari naskah Perjanjian
New York dimaksud ;
Karena prinsip "one man, one vote" dihapus dari naskah Perjanjian
New York dimaksud, maka terbuka kemungkinan bagi pihak yang terlibat untuk
mengembangkan cara yang tepat bagi pelaksanaan penentuan pendapat dimaksud.
Cara/ metode implementasi Pepera itu sudah sejak lama dipersoalkan bangsa
Papua, karena prinsip "one man, one vote" dihapus dari naskah
Perjanjian New York dimaksud. Indonesia kemudian merubah cara ini sesuai cara
Indonesia, yaitu permusyawaratan perwakilan, sesuai Sila IV, Pancasila. Alasan
mereka adalah karena The New York Agreement tidak membutuhkan
(menegaskan) implementasi sistem “one man, one vote” dalam penentuan pendapat
ini. Tidak ada rekayasa termasuk di sini dan tidak ada alasan untuk mencurigai
apa yang telah terjadi, dengan alasan hukum internasional, tidak ada keharusan
yang ditetapkan bahwa penentuan pendapat menerapkan sistem “one man, one vote.”
Maka dengan jelas kleim Indonesia adalah bahwa cara permusyawaratan perwakilan
adalah tepat.
4)
Metode ini didasari atas pertimbangan kondisi sosial, ekonomi, budaya dan
geografis Irian Barat yang belum maju ;
Kleim Indonesia bahwa perihal pemilihan metode ini didasari atas
pertimbangan kondisi sosial, ekonomi, budaya dan geografis Irian Barat yang
belum maju dan sulit untuk menerapkan prinsip "one man, one vote".
Yang mengherankan di sini, pada tahun 1970, yaitu hanya setehun setelah Pepera,
Indonesia berhasil menyelenggarakan Pemilu dan Pemilu itu diikuti oleh SELURUH
RAKYAT PAPUA.
Apakah ada mujizat sang ilahi
yang menyebabkan Pemilu 1970
tidak ada rintangan sosial, ekonomi, budaya dan
geografis sehingga semua
penduduk West Papua bisa ikut Pemilu NKRI, tetapi
sulit mengikut
Pepera 1969 ?
Bukankah NKRI yang melaksanakan
Pepera, dan NKRI jugalah yang
melaksanakan Pemilu dalam selang waktu beberapa
bulan ? Kalau begitu
mengapa yang satu
banyak halangan, dan yang lainnya berjalan mulus ?
Apakah PBB menyetujui bahwa
alasan perkembangan sosial, ekonomi,
budaya dan kondisi geografis dapat dipakai
sebagai dasar untuk merubah
praktek-praktek demokrasi internasional ?
1) Indonesia mengkleim bahwa The New
York Agreement adalah Dasar Hukum yang Resmi untuk Penentuan Pendapat.
Setelah mengkleim Perjanjian New
York sebagai Dasar Hukum Resmi untuk Pepera, kini Indonesia mengkleim bahwa
PEPERA sebagai Proses Formal dari Penentuan Nasib Sendiri. Itu berarti bahwa
keputusan Pepera tidak dapat diganggu-gugat.
Walaupun wakil rakyat Papua
sebagai subyek dari perjanjian ini tidak terlibat, Indonesia mengkleim bahwa
perjanjian antara kedua belah pihak yang bersengketa inilah yang merupakan
dasar resmi untuk Pepera di West Papua.
Indonesia menjelaskan ada tiga
unsur utama Perjanjian itu, yaitu perihal penyerahan tugas administrasi dari
Belanda kepada PBB, penyerahan tugas administrasi dari PBB kepada Indonesia,
dan perihal penentuan pendapat rakyat itu sendiri.
Dalam pada itu, Indonesia
memperjelas bahwa sesuai Perjanjian, Pepera dilaksanakan dalam Dua Tahapan.
Tahapan pertama dari 1 Oktober 1962 hingga 1 Mei 1963. Dalam tahap ini, pegawai
Belanda digantikan oleh non-Belanda dan non-Indonesia. Pada tahap kedua,
Administrasi UNTEA diimplementasikan dengan mempertimbangkan perkembangan lokal
dan waktu pemberlakuan tahap kedua ini tidak dibatasi. Nah, di sinilah peluang
NKRI mempermainkan waktu tidak dibatasi, sehingga yang terjadi adalah
manipulasi untuk mempercepat transfer itu kepada Indonesia. Setelah terjadi
pergantian pegawai di Tahap Pertama, maka masa berlaku Tahap kedua sama sekali
tidak ada. Dengan kata lain, Tahap Kedua tidak berjalan sama sekali. RUPANYA,
yang terjadi adalah dengan berakhirnya tahap pertama, maka berakhir pula tahap
kedua secara bersamaan.
2) Dasar Implementasi Hasil Pepera
sesuai The Rome Joint Statement
Hal yang menarik lainnya adalah
rupanya The Rome Joint Statement telah memutuskan bahwa "Indonesia
dan Belanda akan mengakui dan tunduk kepada hasil akhir dari penentuan pendapat
dimaksud." Jadi, bagaimanapun salahnya implementasi itu, kedua belah pihak
rupanya sudah sepakat untuk mengakui hasil Pepera itu. Hasilnya kita lihat
salah satu butir Resolusi PBB No. 2504 tadi, yaitu: "Mengingat bahwa, sesuai dengan Pasal XXI, paragraph 2, kedua belah
pihak yang menandatangani
Persetujuan ini telah mengakui hasil ini dan tunduk kepadanya.
Maka hasilnya Belanda HARUS
menerima hasil Pepera, tanpa komentar, tanpa pertanyaan, tanpa apapun juga.
·
Apakah ini bahasa demokrasi ?
·
Di manakah suara rakyat Papua ?
·
Bagaimana kalau rakyat Papua tidak mengakuinya ?
· Apakah Pepera dilaksanakan di Indonesia atau di Belanda, sehingga yang
harus mengakuinya hanya mereka berdua ?
·
Ingatkah Anda perihal pemaksaan Otsus di West Papua sekarang ?
·
Apakah ada kesamaan-kesamaan ?
3) Dasar Keterlibatan PBB
Kemudian ada tiga kata yang
selalu diulang-ulang oleh NKRI dalam mengkleim keabsahan Pepera, yaitu
"nasehat, batuan dan partisipasi" dari PBB dengan alasan bahwa
ternyata PBB punya tanggungjawab langsung dengan proses dan hasil Pepera itu
sendiri. Jadi, kalau terjadi kesalahan, itu bukan kesalahan Indonesia melulu,
tetapi PBB juga turut terlibat. Dan kalau PBB terlibat, tidak usahlah
diasangsikan bahwa proses itu tidak demokratis.
Menyangkut keterlibatan PBB ini,
secara mendalam telah ditelaah dan dipresentasikan oleh Dr. John Saltford dalam
disertasi Doktoralnya berjudul "UNITED NATIONS INVOLVEMENT WITH THE ACT OF
SELF-DETERMINATION IN WEST IRIAN (INDONESIAN WEST NEW GUINEA) 1968 TO
1969" bahwa ternyata PBB gagal, dan kegagalan itu disengaja atas
konsiparasi internasional demi kepentingan perang dingin untuk melupakan saja
persoalan West Papua dan mengalihkan perhatian kepada perang melawan komunisme
yang waktu itu sudah merajalela di Indonesia.
4) Dasar Resolusi PBB No. 2504
(XXIV), 19 November 1969
Sebagai penekanannya, NKRI
menyatakan dengan mengadopsi Resolusi 2504 (XXIV) Sidang Umum PBB ini,
pelaksanaan penentuan pendapat rakyat dengan cara musyawarah, tidak
dengan “satu orang, satu suara”, telah diterima oleh masyarakat internasional.
Dari segi ini, masyarakat internasional mengakui secara de jure dan de facto,
bahwa wilayah Irian Jaya adalah bagian integral dari NKRI. Pengakuan
internasional ini tidak dapat dianulir atau dibatalkan, karena tak ada Negara
satupun yang bisa menggugat legitimasi dari wilayah Irian Jaya sebagai bagian
dari NKRI. Prinsip integrigas dan kedaulatan dari Negara mana saja adalah salah
satu dari prinsip utama yang ditekankan dalam Piagam PBB. Akibatnya, pergerakan
separatis apa saja akan ditolak oleh masyarakat internasional, karena hal itu
melanggar prinsip-prinsip dan tujuan dari PBB itu sendiri.
Padahal, orang Papua tidak
sekedar berpegang pada Resolusi 2504 (XXIV), tetapi mempersoalkan proses untuk
sampai kepada resolusi itu yang penuh dengan skandal hukum, HAM, dan demokrasi.
Dalam hal ini mereka sama sekali
mengabaikan :
Berdasarkan hukum internasional dan prinsip-prinsip demokrasi dan
Berdasarkan hukum internasional dan prinsip-prinsip demokrasi dan
HAM,apa
yang terjadi kalau RAKYAT SETEMPAT sendiri menolak Pepera ini ?
