Foto: Zebulon Gobay /Foto: Majalahselangkah.com |
Opini, (KM)-- BELUM lama ini, lembaga TI (Transparansi Internasional) telah merilis data yang cukup mencengankan. Menempatkan Indonesia pada peringkat 114 di dunia dari 177 negara dalam indeks presepsi korupsi tahun 2013. Peringkat ini sesungguhnya mengalami penurunan empat digit ketimbang tahun 2012, dimana posisi Indonesia berada di urutan 118.
Yang membuat miris, kasus korupsi ini ternyata lebih banyak melibatkan para politisi di parlemen atau pun partainya. Artinya, mereka menjadi penyumbang terbesar tindak pidana korupsi di tanah air. Di lain pihak, dalam rilis “Global Corruption”, barometer 2013 di bulan Juli lalu, sektor politik dan parlemen menduduki peringkat ke 2 (dua) dengan skor 4,5 dengan status sebagai sektor tindak korupsi dan skor nilai yang berarti sangat korupsi.
Disini sektor politik berbanding dengan kepolisian yang menempati angka 4,5 dan sektor hukum berada pada angka 4,4. Pertanyaanya, mengapa sektor politik terlalu dominan sebagai penyumbang angka korupsi terbesar di negara ini. Salah satu jawaban singkat adalah karena biaya politik di negara ini sangat tinggi.
Contoh kasus, untuk menjadi anggota DPR RI atau DPRD, seorang calon incumbent harus menyiapkan dana antara 2 miliar hingga 20 miliar rupiah. Itu pun dengan berbagai kategori. Namun, untuk biaya pemeliharaan sebagai publik figur, ternyata biaya yang harus dikeluarkan jauh lebih besar karena tingkat popularitasnya sudah dikenal masyarakat. Atau karena berhubungan dengan banyak orang.
Namun bagi calon pendatang baru yang belum dikenal publik, sudah tentu biaya politik (politic cost) yang harus dikeluarkan jauh lebih besar. Apa lagi untuk kategori pengusaha yang ingin menjadi anggota DPR maupun DPRD, tentu biaya politiknya jauh lebih besar pula. Begitu juga untuk menempati jabatan kursi presiden, para pengamat ekonomi mengatakan, seorang yang ingin menjadi presiden setidaknya harus menyiapkan dana sekitar 60 miliar sampai 70 miliar rupiah. Bahkan ada yang lebih.
Tentu dana tersebut sangat mencengankan! Meskipun demikian, masih banyak orang-orang kaya di Indonesia yang menganggap ‘bukan apa-apa’ soal biaya politik itu dalam rangka memenuhi ambisi merebut kursi presiden. Namun, gara-gara biaya politik yang tergolong mahal, setelah menempati jabatan politik, tak jarang mereka melakukan tindak pidana korupsi untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan saat kampanye.
Baik sebagai anggota DPR, DPRD provinasi dan kabupaten/kota, gubernur, bupati/walikota hingga presiden. Kondisi inilah yang terus terwariskan hingga akhirnya berdampak negatif penggerogotan sistem politik dan sistem pemilihan umum (pemilu) langsung yang mengandalkan suara terbanyak. Lantas, apakah itu artinya korupsi tak akan pernah surut dari negeri ini? Belum tentu.
Pertanyaan demikian sempat dilontarkan Yanto Prawironegoro, senior LPP-RRI dalam membacakan komentarnya (04/12/2013). Karena itu, di masa mendatang perlu ada upaya-upaya perbaikan sistem pemilu yang lebih efisien dan efektif agar tidak menjadikan pemilu sebagai ‘embrio’ tumbuh sumburnya korupsi di negeri ini.
Dari hasil survei indeks korupsi, paspor yang dimiliki Indonesia untuk sikap anti-korupsi hanyalah 32. Sedangkan rata-rata negara lain adalah pada angka 40-an. Artinya, posisi Indonesia masih berada di level negara terkorup di dunia. Sama halnya dengan Mesir yang juga korup. Sementara Etiophia dan Tansania yang berada di benua Afrika, ternyata skornya lebih tinggi dibanding Indonesia.
