Oleh,Thomas R. Sembiring
Papua, saat itu disebut Irian Barat, bergabung dengan Indonesia melalui Pepera di tahun 1969. Rakyat melalui tokoh yang dipilih, melakukan pemungutan suara untuk menunjukkan keinginan mereka.
Sejarah, katanya, menunjukkan mereka yang memilih telah menunjukkan pilihan integrasi dengan Indonesia. Ibarat kata, atas nama demokrasi mereka disebut memilih menjadi Indonesia.
Sederhananya, kita punya tetangga yang lugu namun punya tanah luas dan kekayaan yang tersimpan didalamnya. Keluguannya berpotensi dimanfaatkan tetangga jauh yang selama ini suka usil dengan rumah kita. Lalu dengan berbagai upaya, kita mengajaknya menjadi saudara kita demi menghindarkan musuh memperalatnya melawan kita. Jadilah tetangga menjadi bagian dari rumah kita. Maka demikian rumahnya pun menjadi rumah kita.
Problemnya, karena sejak awal kita sebagai tetangga berbeda karakter dan kebudayaan maka demikianlah prosesnya menjadi rumit. Saat kita berhak tinggal di rumah tetangga yang kita sebut saudara. Tanahnya kita ambil, emasnya kita ambil, bahkan banyak urusan mereka pun kita ambil alih.
Pada saat yang sama, saat mereka tinggal di rumah kita. Kita tidak nyaman dengan perbedaan karakter budaya yang ada. Kita tolak mereka bersuara. Diteriakin monyet, diteriakin bau dan dibully anak-anaknya di rumah kita.
Lantas saat mereka mulai menyadari pilihannya dan ingin mandiri, lantas atas nama keluarga mereka ingin kita gebuk? Atas nama keluarga mereka ingin kita usir pulang ke rumahnya karena di rumah kita dia ingin menyampaikan pendapatnya?
Jadi, Kalau atas nama Pepera 1969 Irian Barat yang kini kita kenal sebagai Papua bergabung dengan Indonesia. Lantas mengapa atas nama demokrasi yang sama, mereka tidak boleh bersuara dan menyatakan pendapat. Mengapa situ yang memaksa mereka harus menjadi Indonesia tidak memperlakukan mereka sebagai warga negara Indonesia yang dijamin hak konstitusinya untuk berbeda pendapat meski mungkin itu situ cap separatis? Kalau mereka yang menyebut pemerintah sebagai Thogut dan menolak Pancasila itu apa? Artis?!
Mengapa lantas menghina mereka sesama anak bangsa, jika mereka memang Indonesia, dengan sebutan penghuni kebun binatang? Mengapa situ pakai kacamata kebudayaan sampeyan mengukur cara pandang mereka? Bagaimana kalau atas nama Indonesia saya larang juga sampeyan bicara? Atau atas nama Indonesia saya ambil sampeyan punya hak?
Soekarno tidak pernah merebut Papua untuk warganya diperlakukan keji seperti binatang. Tetapi puluhan tahun rezim baru telah membungkam masa depan mereka, akses pembangunan dan pendidikan mereka. Saat mereka sadar lalu mengeluh serta sedikit menuntut, apakah pantas kita mengancam dan menyebar rasa takut?
Kita cinta NKRI, tetapi kita tidak pernah diajari pendiri bangsa ini untuk membungkam mulut saudara sebangsa sendiri dan memperlakukan mereka dengan keji. Sementara si bibieb yang mulutnya jelas-jelas menghina bangsa ini dibiarkan bebas 'nyerocos'. Sementara mereka yang berlaku damai menyuarakan keadilan untuk mereka sendiri, malah diperlakukan secara biadab karena doktrinasi NKRI Harga Mati yang kebablasan itu.
Sejak kapan slogan NKRI Harga Mati dipakai untuk mematikan saudara sendiri?
Sampeyan, pu otak kah tidak?!!
Sampeyan, pu otak kah tidak?!!
Penulis adalah Aktivis Kemanusiaan dari Aceh.
0 thoughts on “Kenapa Demokrasi yang sama "Pepera1969" Mereka Tidak Boleh Bersuara”