Apa yang harus dibuat kalau rakyat sendiri secara demokratis mau
menentukan
nasib sendiri ?
Apakah pengakuan negara-negara yang bertikai cukup menjadi alasan untuk
memaksa sebuah bangsa dan negara ke dalam negara lain ?
Bukankah ini sebuah pencaplokan secara paksa ?
Bisakah Anda bayangkan apa yang akan dikatakan NKRI dalam Otsus II ini ?
Bukankah jelas bahwa Otsus dijalankan sesuai prosedur dan desakan dunia
internasional, maka Otsus itu sah ?
Lalu sebagai kesimpulan, NKRI
menegaskan:
Pertama; bahwa Implementasi penentuan
pendapat dijalankan secara demokratis dan dengan cara yang transparan dengan
melibatkan orang Irian Jaya dengan cara metode konsultasi.
Keseluruhan proses penentuan
pendapat melibatkan partisipasi, bantuan, dan nasehat dari PBB dan selanjutnya
disetujui oleh masyarakat internasional (SU PBB).
* Orang Irian Jaya siapa yang dilibatkan ?
*Bagaimana cara mereka dipilih dan dilibatkan ?
*Apakah cara pemilihan berupa penunjukan ataukah pemilihan sebagaimana kita
kenal di dunia ?
*Menurut janji, ada wakil fungsional, ada wakil yang dipilih rakyat dan ada
wakil
dari suku-suku yang ada. Nah, kalau ada 245 suku di West Papua, apakah
mereka semua terwakili waktu itu ?
*Dapatkah keputusan satu suku menginjak-injak hak suku-suku lain ?
Bagaimana kalau suku-suku yang tidak terlibat merasa tidak pernah meneken
kontrak sosial ini ?
*Kalau cara pemilihannya saja sudah tidak jelas, apakah hasil dari padanya
dapat
dianggap sah secara demokratis?
Kedua, Jelaslah di sini bahwa PEPERA
sebagai implementasi dari penentuan pendapat tidaklah cacat secara hukum.
Interpretasi unilateral dan
misinterpretasi dari the New York Agreement dan usaha-usaha untuk membelokkan
persepsi bahwa The New York Agreement seharusnya menerapkan sistem "one
man, one vote" adalah jelas-jelas tidak dapat dipertanggung-jawabkan dan
tidak benar sesuai fakta yang ada.
· Apa yang dimaksud NKRI dengan Pepera dan implementasinya tidak cacat hukum,
padahal proses pemilihan wakil-wakil yang terlibat sendiri sudah cacat hukum ?
· Apa yang dimaksudnya dengan kalimat ini padahal proses drilling exercises
sendiri sudah menunjukkan tidak sah ?
· Apa yang dimaksud dengan "sesuai dengan fakta yang ada?" Apakah
fakta sosial, budaya, ekonomi dan geografis, ataukah fakta manipulasi itu,
ataukah fakta keputusan SU PBB, atau fakta akor antara Belanda dan Indonesia
atas rekayasa AS ?
Ada gelagat NKRI yang sangat
menarik kalau kita lacak dan renungkan. Pertama mereka mau menghapuskan ingatan sejarah bahwa Pepera 1969 itu
cacat hukum, cacat demokrasi, cacat HAM dan cacat moral. Kedua, mereka
mau mengisi tempat ingatan yang dihapus itu dengan pertentangan antara Otonomi
dan Pemekaran.
Kita ingat saja sejak UU Otsus
disahkan, setelah Theys Eluay sebagai tokoh perjuangan kemerdekaan West Papua
dibunuh, dan setelah berbagai operasi polisi dan tentara diluncurkan di West
Papua. Akhirnya, secara kontroversial, dengan disengaja, RUU Otsus disahkan
menjadi UU Otsus.
Memang NKRI tahu bahwa pasti ada
orang Papua yang akan menerima, ada yang akan menolak, dan ada yang sikapnya
tidak jelas. Mereka lebih terfokus pada mempermainkan potensi yang menolak
dengan tegas dan Poros Papindo (Papua-Indonesia).
Dengan pertentangan-pertentangan
ini, maka isu "M" malah dibelokkan menjadi isu yang menerima dan yang
menolak Otsus. Memang ada pengkaitan antara yang menerima sebagai poros moderat
dan yang menolak sebagai poros ekstrim untuk Papua Merdeka, tetapi potensi
pertentangan ini digarap dan dikelola sedemikian rupa sehingga banyak sekali
waktu, dana, dan daya orang Papua habis terkuras dalam rangka menyikapi Politik
Otonomisasi NKRI di West Papua.
Ini sengaja direkayasa supaya
ingatan Pepera 1969 dilupakan dan permasalahan Otonomi Khusus mendominasi
pikiran rakyat Papua.
· Berhasilkah gelagal mereka ? Anda jawab sendiri berdasarkan
kondisi pikiran Anda.
Alasan kedua karena Jaap Solossa
dan Frans Wospakrik bersama anggota mereka dilibatkan dalam meracang Otsus II
ini, maka NKRI bersikukuh bahwa proses pembuatan UU Otsus untuk West Papua
adalah karena orang Papua mendukung RUU dan implementasinya dilaksanakan oleh
orang Papua sendiri.
Ada persamaan di sini, antara
kleim waktu Pepera 1969 dan kleim Otsus 2002. NKRI punya kleim bahwa
wakil-wakil rakyat Papua dilibatkan dan atau dikonsultasikan dalam proses
Pepera 1969. Sama halnya pula, dengan pembentukan Tim Asistensi Otsus, NKRI
juga telah mengkleim bahwa konsultasi dengan wakil-wakil orang Papua dilakukan
secara menyeluruh dan tuntas.
Padahal mereka lupa bahwa Solossa
dan Wospakrik, walaupun secara biologis orang Papua, secara adminstratif dan
politis mereka berdua adalah aparat pemerintah NKRI yang ada di West Papua.
Yang terjadi adalah konsultasi antara pejabat pemerintah di tingkat pusat
dengan pejabat pemerintah di tingkat provinsi; NKRI berkonsultasi dengan NKRI.
Sama saja dengan itu, dalam Pepera NKRI membentuk DMP, dengan Ketua Theys
Eluay, lalu mereka menjalankan Pepera 1969 seolah-olah itu murni. Padahal pada
waktu pelaksanaan Pepera itu, di saat wakil PBB dan pengamat hadir di situ,
yang bertanya adalah pejabat pemerintah, dan yang menjawab juga adalah pejabat
buatan pemerintah pula. Tidak ada wakil rakyat yang berbicara dalam proses
Pepera 1969 itu.
1) Alasan Metode Pepera 1969 dan Otsus 2001 Masih
Sama
Dulu waktu Pepera 1969, alasan
perubahan metode "one man, one vote" ke sistem "permusyawaratan
perwakilan" adalah bahwa kemajuan ekonomi, sosial, politik dan budaya
serta kondisi geografis di West Papua tidak memungkinkan sebuah penentuan
pendapat sesuai praktek demokratis jajak pendapat secara internasional.
“Tanpa malu sendiri, setelah
hampir setengah abad menduduki wilayah yang dulunya dikleim sebagai "yang
belum maju itu", yang nyatanya bisa melaksanakan Pemilu 1970 tanpa
halangan apa-apapun itu, akhirnya pada tahun 2001, masih menggunakan alasan
"keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan" yang sama untuk meloloskan
agenda Otonomisasi di West Papua.”
2) Alasan Kondisi Sosial-Politik di
West Papua Masih Sama
Selain alasan tingkat kemajuan
orang Papua waktu itu, ada juga alasan yang mirip lainnya, yaitu bahwa kondisi
sosial-politik di West Papua tidak memungkinkan untuk melakukan konsultasi
secara menyeluruh. Maka dibentuklah DMP, padahal Nieuw Guinea Raad sudah ada,
maka dibentuklah Tim Asistensi Otsus, padahal PDP sudah ada. Maka
dikonsultasikanlah dalam seminar-seminar, padahal rakyat Papua sudah tahu
3) Pertanyaan-Pertanyaan Terhadap
Alasan ini
Kalau Indonesia menganggap West
Papua masih belum maju, masih primitif, masih terkebelakang, maka :
·
Mana bukti Indonesia sudah
merdeka setengah abad lebih sementara rakyatnya masih saja mengemis di pinggir
jalan, tidur di bawah kolong jembatan, melacurkan diri di usia muda dan tua,
merampok, ber-KKN, dan sebagainya yang melanggar ajaran agama dan moral ?
· Mana buktinya sedangkan setiap
hari selalu ke luar negeri minta uang ? Memangnya Indonesia tidak punya harta yang dapat dinilai dengan uang atau
dapat diuntungkan ?
·
Berarti jelaslah NKRI sebagai
negara bukanlah milik bangsa Indonesia donk ?
· Kalau, ya, mengapa wilayah yang
luas dan kaya-raya itu tidak sanggup membangun negaranya ?
·
Berarti Indonesia sebenarnya
belum merdeka donk ?
·
Mana bukti NKRI yang punya West
Papua dan menjadikan West Papua sebagai bagian integral dalam kerangka NKRI?