Meski begitu, Indonesia bersyukur karena masih lebih baik dari Timur Leste yang ternyata lebih korup. Dari indeks persepsi korupsi itu, institusi yang paling disoroti adalah birokrasi negara dan kaitannya dengan pejabat publik maupun politisi. Sebut saja nama Akil Mochtar (ketua Mahkamah Konstitusi), Joko Susilo (dari Mabes Polri), Andi Malarangeng (mantan Menpora), dan Rudi Rubiandini (ketua SKK Migas). Mereka adalah para pejabat publik.
Dari kalangan politisi di Senayan, ada tindak pidana korupsi pada nama Angelina Sondakh, Mohamad Nasaruddin, Lutfi Hasan Ishak, Soelkarnaen, Panda Nababan dan Ander Muis. Anehnya, ketika KPK dan kejaksaan makin progresif memberantas kasus korupsi, ternyata aktornya makin beragam. Alias tak hanya berasal dari kalangan pejabat tinggi atau kelompok elit.
Pada level pejabat rendah seperti pak lurah dan bendahara lurah, perilaku korupsi juga marak dipraktekan. Di DKI (daerah khusus ibukota) Jakarta misalnya, mantan lurah pulau Gadung DI dan lurah Cegel FFL dan para bendahara dari kedua kelurahan tersebut juga turut menjadi tersangka.
Dalam kaitan dengan kasus tersebut, pejabat kejaksaan sedang memeriksa lurah Kayu Putih dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Cahya Purnama (Ahoc), yang biasanya bicara keras sampai-sampai mau minta pengampunan atau amnesti kepada negara. Soalnya banyak lurah yang tercium mempraktekan korupsi kecil-kecilan.
Pophy dalam bukunya menulis “Confront in corruption the national elements was integrated system”, bahwa perilaku korup dimulai dari korupsi kecil-kecilan. Di Indonesia korupsi kecil-kecilan memang jamak terjadi dalam beragam istilah seperti, uang pelicin, uang semir, uang rokok, uang kopi dan lain-lain. Namun istilah-istilah itu merujuk pada tindakan suap atau sogok!
Menurut Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), semuanya termasuk dalam kelas gratifikasi. Yakni semacam tindakan pemberian balas jasa atau sebagai rasa terima kasih dari pemberi gratifikasi. Tak heran bila perilaku ini begitu lumrah dan sering terjadi di banyak instansi yang langsung berurusan dengan kepentingan publik.
Istilah uang pelicin, uang semir, uang rokok, uang kopi, uang tips atau apa pun sebutannya, dianggap biasa bagi aparat pelayan publik dan juga bagi masyarakat sebagai pemberinya. Malahan justru terkadang aneh bila ada pelayan publik yang menolak diberi uang semacam itu. Apa lagi ketika dibumbuhi istilah TST alias tau sama tau atau ‘tong sama-sama su baku tau’.
Karena itu, strategi pemberantasan korupsi di Indonesia mestinya bukan lagi sebatas tindakan represif tingkat tinggi. Namun harus mengikis perilaku korupsi kecil-kecilan yang ternyata jamak dan banyak terjadi di masyarakat kita. Ini agar akar yang kecil-kecil itu tak lagi menjadi kebiasaan buruk atau kejahatan besar di kemudian hari.
Dalam konteks Tanah Papua saat ini, hampir semua pejabat publik dan politisi di level provinsi, kabupaten/kota, rata-rata sudah tersangkut-paut tindak korupsi. Bahkan meskipun KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sudah sering mencocok hidung para pelaku, toh korupsi kian hari kian subur dan mengakar bak gurita raksasa.
Pihak Kejaksaan Tinggi Papua bahkan sempat menyatakan kalau kasus korupsi di Papua paling tinggi dibanding daerah lain di Indonesia. Sementara data Kepolisian Daerah (Polda) Papua juga menunjukan, ada semacam trend peningkatan kasus korupsi. Tingginya angka korupsi di daerah ini tampak dari banyaknya kasus yang ditangani kedua institusi penegak hukum itu.
Terlepas dari persepsi banyak pihak yang masih merasa belum puas dengan kinerja aparat dalam memburu para koruptor, terutama koruptor kelas kakap. Bagaimana pun, kiprah dari kedua instansi penegak hukum tersebut patut diacungi jempol. Sebab mereka telah membuat sejumlah lembaga pemasyarakatan (lapas) di Papua makin dipenuhi para tahanan- narapidana korupsi yang notabe pencuri uang rakyat!
Yang namanya pencuri uang rakyat, sebagian besar berasal dari kalangan birokrat maupun anggota dewan papan atas. Mengutip komentar RRI Nasional yang disiarkan RRI Jayapura belum lama ini saat peringatan hari Anti-Korupsi se-Dunia (9 Desember 2013), korupsi memang sulit dibuktikan! Namun perubahan gaya hidup (life style) yang ditampilkan secara mencolok dikalangan para pejabat dan kroni-kroninya, dapat diindikasikan adanya perilaku ‘tidak beres’ itu.
Sejak Otonomi Khusus (Otsus) Papua bergulir 2001 silam, para pejabat eksekutif dan legislatif, termasuk kaum pengusaha lokal banyak yang menghabiskan biaya hidup dengan berpenampilan serba eksklusif. Terbang melanglang-buana, mondar-madir ke Jawa (Jakarta) dan daerah lain hanya dalam sekejap. Bahkan hingga pergi ke luar negeri dengan dalih studi banding demi perbaikan daerah dan masyarakatnya.
Dalam rutinitas itu, mereka sering menginap di hotel-hotel berbintang (berkelas) dan menyewa mobil mewah. Berfoya-foya dengan para wanita berparas cantik dan bertubuh seksi, hingga menikmati suguhan makanan dan minuman berkelas internasional. Karenanya, perilaku mereka hampir tak jauh berbeda dengan raja-raja (konglomerat) minyak, kalangan eksekutif perusahaan besar hingga para selebritis.
Sementara pada realitas lain, ada kehidupan yang kontras dan sangat bertolak belakang! Masyarakat Papua akar rumput (masyarakat akar keladi dan pohon sagu) yang seharusnya diberdayakan oleh kalangan elit papan atas mereka, hampir tak pernah tersentuh agar kehidupan mereka bisa sejahtera. Praktis hanya elit-elit mereka yang berada di level birokrasi-pemerintahan yang tetap hidup dalam serba kemewahan (luxuries).
Ketua KPK Abraham Samaad, dalam suatu kesempatan pernah melontarkan kesannya yang aneh atas Papua. Baginya, perilaku korupsi di Papua ternyata memiliki fenomena yang aneh. Keanehan itu terlihat dari sikap masyarakat akar rumput yang cenderung membela pejabat atau kepala daerahnya yang tersandung kasus korupsi. Padahal uang hasil korupsi itu lebih banyak dinikmati sendiri oleh perjabat mereka.
Ketika sang pejabat hendak ditangkap gara-gara perilaku rakus yang punya bau korupsi, para pejabat dapat memprovokasi masyarakat atau kelompok anak muda untuk melakukan aksi demo terhadap aparat/institusi penegak hukum yang bermaksud menangkap si pejabat. Tentu saja, kesan sang ketua KPK itu tak sepenuhnya benar. Meski tak bisa dipungkiri bahwa memang ada banyak kasus seperti itu.
Tanah Papua dengan beragam embel-embel plus-minusnya memang unik, bahkan aneh di mata orang luar. Bukan hanya karena alamnya yang menyimpan beragam pesona keunggulan. Seperti dilukiskan sebagai ‘surga kecil’ yang jatuh ke bumi dalam syair lagu ciptaan penyanyi Frangky Sahilatua yang terdengar merdu dinyanyikan dua penyanyi Papua Edo Kondologit dan Wilson Wanda.
Namun tidak hanya itu. Belakangan Tanah Papua juga ibarat: “surga kecil bagi para pencuri uang rakyat atau koruptor”. Jika wabah penyakit sosial ini masih terus bergentayangan, apa yang dapat diharapkan dari slogan bombastis “Papua bangkit, untuk mandiri dan sejahtera..??” Tentu tidak ada! Bangkit untuk apa, mandiri yang bagaimana, dan sejahtera milik siapa? Yang pasti, ini sebatas slogan belaka.