· Mana bukti NKRI berdaulat
sementara untuk menegakkan kedaulatan itu harus bertanya kepada Canberra ?
Tanpa kita sadari dan menganalisis secara utuh, rupanya alasan yang
mendorong pemberlakuan Pepera 1969, yang dimulai dengan ancaman invasi militer
dan peperangan yang diawali dengan Pengumuman Trikora (19 Desember 1961), yaitu
Otsus I di West Papua dan alasan pemberlakuan Otsus II 2002 adalah sama, yaitu
untuk menanggapi aspirasi Papua Merdeka.
Dengan kata lain, dapat dibantah bahwa pemberlakuan Otsus I dan Otsus II di
West Papua bukanlah untuk membangun West Papua dan orang Papua seperti retorika
yang dikembangkan, bukan juga karena NKRI sudah semakin demokratis dan semakin
manusiawi, tetapi terutama karena NKRI dipaksa atau didesak oleh perubahan
sikap politik rakyat Papua terhadap penjajahnya.
Yang dikleim dengan kuat dalam Pepera 1969 sebagai Dasar Hukum yang Sah dan
Tuntas adalah Resolusi PBB No. 2504 (XXIV), 19 November 1969. Alasan-alasannya
adalah bahwa Pepera 1969 itu dilakukan atas dasar Resolusi PBB, dan dijalankan
atas nasehat, bantuan dan keterlibatan Wakil PBB, dan akhirnya disahkan oleh
Sidang Umum PBB, maka Pepera 1969 adalah sah karena diakui oleh masyarakat
internasional. Sama halnya pula, metode permusyawaratan perwakilan adalah sah
dan diakui dunia internasional karena telah disahkan dalam resolusi PBB
dimaksud.
Sekarang dalam rangka Otsus II ini juga kita lihat NKRI selalu ke luar
negeri untuk minta jawaban kalau orang Papua harus diberi kemerdekaan atau tidak.
Nyatanya mereka kembali dan mengatakan: “Karena dunia internasional mendukung
West Papua sebagai bagian dari NKRI, maka demikianlah adanya! Orang Papua
jangan macam-macam!” Jadi, status politik, nasib politik dan hubungan politik
West Papua– NKRI ditentukan di Bruxxels, di London, di Canberra dan di
Washington dan bukan di Jakarta.
·
Bukanlah ibukota penjajah di West Papua di Jakarta ?
·
Bukankah itu berarti ada hubungan tidak sehat dan tidak masuk akal ?
·
Mengapakah orang Indonesia tidak seandai itu membacanya?
Sangat menarik juga melihat
politik NKRI masih menerapkan pola-pola yang sama dalam rangka meloloskan
ambisinya. Bisa diduga bahwa dengan perubahan waktu, pergantian pemimpin
nasional dan pergantian konstalasi politik NKRI, cara-cara implementasi
kehendak Jakarta berubah. Tetapi dalam kasus NKRI-West Papua, fenomenanya masih
sama saja. Kita lihat apa yang terjadi tahun 1961-1969 di West Papua dan
membandingkannya dengan apa yang sedang terjadi sekarang seperti dicatat dalam
Bagian I buku ini.
i.
Melarang Kelompok Oposisi
Orang Papua yuang dicurigai
sebagai anggota atau pendukung OPM, yang secara terbuka menyuarakan aspirasi
rakyat Papua atas dasar kebebasan seperti dijamin oleh PBB dan khususnya dalam
Perjanjian New York akhirnya harus mengalami nasib sial. Banyak dari mereka
dipenjarakan, dibunuh dan dideportase ke Jawa.
Dulu Nieuw Guinea Raad dilarang
berbicara, wakil-wakil OPM dilarang berbicara. Sekarang juga sama. Kita lihat khususnya melalui Operasi Matoa dengan judul: Skenario Memelihara
Api Perjuangan West Papua Merdeka Berdaulat di Luar NKRI.
Dalam dokumen yang ditulis tangan ini berisi nama-nama organisasi yang dilarang bergerak, seperti Demmak, DAP, TPN/OPM, PAP, DASS, SP, TAPOL/NAPOL, dan Pilar-Pilar PDP. Yang sangat mengherankan adalah bahwa PDP sebagai organisasi perjuangan kemerdekaan West Papua tidak dicantumkan.
Dalam dokumen yang ditulis tangan ini berisi nama-nama organisasi yang dilarang bergerak, seperti Demmak, DAP, TPN/OPM, PAP, DASS, SP, TAPOL/NAPOL, dan Pilar-Pilar PDP. Yang sangat mengherankan adalah bahwa PDP sebagai organisasi perjuangan kemerdekaan West Papua tidak dicantumkan.
Dalam kesimpulan dokumen itu
antara lain dikatakan:
Kehadiran Ormas tersebut di West Papua adalah merupakan tandingan
pemerintah NKRI.
Ormas tersebut sudah jelas tidak mendukung tujuan nasional (Otsus) dalam
NKRI yang berdasarkan Pancasila & UUD 1945.
Ormas tersebut beranggapan merasa eksis dengan berdasar kepada otoritas hak
adat masy.
Papua walaupun menyimpang dari psl. 43 Otsus & TAP MPR III Th. 2002.
Papua walaupun menyimpang dari psl. 43 Otsus & TAP MPR III Th. 2002.
Maka tergambar jelas
kemiripannya, bukan ?
ii.
Membentuk "Dewan Musyawarah Pepera" (DPM - Act of Free Choice
Electoral Council)
Indonesia mengartikan perkataan
"pemilihan sesuai praktek internasional’ sebagai penentuan pendapat sesuai
sistem Indonesia permusyawaratan perwakilan. Dalam kaitan ini, Kolonel
Sutjipto, SH, Asisten Perdana Menteri untuk Urusan Irian Barat mengatakan :
The New York Agreement, is characteristically 'dynamic', moving, but not static. Its dynamism initially lies in the purpose of the agreement itself.... so it has to be the Indonesian Government's obligation as a party to the agreement, to take preparative measurements in order to secure the agreement's implementation.
[Artinya: Perjanjian New York itu bercirikan dimamis, bergerak, dan tidak statis. Dalam dinamismenya mulanya terletak pada tujuan daripada persetujuan itu sendiri… jadi pelaksanaannya merupakan tugas Pemerintah Indonesia sebagai pihak yang menandatangani perjanjian dimaksud, untuk mengambil langkah-langkah persiapan untuk menjamin pelaksanaan persetujuan itu.]
The New York Agreement, is characteristically 'dynamic', moving, but not static. Its dynamism initially lies in the purpose of the agreement itself.... so it has to be the Indonesian Government's obligation as a party to the agreement, to take preparative measurements in order to secure the agreement's implementation.
[Artinya: Perjanjian New York itu bercirikan dimamis, bergerak, dan tidak statis. Dalam dinamismenya mulanya terletak pada tujuan daripada persetujuan itu sendiri… jadi pelaksanaannya merupakan tugas Pemerintah Indonesia sebagai pihak yang menandatangani perjanjian dimaksud, untuk mengambil langkah-langkah persiapan untuk menjamin pelaksanaan persetujuan itu.]
Persamaanya kita bisa lihat,
walaupun RUU Otsus sudah disahkan menjadi UU Otsus, walaupun Pasal-Pasal sudah
dijelaskan dengan baik, ada saja lubang-lubang yang tersedia bagi NKRI untuk
melakukan manuver-manuver politik. Ada saja peluang untuk Megawati mengeluarkan
Inpres No. 01/2003, ada saja peluang untuk menyatakan bahwa UU Otsus dan UU
Pemekaran tidak bertentangan, tetapi saling menopang. Ada saja peluang untuk
mengkleim bahwa UU Otsus perlu direvisi kembali, karena tidak sesuai dengan
jiwa ke-Indonesia-an, karena disahkan seutuhnya atas kemauan non-Indonesia.
iii.
Mengancam Kaum Nasionalis Papua yang Dianggap berbahaya terhadap Pepera
Seperti dicatat dalam paper karya
WesPaC-AMP tersebut :
Brigadier General Ali Murtopo harangued the Papuan Nationalists in Jayapura for two hours and told them that: "JAKARTA WAS NOT INTERESTED IN THEM AS PAPUANS, BUT IN WEST IRIAN AS A TERRITORY. IF THEY WANTED TO BE INDEPENDENT THEY HAD BETTER ASKED GOD TO FIND THEM AN ISLAND IN THE PACIFIC WHERE THEY COULD EMIGRATE, OR MAY BE WRITE TO THE AMERICANS AND ASK IF THEY WOULD BE GOOD ENOUGH TO FIND THEM A PLACE ON THE MOON.
Brigadier General Ali Murtopo harangued the Papuan Nationalists in Jayapura for two hours and told them that: "JAKARTA WAS NOT INTERESTED IN THEM AS PAPUANS, BUT IN WEST IRIAN AS A TERRITORY. IF THEY WANTED TO BE INDEPENDENT THEY HAD BETTER ASKED GOD TO FIND THEM AN ISLAND IN THE PACIFIC WHERE THEY COULD EMIGRATE, OR MAY BE WRITE TO THE AMERICANS AND ASK IF THEY WOULD BE GOOD ENOUGH TO FIND THEM A PLACE ON THE MOON.
[Artinya: Brigjen Ali Murtopo
menekan kaum nasionalis Papua di Numbay selama dua jam dan memberitahu mereka
bahwa "Jakarta tidak tertarik dengan mereka sebagai manusia Papua, tetapi
Irian Barat sebagai sebuah wilayah. Jikalau mereka mau merdeka, mereka lebih
baik meminta Allah untuk mencari tempat bagi mereka sebuah pulau di Pasifik
sana di mana mereka bisa pindah kesana, atau bisa menyurat ke orang Amerika dan
kalau mereka berbaik hati untuk mencari tempat buat mereka di bulan.]
Lalu bunyi ancaman itu berlanjut :
He impressed upon them that 115
million Indonesians had fought for West Irian for years. They had made many
sacrifices in this struggle, and they would not therefore allow their national
aspirations to be crossed by a buch of Pauans. Short shrift would be made of
those who voted against Indonesia. Upon them would fall the vengeance of the
Indonesian people. Among them Murtopo who would
himself shoot the people on the spot.
[Artinya: Dia lalu melanjutkan
bahwa 115 juta orang Indonesia sudah berperang memperebutkan Irian Barat
bertahun-tahun lamanya. Sudah ada banyak pengorbanan dalam perjuangan ini, dan
karena itu mereka tidak akan pernah membiarkan aspirasi nasional mereka
dibatalkan oleh segelintir orang Papua. Lidah orang yang berbicara melawan
Indonesia akan dipotong. Keganasan orang Indonesia akan menimpa atas mereka.
Dan di antaranya Ali Murtopo sendiri akan tembak di tempat orang-orang begitu.]
Kita dengan mudah membandingkan
perilaku NKRI dalam Otsus I dan Otsus II mirip sekali seperti :
·
Orang Papua yang dianggap bahaya dilempar keluar (diasingkan)
Kita lihat apa yang terjadi
dengan Barnabas Suebu dan Fredy Number secara jelas sekali. Waktu mereka
menjabat Gubernur Irian Jaya, banyak sekali program yang secara strategis
membahayakan keberadaan NKRI di wilayah itu. Barnabas suebu berbahaya waktu itu
karena beliau membangun kekuatan masyarakat akar-rumput secara ekonomi begitu
baik, dan mendorong koperasi-koperasi dengan luarbiasa.
Bayangkan saja kalau semua orang
Papua mampu secara ekonomi. Kita sudah lihat dalam muslihat penjajah bahwa
biasanya penjajah tidak pernah menginginkan kaum yang dijajah menguasai
sumber-sumber ekonomi. Karena itu beliau harus diusir keluar dari West Papua.
Beliau juga sudah berkampanye ke
seluruh pelosok West Papua memperkenalkan dirinya. Kita tidak tahu apa gerangan
rencananya setelah semua orang Papua mengenalnya. Sedangkan Fredy Number punya program lain yang berbahaya juga bagi NKRI,
yaitu beliaulah Gubernur orang Papua yang pertama kali menyisihkan dana
pendidikan secara khusus. Beliau lalu punya program Pola Pendidikan Berasrama,
peningkatan mutu pendidikan dan penyekolahan kader-kader Papua ke Jawa dan
keluar negeri. Dua orang ini terepaksa dilempar,
karena dianggap berbahaya.
· Orang Papua yang dianggap bahaya dibunuh Theys H. Eluay adalah contoh yang jelas. Seperti pembunuhan yang ramai
terjadi waktu Pepera 1969, menjelang Otsus II ini juga terjadi pembunuhan yang
ramai, penyerangan-penyerangan, intimidasi, dsb. Fenomena-fenomena seputar
inputting, processing dan output UU Otsus dengan jelas menggambarkan
peristiwa-peristiwa yang sama.
Pembunuhan Yusuf Tanawani, Yafeth
Yelemaken, William Onde, Simon Alom, Yustinus Murib dan pasukannya, semua ini
adalah dalam usaha mengamankan dan memperlancar implementasi paksa Otsus II.
·
Orang Papua yang dianggap bisa dibeli, dibeli saja Jangan heran bahwa Poros Papindo bukan hanya ada sekarang, tetapi dulu juga
ada. Istilah Papindo itu sendiri bukan istilah tahun 2000-an, tetapi istilah
yang lazim dipakai di tahun 1960-an untuk merujuk kepada orang Papua-Indonesia.
Dulu JM Bonay dibeli dengan
janji-janji bahwa setelah 5-25 tahun nanti, West Papua akan dimerdekakan oleh
NKRI. Sekarang JP Solossa juga dibeli dengan janji-janji yang sama. Nasib JM
Bonay menyedihkan, karena setelah ia melihat janji-janji NKRI tidak dipenuhi,
dia meninggalkan jabatan Gubernurnya dan melarikan diri ke Belanda. Dia
meninggal di Belanda sebagai pendukung murni Papua Merdeka.
Bisakah Anda bayangkan nasib Jaap Solossa ?
Kalau tidak sama, maka kita akan heran, mengapa harus berakhir secara
berbeda, padahal berawal dalam pola yang sama ?
David Huby, AJ Djopari, dan rekan
mereka semua yang disebut Poros Papindo adalah pihak yang sudah dibeli NKRI.
Nasib mereka sama dengan Theys H. Eluay waktu itu. Mereka kalau maju kena,
mundur juga kena. Kejadian ini sama saja dengan yang terjadi pada Marthen
Indey, Frans Kaisiepo, Silas Papare, dan lainnya yang dulunya membantu NKRI
dengan sepenuh hati, dengan harapan ada gula-gula manis dari NKRI, tetapi
ternyata tidak didapat, maka mereka memberontak, tetapi akhirnya terlanjur,
mereka maju kena, mundur kena, maka matilah mereka ditengah-tengah. Mereka dikenang
sebagai pahlawan Nasional Indonesia. Tetapi mereka tak dikenal dalam buku hati
orang Papua. Mereka tergolong penghianat bangsa.
Uang yang waktu itu diberikan
Belanda lewat Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia malahan digunakan untuk
membunuh, membujuk-rayu dan merusak orang Papua, sehingga setelah 25 tahun
kemudian, hasil pembangunan itu tidak juga nampak. Makanya, alasan yang sama
dipakai untuk memaksakan Otsus II bagi West Papua.
Dengan tidak terlalu sulit dapat
disimpulkan bahwa segala peristiwa yang melatarbelakangi, segala peristiwa yang
mengelilingi, serta segala peristiwa yang mengikuti kebijakan Otsus I dan Otsus
II di West Papua adalah SAMA, yaitu intimidasi, teror, manipulasi, rekayasa,
pengejaran, pengindoktrinasian, pemaksaan, dan pembunuhan dengan berbagai cara.
“Kalau alasan pemberlakuan kedua Otsus, metode pemberlakuannya, kleim yang
disampaikan atas kedua kebijakan dan proses pemberlakuannya sama, maka tidak
terlalu sulit bagi siapa saja untuk berkesimpulan bahwa hasil dari pemberlakuan
kedua Otsus itu adalah sama saja. “
Maka catatan Papua dalam Bagian
II buku ini tentang fenomena-fenomena Otsus adalah nyata dan benar adanya,
tidak dapat disangkal dengan dalih apapun juga. Pantaslah kalau orang Papua
membantah kleim-kleim NKRI yang dibuat-buat sendiri.
4.
POKOK-POKOK
SENGKETA BANGSA PAPUA
Sudah jelas, menurut orang Papua.
Orang Papua minta merdeka BUKAN karena ketidakadilan, keterbelakangan dan
kekerasan militer, perbedaan ras, dan sebagainya, TETAPI itu adalah tetapi
karena hak.
Orang Papua tidak melihat sebuah
masalah dalam hal mau menerima Otsus atau menolak. Pokok sengketa ada pada sejarah
West Papua, ada pada hal-hal yang jauh sebelum itu, jauh sebelum Orde Baru,
jauh sebelum G-30/S-PKI, yaitu jauh sebelum semua yang mendasari kebijakan
Jakarta, dan retorika politik elit politik Papua, pemimpin dunia, dan penguasa
di Jakarta.