Penulis adalah Gobay Zebulon, SH Mahasiswa Akhir Studi Paska sarjana pada Program Magister Hukum, Universitas Gadja Mada (UGM), Yogyakarta.
Sumber : di Facebook Gobay Zebulon.
Yang membuat miris, kasus korupsi ini ternyata lebih banyak melibatkan para politisi di parlemen atau pun partainya. Artinya, mereka menjadi penyumbang terbesar tindak pidana korupsi di tanah air. Di lain pihak, dalam rilis “Global Corruption”, barometer 2013 di bulan Juli lalu, sektor politik dan parlemen menduduki peringkat ke 2 (dua) dengan skor 4,5 dengan status sebagai sektor tindak korupsi dan skor nilai yang berarti sangat korupsi.
Disini sektor politik berbanding dengan kepolisian yang menempati angka 4,5 dan sektor hukum berada pada angka 4,4. Pertanyaanya, mengapa sektor politik terlalu dominan sebagai penyumbang angka korupsi terbesar di negara ini. Salah satu jawaban singkat adalah karena biaya politik di negara ini sangat tinggi.
Contoh kasus, untuk menjadi anggota DPR RI atau DPRD, seorang calon incumbent harus menyiapkan dana antara 2 miliar hingga 20 miliar rupiah. Itu pun dengan berbagai kategori. Namun, untuk biaya pemeliharaan sebagai publik figur, ternyata biaya yang harus dikeluarkan jauh lebih besar karena tingkat popularitasnya sudah dikenal masyarakat. Atau karena berhubungan dengan banyak orang.
Namun bagi calon pendatang baru yang belum dikenal publik, sudah tentu biaya politik (politic cost) yang harus dikeluarkan jauh lebih besar. Apa lagi untuk kategori pengusaha yang ingin menjadi anggota DPR maupun DPRD, tentu biaya politiknya jauh lebih besar pula. Begitu juga untuk menempati jabatan kursi presiden, para pengamat ekonomi mengatakan, seorang yang ingin menjadi presiden setidaknya harus menyiapkan dana sekitar 60 miliar sampai 70 miliar rupiah. Bahkan ada yang lebih.
Tentu dana tersebut sangat mencengankan! Meskipun demikian, masih banyak orang-orang kaya di Indonesia yang menganggap ‘bukan apa-apa’ soal biaya politik itu dalam rangka memenuhi ambisi merebut kursi presiden. Namun, gara-gara biaya politik yang tergolong mahal, setelah menempati jabatan politik, tak jarang mereka melakukan tindak pidana korupsi untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan saat kampanye.
Baik sebagai anggota DPR, DPRD provinasi dan kabupaten/kota, gubernur, bupati/walikota hingga presiden. Kondisi inilah yang terus terwariskan hingga akhirnya berdampak negatif penggerogotan sistem politik dan sistem pemilihan umum (pemilu) langsung yang mengandalkan suara terbanyak. Lantas, apakah itu artinya korupsi tak akan pernah surut dari negeri ini? Belum tentu.
Pertanyaan demikian sempat dilontarkan Yanto Prawironegoro, senior LPP-RRI dalam membacakan komentarnya (04/12/2013). Karena itu, di masa mendatang perlu ada upaya-upaya perbaikan sistem pemilu yang lebih efisien dan efektif agar tidak menjadikan pemilu sebagai ‘embrio’ tumbuh sumburnya korupsi di negeri ini.
Dari hasil survei indeks korupsi, paspor yang dimiliki Indonesia untuk sikap anti-korupsi hanyalah 32. Sedangkan rata-rata negara lain adalah pada angka 40-an. Artinya, posisi Indonesia masih berada di level negara terkorup di dunia. Sama halnya dengan Mesir yang juga korup. Sementara Etiophia dan Tansania yang berada di benua Afrika, ternyata skornya lebih tinggi dibanding Indonesia.
Meski begitu, Indonesia bersyukur karena masih lebih baik dari Timur Leste yang ternyata lebih korup. Dari indeks persepsi korupsi itu, institusi yang paling disoroti adalah birokrasi negara dan kaitannya dengan pejabat publik maupun politisi. Sebut saja nama Akil Mochtar (ketua Mahkamah Konstitusi), Joko Susilo (dari Mabes Polri), Andi Malarangeng (mantan Menpora), dan Rudi Rubiandini (ketua SKK Migas). Mereka adalah para pejabat publik.