Persoalannya mulai nampak sejak 1
Desember 1961, dalam Kongres Nasional West Papua I, 1961, peristiwa bersejarah
dalam sejarah Papua sebagai sebuah bangsa, dan sebagai sebuah entitas negara
yang terlepas dan berbeda dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
dimana telah terjadi peristiwa penting yang memperkenalkan, mengumumkan dan
mensahkan:
Pertama, West Papua sebagai nama
negara,
Kedua, Papua sebagai nama bangsa
Ketiga, Bintang Kejora sebagai
nama Bendera negara (bukan bendera kebudayaan)
Keempat, Burung Mambruk sebgai
lambang negara (bukan lambang kebudayaan) Dengan batas negara wilayah laut, darat dan udara,
(bukan sebagai sebuah provinsi NKRI)
Kelima, lagu Hai Tanahku Papua,
sebagai Lagu Kebangsaan (bukan lagu kebudayaan) sah sebagai sebuah negara, (atas nama demokrasi, HAM,
dan hukum universal) dan diakui oleh Belanda (yaitu
pemerintah yang sudah merdeka dan yang kebetulan ada di West Papua waktu itu)
Sejarahnya seperti ini:
… the Dutch Government in 1957
began a cooperation with Australia for the DEOLONISATION of their respective
colonies, namely The Territory of Papua & New Guinea (Australia) and The
Netherlands New Guinea (Dutch). [Artinya: Pemerintah Belanda pada
1957 mulai bekerjasama dengan Australia untuk men-dekolonisasi wilayah koloni
mereka masing-masing, namanya Wilayah Papua dan New Guinea (Australia) dan
Nederland Nieu Guinea (Belanda)]
Oleh karena itu, kita sebut
Kongres Nasional Papua (KNP) tahun 2000 dengan nama KNP II 2000. Namanya
sendiri sudah membuktikan dengan jelas, bahwa bangsa Papua tidak berfikir
sebatas kekerasan militer NKRI regime Orde Baru, dan karena kita ada dalam era
reformasi sehingga bikin kongres.
Fakta sejarah ini tidak dapat
dihapus dengan apapun juga. Dengan darah Theys, dengan darah Thom, dengan darah
Arnold Ap, dengan darah Yusup Tanawani, dengan darah William Onde, dengan darah
Obeth Tabuni, dengan darah Hans Bomay, dengan darah Laurenz Dloga. Semuanya
bukan menghapus ingatan sejarah ini, tetapi justru mencat kembali, menambah
terang tinta itu dan mendorong bangsa Papua untuk terus maju dengan tuntutan
kebenaran.
Belanda waktu itu secara resmi
mengumumkan untuk memberikan kemerdekaan tanggal 1 Juli 1970. Oleh karena
itulah, Operasi Papua Merdeka yang kemudian menjadi Organisasi Papua Merdeka
(OPM) memproklamirkan kemerdekaan West Papua tanggal 1 Juli 1971, setahun
setelah menunggu dan karena terbukti Belanda ingkar janji.
Hasil daripada kerjasama dan
kesepakatan dengan Australia di atas, terbentuklah Nieuw Guinea Raad seperti
diceritakan berikut :
On April 5, 1961, the Dutch
Government appointed Local Council Members, and in its Official Gazette No. 68
formalised the establishment of the West Papuan Council (Nieuw Guinea Raad) in
order to undertake all Representative and Legislative tasks. The Council later
the National Attributes of the West Papua State, namely: West Papua for the
Nation, The Morning Star for the National Flag, 'My Land of Papua' as its
National Anthem, and the whole colony of The Netherlands New Guinea became the
State's Territory.
[Artinya: Pada April 5, 1961,
Pemerintah Belanda mengangkat Anggota Dewan Setemppat, dan dalam Gazette
Resminya No.68 meresmikan pendirian Dewan West Papua (Nieuw Guinea Raad) untuk
menjalankan seluruh tugas-tugas perwakilan dan legislasi. Dewan ini kemudian
menjadi Atribut Nasional dari Negara West Papua, yaitu: West Papua sebagai
Bangsa, Bintang Kejora sebagai Bendera Nasional, ‘My Land of Papua’ sebagai
Lagu Kebangsaan, dan seluruh wilayah koloni Nederland New Guinea menjadi sebuah
wilayah Negara itu.]
Itu fakta sejarah, yang tidak
dapat ditukar dengan apapun juga yang ditawarkan Jakarta sebagai kekuasaan yang
menduduki West Papua.
“Oleh karena itulah, orang Papua bilang, jangan bertanya mau terima Otsus
atau tidak, tetapi pertanggungjawabkan kasus pembunuhan hak kebangsaan Papua
dan negara West Papua.”
Itulah sebabnya, dalam beberapa
kali wawancara Alm. Ondofolo Theys H. Eluay selalu bilang bangsa Papua
tidak dapat disamakan dengan Timor Timur (waktu itu). Karena perbedaannya yang
hakiki secara hukum internasional. West Papua sudah merdeka, dan sekarang hanya
menunggu pengakuan negara lain, yaitu pengakuan NKRI dan dunia. Dibandingkan
dengan Timor Lorosa’e, kasus teman-teman Melanesia di sana tetap menjadi
perhatian dunia walaupun mereka belum merdeka.
Berdirinya negara West Papua itu
tidak hanya diakui oleh Belanda dan orang Papua, tetapi Presiden Soekarno juga
mengakuinya dalam Trikora, yaitu menyangkut pokok sengketa KEDUA.
Secara terbuka di Alun-Alun Utara
kota Yogyakarta, tanggal 19 Desember 1961, setelah Indonesia mendengar bahwa
West Papua sudah dalam persiapan mengumumkan kemerdekaannya tanggal 1 Juli
1970, Soekarno yang ekspansionis-kolonialis itu mengumumkan apa yang disebutnya
Trikora (yaitu Tiga Komando Rakyat).
Tiga buah komando itu berbunyi :
Tiga buah komando itu berbunyi :
Bubarkan Negara Boneka Papua
buatan Belanda,
Kibarkan Bendera Merah Putih di
seluruh Irian Barat, dan
ersiaplah untuk mobilisasi umum
Tiga butir Trikora berkata begini:
Pertama: Negara Papua sudah ada,
tetapi Indonesia harus membubarkannya, karena Indonesia menganggapnya sebagai
negara boneka.
Dan, kedua: pembubaran itu
dilakukan dengan sebuah invasi militer alias dengan paksa.
Jadi, Soekarno dengan jelas
mengakui sudah ada negara saat maklumat Trikora tanggal 19 Desember 1961 itu.
Ia dengan jelas mengatakan bahwa ada negara yang hendak diinvasi NKRI secara
militer, dengan perintah pengibaran bendera NKRI dan persiapan perang semesta
dan negara itu bernama Papua.
“Artinya West Papua sudah diakui sebagai negara secara de jure. Bangsa Papua
sudah mengakui, Belanda sudah mengakui dan Soekarno sebagai presiden RI juga
sudah mengakui fakta hukum itu.”
Lalu
mengapa Soekarno memakai istilah negara "Boneka" Papua?
Jawabannya jelas klasik.
Pertama, karena Soekarno sebagai
pejuang kemerdekaan NKRI punya "dendam" dan kebencian politik
terhadap Belanda dan apa saja yang Belanda perbuat karena dipandangnya sebaga
kekuatan imperialisme dan kolonialisme. Itu pandangan secara obyektif. Kedua,
secara subyektif, Sukarno juga melihat Belanda yang tidak mau mempersiapkan
kemerdekaan Indonesia itu sedang mempersiapkan dan mengakui persiapan
kemerdekaan negara lain (West Papua).
Mengapa wilayah jajahan Belanda
yang bernama Indonesia harus mengorbankan jutaan nyawa dengan dana dan tenaga
yang tidak sedikit, dalam tempo waktu 350 tahun, sedangkan West Papua hanya mau
dikasih seenaknya saja tanpa pengorbanan apa-apa ?
Jadi, apa saja yang dibuat
Belanda dipandang secara negatif, termasuk negara Papua Barat disebutnya
sebagai "Negara Boneka".
“Entah boneka atau benaran tidaklah mengapa, karena nama itu diberikan
Sukarno, bukan oleh Belanda ataupun orang Papua sendiri. "Intinya adalah
Soekarno sudah mengakui ada negara yang bernama Papua (Barat)".
c.
KETIGA: The New York Agreement (15 Augustus 1962)
Setelah perdebatan yang alot
antara elit politik NKRI, terutama antara pihak nasionalis-ekspansionis
pimpinan Soekarno dengan pihak realis-humanis di bawah pimpinan Moh. Hatta,
akhirnya Bung Hatta mengundurkan diri karena politik Soekarno berbau
kolonialis, tidak sama dengan cita-cita kemerdekaan NKRI.
Walaupun Moh. Hatta memimpin
delegasi Indonesia dalam perundingan awal menyangkut West Papua, Moh. Hatta
mengundurkan diri karena politik Sukarno tidak sehat. Setelah itu, Soekarno
melanjutkan perundingan-perundingan dengan Belanda menyangkut status West Papua
karena Indonesia mengkleim bahwa West Papua adalah bagian integral Indonesia.
Ini salah satu bukti sikap Moh.
Hatta itu :
In 1949, the Round Table
Conference was held in The Hague, the Netherlands. In that conference the Dutch
were determined not to cede sovereignty over West Papua. The Indonesian
Nationalists simply claimed West Papua as PART OF INDONESIA, based on the Dutch
Colonial Map. The claim was strictly opposed by the leader of the Indonesian
delegation, Dr. Mohammad Hatta (then the Vice President of the Republic of
Indonesia and the Delegation Leader). Such opposition later cooled off his
relation with Soekarno.
[Artinya: Tahun 1949,
diselenggarakan Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda. Dalam konferensi
ini Belanda bersikeras tidak melepaskan West Papua. Nasionalis Indonesia
mengkleim West Papua sebagai bagian dari Indonesia, berdasarkan peta Kolonial
Belanda. Kleim Indonesia ini ditolak tegas oleh Ketua Delegasi Indonesia Dr.
Moh. Hatta (kemudian Wapres NKRI pertama dan Pemimpin Delegasi). Sikap
oposisinya seperti inilah yang mendinginkan hubungan dekatnya dengan Sukarno.]
Selanjutnya Hatta menyatakan:
"PERSOONLIJK WENS IK TE
VERKLAREN DAT WEST IRIAN MIJ NIETS KAN SCHELEN. IK ERKEN DAT OOK HET
PAPOEA-VOLK HET RECHT HEEFT EEN VRIJE NATIE TE WORDEN"
[Artinya: Secara pribadi, saya
mau menyatakan bahwa saya tidak punya urusan apa-apa dengan Irian Barat. Saya
menyadari bahwa orang Papua sebagai sebuah bangsa mempunyai hak untuk menjadi
sebuah bangsa yang merdeka.]
Begitulah sekilas riwayat
perundingan menyangkut West Papua, tetapi akhirnya, atas bantuan dalang AS
melalui Elsworth Bunker, AS berhasil membawa Belanda dan NKRI ke meja
perundingan. Dan perundingan-perundingan yang TIDAK melibatkan satupun orang
Papua atau wakil resmi bangsa Papua, yaitu Nieuw Guinea Raad itu menghasilkan
Perjanjian New York, 15 Agustus 1962.
· Mengapa AS mengirim Elsworth
Bunker? Atau
· Mengapa AS campur tangan ?
· Mengapa New York Agreement dan
bukan Den Haag Agreement atau Bandung Agreement atau lainnya?
Alasan yang jelas, waktu
itu Sukarno pandai memanfaatkan konflik perang dingin melawan komunisme.
Sukarno mendrop pasukan Trikora, yaitu masyarakat sipil dan anggota tentara
Indonesia, termasuk kapal-kapal perang buatan Uni Sovyet. Seperti Sukarno tidak
enak tidur gara-gara pengakuan negara West Papua 1 Desember 1961 dan mengeluarkan
dektrit Trikora, sekarang J. F. Keneddy mendapat giliran mimpi buruk. Poros
Jakarta - Pyong Yang – Peking – Moskwa membuat J.F. Keneddy mengambil langkah
hidup-mati.
Sukarno telah melanggar prinsip
politik luar negeri Indonesia, yaitu politik yang bebas dan aktif dengan poros
ini, karena ia jelas-jelas berpihak pada Blok Timur. Tetapi hasilnya jelas,
yaitu membuat Kennedy (pemimpin Blok Barat) turun tangan. Dan ia berhasil,
yaitu Elsworth Bunker diutus secara khusus menjadi sutradara penyelesaian
sengketa dan berhasil membawa NKRI dan Belanda ke New York dan akhirnya jadilah
"The New York Agreement" tanggal 15 August 1962.
Perjanjian inilah yang menjadi
patokan utama dalam penentuan nasib bangsa Papua selanjutnya. Tetapi pertanyaan
orang Papua adalah :
·
Mengapa masalah yang sangat
menentukan masa depan sebuah bangsa dan
negara ditentukan oleh AS melalui
E. Bunker ?
·Bukankah yang berwenang mengatur
masa depan bangsa dan negara yang
sudah diakui secara de jure adalah PBB ?
· Mengapa tidak satupun orang Papua
atau wakilnya dilibatkan, dikonsultasikan
atau diikutsertakan untuk melihat
saja, kalau tidak dapat terlibat, dalam semua
proses ini ?
Persekongkolan ini telah
melahirkan malapetaka bagi bangsa Papua dan Negara West Papua.
Ditambah lagi, rupanya AS tidak
hanya mau meraih untung secara politis, yaitu menang dalam perang dingin. Ia
punya ambisi mengeruk kekayaan Bumi Cenderawasih dengan menendang Belanda
keluar. Surat Rahasia J.F. Keneddy yang memaksa Belanda menyelesaikan konflik
dengan Indonesia secara damai adalah bukti ada niat lain juga di balik campur
tangan AS dalam masalah West Papua.[1][1][xvii] Tandatangan Kontrak Karya penambangan Freeport – NKRI 7 April 1967
adalah buktinya.
AS menjamin dukungan dana melalui
Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia untuk membangun West Papua, yaitu untuk
menggenapi rencana Papua-nisasi Belanda dalam kaitan rencana Belanda
mempersiapkan kemerdekaan West Papua. Dengan demikian Belanda percaya bahwa
sekutunya dalam perang melawan komunisme itu akan melaksanakan janjinya. Dalam
hal ini Sukarno-Keneddy berhasil.
Hasilnya lahirlah The New York
Agreement 15 August 1962.
TIDAK ADA SATUPUN wakil atau
orang dari West Papua yang dilibatkan, atau dikonsultasikan atau diikutsertakan
saja dalam segala babak perundingan, rancangan, pembahasan dan penandatanganan
The New York Agreement ini. Negara dan bangsa yang menjadi subyek hukum New
York Agreement atau yang dipersengketakan secara politik tidak dilibatkan sama
sekali. Malahan negara yang mempersengketakan dan negara yang tidak ada sangkut
paut dengan sengketa itu yang terlibat menandatangani perjanjian itu.
Karena itulah generasi baru
orang Papua katakan kepada regime Mega-Hamzah :
Masalahnya bukan pada bangsa
Papua mau menerima Otsus atau tidak. Dan bukan masalah kalau menerima, maka
kita hapus huruf "M" dan kalau menolak berarti kita hapus huruf
"O". Masalahnya bukan juga pada regime Orde Baru membunuh banyak
orang Papua, bertindak tidak adil dan masa reformasi sekarang lebih demokratis,
lebih menghargai HAM dan mau menegakkan hukum, dan karena itu orang Papua harus
terima Otsus.
“ Pokok sengketanya bahwa adalah orang Papua
merasa masih ada masalah yang lebih penting, yang berskala internasional,
yaitu menyangkut prinsip demokrasi, prinsip HAM, dan prinsip hukum universal,
yang lebih pokok tetapi ditutup begitu saja.”
“Makanya NKRI tidak bisa menawar nilai Otsus dengan harga dan nilai
kebangsaan Papua dan negara West Papua karena keduanya tidak terkait, tidak
saling mendukung dan tidak saling menghambat. Aspirasi "M" punya akar
berbeda, dan tawaran "O" hal yang tidak dapat dikaitkan dengannya.”
1)
The ‘Secret’ Memorandum of Rome
Dalam buku WestPaC-AMP[1][1][xx] tertulis isi dari Memorandum ini :
Possibility to delay or to cancel
The Act of Free Choice set for 1969 by the New York Agreement.
(Artinya : Kemungkinan
menunda atau membatalkan Pepera 1969 sesuai Perjanjian New York)
Indonesia to occupy West Papua
for 25 (twenty five years only, commencing May 01, 1963)
[Artinya : Indonesia akan
menduduki West Papua selaam 25 tahun (duapuluh lima tahun saja, mulai dari 1
Mei, 1963]
The execution of the 1969 Act of
Free Choice would be carried out based on the Indonesian parliamentary
'musyawarah' (deliberation) practices.
[Artinya : Pelaksanaan 1969
Penentuan Pendapat akan dijalankan berdasarkan cara Indonesia ‘musyawarah’.]
U.N.'s final report on the
implementation of The Act of Free Choice to the UN General Assembly had to be
accepted without open debate.
[Artinya : Laporan akhir PBB
atas implementasi Pepera kepada SU PBB harus diterima tanpa perdebatan terbuka]
The USA to make investment
through Indonesia state-owned companies for the exploitation of Natural
Resources in West Papua.
[Artinya : AS membuat
investasi melalui BUMN Indonesia untuk eksploitasi sumberdaya alam di West
Papua]
USA guaranteed Asian Development
Bank US$ 30 Million to UNDP for the development of West Papua for 25 years.
[Artinya : AS menjamin lewat
Bank Pembangunan Asia dana sebesar US$20 Juta kepada UNDP untuk pembangunan di
West Papua selama 25 tahun].
USA to guarantee the World Bank
plan and implement Transmigration of Indonesians to West Papua.
[Artinya : AS menjamin
rencana Bank Dunia dan menerapkan Transmigrasi orang Indonesia ke West Papua].
Rancangan ini kemudian menjadi
sebuah Pernyataan Bersama, dengan nama The Rome Joint Statement. Menarik untuk
dilihat bahwa apa yang dirancang itu akhirnya dimaklumkan kepada dunia dan
dengan demikian secara hakiki merobah prinsip-prinsip fundamental dari The New
York Agreement.