Dari kalangan politisi di Senayan, ada tindak pidana korupsi pada nama Angelina Sondakh, Mohamad Nasaruddin, Lutfi Hasan Ishak, Soelkarnaen, Panda Nababan dan Ander Muis. Anehnya, ketika KPK dan kejaksaan makin progresif memberantas kasus korupsi, ternyata aktornya makin beragam. Alias tak hanya berasal dari kalangan pejabat tinggi atau kelompok elit.
Pada level pejabat rendah seperti pak lurah dan bendahara lurah, perilaku korupsi juga marak dipraktekan. Di DKI (daerah khusus ibukota) Jakarta misalnya, mantan lurah pulau Gadung DI dan lurah Cegel FFL dan para bendahara dari kedua kelurahan tersebut juga turut menjadi tersangka.
Dalam kaitan dengan kasus tersebut, pejabat kejaksaan sedang memeriksa lurah Kayu Putih dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Cahya Purnama (Ahoc), yang biasanya bicara keras sampai-sampai mau minta pengampunan atau amnesti kepada negara. Soalnya banyak lurah yang tercium mempraktekan korupsi kecil-kecilan.
Pophy dalam bukunya menulis “Confront in corruption the national elements was integrated system”, bahwa perilaku korup dimulai dari korupsi kecil-kecilan. Di Indonesia korupsi kecil-kecilan memang jamak terjadi dalam beragam istilah seperti, uang pelicin, uang semir, uang rokok, uang kopi dan lain-lain. Namun istilah-istilah itu merujuk pada tindakan suap atau sogok!
Menurut Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), semuanya termasuk dalam kelas gratifikasi. Yakni semacam tindakan pemberian balas jasa atau sebagai rasa terima kasih dari pemberi gratifikasi. Tak heran bila perilaku ini begitu lumrah dan sering terjadi di banyak instansi yang langsung berurusan dengan kepentingan publik.
Istilah uang pelicin, uang semir, uang rokok, uang kopi, uang tips atau apa pun sebutannya, dianggap biasa bagi aparat pelayan publik dan juga bagi masyarakat sebagai pemberinya. Malahan justru terkadang aneh bila ada pelayan publik yang menolak diberi uang semacam itu. Apa lagi ketika dibumbuhi istilah TST alias tau sama tau atau ‘tong sama-sama su baku tau’.
Karena itu, strategi pemberantasan korupsi di Indonesia mestinya bukan lagi sebatas tindakan represif tingkat tinggi. Namun harus mengikis perilaku korupsi kecil-kecilan yang ternyata jamak dan banyak terjadi di masyarakat kita. Ini agar akar yang kecil-kecil itu tak lagi menjadi kebiasaan buruk atau kejahatan besar di kemudian hari.
Dalam konteks Tanah Papua saat ini, hampir semua pejabat publik dan politisi di level provinsi, kabupaten/kota, rata-rata sudah tersangkut-paut tindak korupsi. Bahkan meskipun KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sudah sering mencocok hidung para pelaku, toh korupsi kian hari kian subur dan mengakar bak gurita raksasa.
Pihak Kejaksaan Tinggi Papua bahkan sempat menyatakan kalau kasus korupsi di Papua paling tinggi dibanding daerah lain di Indonesia. Sementara data Kepolisian Daerah (Polda) Papua juga menunjukan, ada semacam trend peningkatan kasus korupsi. Tingginya angka korupsi di daerah ini tampak dari banyaknya kasus yang ditangani kedua institusi penegak hukum itu.
Terlepas dari persepsi banyak pihak yang masih merasa belum puas dengan kinerja aparat dalam memburu para koruptor, terutama koruptor kelas kakap. Bagaimana pun, kiprah dari kedua instansi penegak hukum tersebut patut diacungi jempol. Sebab mereka telah membuat sejumlah lembaga pemasyarakatan (lapas) di Papua makin dipenuhi para tahanan- narapidana korupsi yang notabe pencuri uang rakyat!
Yang namanya pencuri uang rakyat, sebagian besar berasal dari kalangan birokrat maupun anggota dewan papan atas. Mengutip komentar RRI Nasional yang disiarkan RRI Jayapura belum lama ini saat peringatan hari Anti-Korupsi se-Dunia (9 Desember 2013), korupsi memang sulit dibuktikan! Namun perubahan gaya hidup (life style) yang ditampilkan secara mencolok dikalangan para pejabat dan kroni-kroninya, dapat diindikasikan adanya perilaku ‘tidak beres’ itu.
Sejak Otonomi Khusus (Otsus) Papua bergulir 2001 silam, para pejabat eksekutif dan legislatif, termasuk kaum pengusaha lokal banyak yang menghabiskan biaya hidup dengan berpenampilan serba eksklusif. Terbang melanglang-buana, mondar-madir ke Jawa (Jakarta) dan daerah lain hanya dalam sekejap. Bahkan hingga pergi ke luar negeri dengan dalih studi banding demi perbaikan daerah dan masyarakatnya.
Dalam rutinitas itu, mereka sering menginap di hotel-hotel berbintang (berkelas) dan menyewa mobil mewah. Berfoya-foya dengan para wanita berparas cantik dan bertubuh seksi, hingga menikmati suguhan makanan dan minuman berkelas internasional. Karenanya, perilaku mereka hampir tak jauh berbeda dengan raja-raja (konglomerat) minyak, kalangan eksekutif perusahaan besar hingga para selebritis.
Sementara pada realitas lain, ada kehidupan yang kontras dan sangat bertolak belakang! Masyarakat Papua akar rumput (masyarakat akar keladi dan pohon sagu) yang seharusnya diberdayakan oleh kalangan elit papan atas mereka, hampir tak pernah tersentuh agar kehidupan mereka bisa sejahtera. Praktis hanya elit-elit mereka yang berada di level birokrasi-pemerintahan yang tetap hidup dalam serba kemewahan (luxuries).
Ketua KPK Abraham Samaad, dalam suatu kesempatan pernah melontarkan kesannya yang aneh atas Papua. Baginya, perilaku korupsi di Papua ternyata memiliki fenomena yang aneh. Keanehan itu terlihat dari sikap masyarakat akar rumput yang cenderung membela pejabat atau kepala daerahnya yang tersandung kasus korupsi. Padahal uang hasil korupsi itu lebih banyak dinikmati sendiri oleh perjabat mereka.
Ketika sang pejabat hendak ditangkap gara-gara perilaku rakus yang punya bau korupsi, para pejabat dapat memprovokasi masyarakat atau kelompok anak muda untuk melakukan aksi demo terhadap aparat/institusi penegak hukum yang bermaksud menangkap si pejabat. Tentu saja, kesan sang ketua KPK itu tak sepenuhnya benar. Meski tak bisa dipungkiri bahwa memang ada banyak kasus seperti itu.
Tanah Papua dengan beragam embel-embel plus-minusnya memang unik, bahkan aneh di mata orang luar. Bukan hanya karena alamnya yang menyimpan beragam pesona keunggulan. Seperti dilukiskan sebagai ‘surga kecil’ yang jatuh ke bumi dalam syair lagu ciptaan penyanyi Frangky Sahilatua yang terdengar merdu dinyanyikan dua penyanyi Papua Edo Kondologit dan Wilson Wanda.
Namun tidak hanya itu. Belakangan Tanah Papua juga ibarat: “surga kecil bagi para pencuri uang rakyat atau koruptor”. Jika wabah penyakit sosial ini masih terus bergentayangan, apa yang dapat diharapkan dari slogan bombastis “Papua bangkit, untuk mandiri dan sejahtera..??” Tentu tidak ada! Bangkit untuk apa, mandiri yang bagaimana, dan sejahtera milik siapa? Yang pasti, ini sebatas slogan belaka.
Penulis adalah Gobay Zebulon, SH Mahasiswa Akhir Studi Paska sarjana pada Program Magister Hukum, Universitas Gadja Mada (UGM), Yogyakarta.
Sumber : di Facebook Gobay Zebulon.
0 thoughts on “TANAH PAPUA, SURGA PARA KORUPTOR”