2)
The Rome Joint Statement
Cerita pelanggaran hak sebuah
bangsa dan negara tidak hanya sampai di New York, tetapi berlanjut ke Eropa
dengan nama The "Secret" Memmorandum of Rome (atau NKRI dokumen itu
berjudul The Rome Joint Statement) [1][1][xxii], yang kembali dirancang oleh AS lewat E. Bunker, dibicarakan antara NKRI,
Belanda dan AS. Sekali lagi, dari permulaan sampai akhir (penandatanganan)
memorandum rahasia ini TIDAK MELIBATKAN, tidak dikonsultasikan dan tidak
dilakukan bersama, di hadapan seorang Papua atau wakil orang Papua-pun.
Yang mengherankan, isi The Rome
Joint Statement (Pernyataan Bersama) ini secara mendasar dan secara sepihak
merubah hal yang sangat prinsipil dalam New York Agreement, yaitu tatacara
pelaksanaan Pepera.
Dalam Pasal 22 The New York
Agreement tentang Hak-Hak Penduduk Setempat dinyatakan:
The UNTEA and Indonesia will guarantee fully the rights, including the
rights of free speech, freedom of movement and of assembly, of the inhabitants
of the area. …
[Artinya: UNTEA dan Indonesia
akan menjamin sepenuhnya hak-hak, termasuk hak untuk kebebasan berbicara,
kebebasan bergerak dan berkumpul dari penduduk wilayah setempat.]
Menyangkut hal ini, dalam
Disertasi Doktoralnya, seorang akademisi Inggris, Dr. John Saltford mengatakan :
A brief examination
of the official November 1969 report is all that is needed to conclude that the
Agreement was not fulfilled. Under its terms, the Netherlands, Indonesia and
the UN had an obligation to protect the political rights and freedoms of the
Papuans, and to ensure that an act of self-determination took place, in accordance
with international practice. On both these points, the three parties failed,
and they did so deliberately since genuine Papuan self-determination was never
seen as an option by any of them once the Agreement was signed.
[Artinya: Hanya kajian singkat
terhadap laporan pejabat PBB tahun 1969 sudahlah cukup untuk tiba pada
kesimpulan bahwa Agreement itu tidak dipenuhi. Atas persyaratan yang
ditandatanganinya sendiri, pihak Belanda, Indonesia dan PBB bertugas untuk
melindungi hak politik dan bebebasan orang Papua, dan untuk memastikan bahwa
hak penentuan nasib sendiri berjalan, sesuai dengan praktek internasional.
Dalam kedua pokok ini, ketiga belah pihak telah gagal, dan mereka gagal dengan
sengaja karena mereka tak pernah beranggapan bahwa penentuan pendapat yang
sesungguhnya adalah sebuah pilihan setelah mereka membubuhkan tandatangan pada
Agreement itu.]
Di bagian lain buku ini sudah
dibilang bahwa ada dua babak Otsus di West Papua, yaitu Babak I dan Babak II.
Memorandum Roma dan Pernyataan Bersama Roma inilah RUU dan UU Otsus I, yang
secara mengherankan tidak melibatkan orang Papua. Otsus I ini berjangka waktu
25 tahun, yaitu 1863-1988. Inilah dasar hukumnya sampai Alm. Dr. Thomas Wapai
Wainggai memproklamirkan kemerdekaan lagi 14 Desember 1988. Jadi, Rumkorem-Prai
memproklamirkan Papua Merdeka 1 Juli 1971 berdasarkan janji Belanda 1 Juli
1970. Setelah itu Wainggai juga melakukan hal yang sama berdasarkan janji
Memorandum/Kesepakatan Roma. Keduanya dalam konteks menggenapi janji-janji pihak
asing, walaupun tanpa orang Papua dilibatkan dalam janji-janji itu.
Memorandum/ Kesepakatan Roma ini
selain rahasia, isinya penuh dengan skandal. Skandal pertama tidak melibatkan
orang Papua. Skandal kedua yang lebih parah yaitu pasal-pasal inti dari The New
York Agreement 15 August 1962 dirubah secara sepihak.
Di mana skandal itu terjadi ?
Di sinilah tempatnya, yaitu di
Roma, tanggal 20-21 Mei 1969, sekitar sepulu minggu sebelum Pepera yang dimulai
14 Juli 1969. Dalam pada itu, sistem Pepera disepakati sbb.:
The Netherlands Ministers took
careful note of the Indonesian position on these points and of the arguments on
which the Indonesian Government based its choice of the "Musyawarah"
system. Furthermore Mr. Luns and Mr. Udink noted with great interest the
Indonesian Foreign Minister's statement concerning his Government's particular
attention to the special requirements of West Irian.
[Artinya: Menteri Luar Negeri
memperhatikan dengan saksama posisi Indonesia dalam hal-hal ini dan tentang
argumen-argumen yang melandasi pilihan Pemerintah Indonesia atas sistem
"Musyawarah". Lebih Lanjut Pak Luns dan Pak Udink memperhatikan
dengan perhatian penuh pernyataan Menlu Indonesia tentang perhatian khusus
Pemerintah’nya atas kebutuhan-kebutuhan khusus dari Irian Barat.]
Pernyataan ini terjadi tanpa PBB,
secara rahasia antara Belanda dan Indonesia. Walaupun dalam teks terdahulunya
New York Agreement menyatakan cara Pepera dengan pola one-man, one-vote alias
satu orang satu suara, versi Agreement dimaksud yang sedang beredar di
seluruh dunia berbunyi musyawarah sebagai cara menjalankannya. Perubahan
mendasar redaksional ini terjadi di The Rome Joint Statement.
Skandal ketiga walaupun isi New
York Agreement disiarkan secara terbuka kepada orang Papua, isi Memorandum Roma
sama sekali ditutup. Jadi, selain rapatnya rahasia, hasil rapat itu juga
dirahasiakan. Sampai hari ini tidak dibukukan dalam dokumen resmi manapun juga.
Jadi, orang Papua sebenarnya
sudah bersabar walaupun mereka tahu hubungan West Papua – NKRI sarat dengan
dosa-dosa bangsa lain terhadap bangsa dan negara yang sudah diakui tanggal 1
Desember 1961. Otsus I di West Papua dijalankan penuh dengan lumuran darah.
Alam West Papua sudah diobrak-abrik, dan kandungannyapun sudah digali keluar.
Barang-barang itu bukan dibawa ke Jakarta, tetapi ke luar negeri.
“Itulah sebabnya orang Papua bertahan pada posisi yang lebih hakiki, yang
berakar pada harga diri sebuah bangsa dan negara daripada sekedar menerima atau
menolak Otsus. Itulah sebabnya bangsa Papua mau AS dan Belanda menjelaskan
peranan mereka, tidak sekedar mau terima kebijakan NKRI atau tidak. Karena
kasus ini tidak hanya menyebabkan malapetaka bagi orang Papua, tetapi juga
telah memulai sebuah episode pencatatan nama dan nilai rapport Merah bagi NKRI.”
NKRI dipaksa memenuhi janji dalam
memorandum Roma ini, dan akibatnya harus memberi jaminan keamanan bagi kegiatan
"pembangunan" di West Papua. Akibatnya pelanggaran HAM di West Papua
dalam rangka mengamankan aset dan operasi ekspoloitasi perusahan asing di West
Papua selalu disoroti dengan keras. Akibatnya bukan diderita oleh negara yang
membawa lari kandungan alam West Papua, tetapi orang yang disuruh jaga dapur
mereka itu, yaitu NKRI.
Makanya
orang Papua bilang :
“Mega-Hamzah persoalannya bukan
karena orang Papua menerima atau menolak Otsus, tetapi lebih penting lagi kami
mau membantu NKRI terlepas dari jerat dan lumpur kapitalisme yang sudah
merajalela di segenap wilayah Nusantara. Karena antara West Papua dan
NKRI dapat menyelesaikan masalahnya secara ke-Timur-an dan kekeluargaan, tetapi
ada pihak lain yang menodong kita berdua. Dan kita bersama harus melawannya.”
Salah satu hasil The Joint Rome
Agreement itu adalah penyerahan wilayah West Papua dari Belanda kepada NKRI
lewat UNTEA, dan dilaksanakan secepat-cepatnya. Peristiwa itu terjadi 1 Mei
1963.
Peristiwa ini terjadi lima tahun
lebih dulu daripada PEPERA 1969 yang akan menentukan keputusan orang Papua
apakah mau bergabung dengan NKRI atau mau berdiri sendiri sesuai dengan
deklarasi 1 Desember 1961.
Dalam Perjanjian New York
dijelaskan dua tahapan pengalihan kekuasaan, seperti dilihat dalam Terjemahan
Paper Indonesia di Pasal sebelumnya, yaitu bahwa tahapan pertama dimulai
"Dari 1 Oktober 1962 hingga 1 Mei 1963. Dalam tahap ini, pegawai Belanda
digantikan oleh non-Belanda dan non-Indonesia. Pada tahap kedua, Administrasi
UNTEA diimplementasikan dengan mempertimbangkan perkembangan lokal dan waktu
pemberlakuan tahap kedua ini tidak dibatasi. PBB menemukan waktu yang tepat,
UNTEA akan menjalankan transfer tanggungjawab administrasi kepada Indonesia.
Padahal kalau kita lihat, tanggal
1 Mei 1963 adalah waktu berakhirnya Tahap Pertama tadi. Tetapi sebelum Tahap
Kedua dijalankan, wilayah itu sudah diserahkan kepada NKRI.
·
Apakah mereka tidak mengerti redaksi The New York Agreement ?
·
Apakah mereka salah menghitung waktu ?
·
Ataukah memang ada manuver-manuver politik NKRI yang dikenal kotor itu ?
“ Ini pokok persoalan utama kelima, yang sampai detik
ini masih diingat, masih dituntut dan masih disengketakan orang Papua. Karena
itu pemaksaan Otsus sebagai pengganti aspirasi "M" dengan jelas-jelas
tidak ada korelasi dan tidak ada relevansinya dengan skandal perjanjian
rahasia, di luar koridor hukum yang diadakan antara Belanda dan Indonesia.”
Inilah jangka waktu pelaksanaan
Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di West Papua.
Sengketa pertama di sini adalah
bahwa Pepera 1969 itu dilaksanakan atas dasar The New York Agreement yang di
dalamnya tidak ada konsultasi dalam bentuk apapun dengan orang Papua atau wakil
bangsa Papua. Ditambah lagi, pelaksanaan Pepera itu sendiri tidak sesuai dengan
seluruh bunyi dan pasal dalam perjanjian yang mereka sendiri tandatangani itu.
Contoh yang paling menonjol adalah prinsip satu orang satu suara (one-man
one-vote) seperti tertera dalam The New York Agreement (15 Agustus1962),
kemudian dirubah menjadi musyawarah (dalam diskusi awal 1962) dan dalam
penandatanganan The Rome Joint Statement (20-21 Mei 1969).
Kemudian orang yang dilibatkan
dalam Pepera (termasuk Alm. Dortheys H. Eluay sebagai orang kunci Dewan
Musyawarah Pepera - DMP) bukanlah Wakil Rakyat Papua yang sudah dipilih secara
demokratis, yaitu anggota Nieuw Guinea Raad. NKRI membentuk Dewan sendiri yang
bernama DMP (Dewan Musyawarah Pepera) dan menunjuk hanya 1,025 orang untuk
secara paksa setuju untuk bergabung dengan NKRI.
Inilah kleim NKRI dalam papernya
menyankut Pepera :
The New York Agreement did not
specifically stated the procedure and method of the implementation of the act
of free choice. Therefore, the appropriate means that was suitable to the level
of social, economic, and cultural development and the geography of West Irian
needed to be established. This was due to the fact that the New York Agreement
did not require the implementation "one man, one vote" system on the
act of self determination. There was no engineering involved and no cause for
suspicion, for the reason that according to international law, there was no
obligation that an act of self determination had to apply a "one man, one
vote" system.
[Artinya: Perjanjian New York
tidak secara spesifik menyebutkan prosedur dan metode implementasi penentuan
pendapat rakyat. Oleh karena itu, cara yang tepat yang cocok mengingat tingkat
perkembangan sosial, ekonomi dan budaya dan geografi Irian Barat perlu
ditetapkan. Hal ini karena buktinya Perjanjian New York tidak membutuhkan
implementasi sistem "one-man, one-vote" dalam Pepera ini. Tidaka ada
rekayasa yang dilibatkan dan tidak ada alasan untuk curiga, atas alasan bahwa
sesuai dengan aturan internasional, tidak ada keharusan bahwa Pepera harus
dijalankan dengan sistem "one man, one vote]
Maka dengan kleim itu, NKRI
menganggap Pepera adalah solusi final buat status politik West Papua.
Kita
perlu tanya dua hal sekarang :
· Dapatkah sebuah penentuan pendapat rakyat yang
seratus persen berpihak kepada satu pihak itu disebut sebuah proses
demokratis ?
·
Dapatkah Suharto menjalankan sebuah proses Pepera
yang demokratis? Kalau orang Indonesia sekarang menganggapnya diktator, mengapa
mereka tidak bisa mengerti bahwa Pepera 1969 juga penuh dengan kekerasan
militer ?
Bukan itu saja, nama Pepera itu
sendiri tidak pernah ada dalam kamus hukum dan politik manapun juga di dunia
ini. Tetapi dalam kasus West Papua, isitilah yang tidak memenuhi syarat hukum
ini dipakai.
·
Apakah karena mereka orang
kanibal, primitif, di zaman batu dan karena itu tidak perlu menggunakan istilah
baku ?
·
Apakah istilah yang tidak baku
secara hukum ini dapat dijadikan sebagai dasar bagi NKRI untuk menjajah West
Papua ?
· Apakah Pepera yang penuh dengan
rekayasa itu bisa menjadi dasar untuk membunuh orang Papua dan menggali
kekayaan alamnya ?
“ Oleh karena itulah, orang Papua tidak mau
bersoal-jawab kekanak-kanakan tentang.” “Terima Otsus apa nggak?” dan “Kalau terima nggak merdeka ya ? atau "Kalau nolak kamu merdeka ya?”
Ini sama sekali bukan
persoalannya. Dan sama sekali tidak ada kaitan dengan pokok sengketa bangsa
Papua dengan NKRI. Pokok sengketanya masalah HAM,
hukum dan prinsip-prinsip demokrasi yang universal, bukan sesempit hubungan
West Papua di dalam NKRI dan terima atau menolak Otsus.
Pepera 1969 menjadi dasar bagi
NKRI untuk mengkleim keputusan bangsa Papua dan negara West Papua ke dalam
NKRI, dan Resolusi SU No. 2504 (XXIV) tanggal 19 November 1969 sebagai
alasan hukum untuk menduduki, mengeksploitasi, membunuh, memperkosa, menyiksa,
menangkap, menghukum dan apa saja atas bangsa dan Tanah Papua.
“ Proses yang penuh dengan rekayasa dan sarat dengan skandal itu membuahkan
skandal selanjutnya, yaitu secara sepihak SU PBB tidak membahas, tidak
menanyakan kepada wakil bangsa Papua ataupun kepada bangsa lain dan menerima
hasil Pepera 1969 di West Papua. Malahan amandemen 15 negara
Afrika yang dipimpin Ghana atas resolusi ini ditolak mentah-mentah.”
MAKA JELASLAH DISINI, bahwa:
Selain Perjanjian New York, The Rome Joint Statement (Memorandum of Rome),
penyerahan West Papua ke tangan NKRI, Trikora yang penuh dengan skandal,
resolusi 2504 (XXIV) itupun secara de jure tidak pernah menghapus
status West Papua sebagai wilayah dekolonisasi dan mengakuinya sebagai bagian
dari NKRI. Walaupun secara de facto NKRI ada sampai hari ini, secara
de jure sama sekali tidak sah. Karena itu Indonesia sedang menjajah
bangsa dan negara yang masih dalam status dekolonisasi.
Itulah sebabnya, orang Papua
melihat kasus dan konflik NKRI-West Papua :
Bukan konflik antara menerima Otsus atau menolak, bukan masalah menerima “M” berarti “O” ditolak dan menerima “O” berarti “M”
batal. Bukan berarti mereka yang menerima
“O” pro-integrasi, yaitu musuh orang Papua dan yang menolak musuh NKRI . Sama sekali tidak. Ini pertentangan yang dangkal, politik yang sempit, dan
mandul. Tetapi inilah dasar yang NKRI gunakan untuk menjajah dan mengatur West
Papua serta memaksakan Otsus dengan intimidasi, teror dan pembantaian.
Jelaslah bahwa kasus pelanggaran
HAM berupa pemerkosaan, penyiksaan, ketidak-adilan, keterbelakangan, kekerasan
militer era orde baru BUKAN POKOK SENGKETANYA. Pokoknya jauh lebih parah dan
lebih hakiki.
“Jadi, pokok persoalannya adalah kasus pelanggaran HAM, pelanggaran prinsip
demokrasi dan hukum internasional yang lebih parah, terarah di dunia, yaitu
tragedi pembunuhan hak kebangsaan dan hak bernegara bangsa Papua dan negara
West Papua.”
Jadi apa yang mendasari atau
menjadi patokan paksaan Otsus di West Papua adalah limbah politik kotor tahun
1960-an dan politik kotor 2000-2001 sebagai hasil konspirasi internasional yang
sarat dengan skandal moral kemanusiaan, demokrasi dan hukum.
TIDAK ADA KATA MUNDUR DALAM PERJUANGAN WEST PAPUA
(‘’’Tidak Ada Kata Batal Untuk Kemerdekaan Rakyat
Bangsa Papua Barat’’’)
SALAM PEMBEBASAN WEST PAPUA “Tuhan Memberkati Kita
Semua”
Penulis adalah Anggota AMP ALIANSI
MAHASISWA PAPUA Tinggal di Jawa.
0 thoughts on “ALASAN INDONESIA MEMPERTAHANKAN WEST PAPUA, SEBAGIAN DARI INDONESIA ”