BREAKING NEWS
Search

Perubahan Politik Indonesia, Skenario PEPERA 1969

Sonny Dogopia (Foto: Istimewa)

Oleh: Sonny Dogopia

Saya sendiri tidak memahami, apa itu NKRI. Sebab, rakyat Indonesia sendiri ditindas, dibantai, dilema pada perubahan politik Indonesia yang mematahkan kepala Garuda ke ‘kanan’ sehingga rakyat kehilangan tanahnya dan dibekukan.

****

Soekarno untuk mencari dukungannya ke negara Pemodal atau Kapitalisme lebih khusus Amerika, Ia harus ke kiri (uni soviet). Apalagi, Ia dikenal sebagai anti-imperialisme.

Amerika tahu bahwa Belanda merupakan sekutunya maka akan lebih mudah untuk mencegah Indonesia ke kiri.

Indonesia bisa dikatakan terjebak dalam perang dingin, memiliki paham Politik Negara Non-Blok. Tetapi, tidak! Karena, walau pun telah memproklamasi kemerdekaannya, dan dalam kepemipinan Presiden seumur hidup, Soekarno diprotes oleh unsur mahasiswa, pemuda dan rakyat. Sederhananya, PKI harus bubar dan Soekarno harus turun.

Seluruh unsur masyarakat ter-politisasi dan seluruh faksi dalam masyarakat, termasuk mahasiswa, aktif terlibat dalam permainan politik. Intinya menolak pemimpin Negara Indonesia yang mempunyai kekuasaan absolut pada rakyatnya, atau melawan ketidakadilan, korupsi, dan kediktatoran korporasi. Semua sumber media dikendalikan dan dikontrol penguasa. Tetapi, di dalam protes dari semua unsur tersebut bukan membentuk satu negara baru selain Indonesia, melainkan merehap negara Indonesia.

Tuntutan semua unsur di atas bertentangan denga konspirasi politik oleh Soeharto. Atau PKI dihancurkan dan Surat Perintah Sebelas Maret(Supersemar) lahir.

Dengan adanya Supersemar, situasi politik di kolonial Indonesia berubah, antara lain sejak ada surat itu kekuasaan Soekarno semakin mengerucut habis. Sedangkan, kekuasaan Letnan Jenderal Soeharto semakin meningkat. Arah perpolitikan Indonesia yang tadinya sipil berubah menjadi militer. Pemerintahan yang sebelumnya kritis terhadap kekuatan-kekuatan asing menjadi sebuah pemerintahan yang pro kepada Kapitalisme.

Isi Supersemar adalah memberikan kekuasaan kepada Letjen Soeharto untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu demi terjaminnya keamanan dan ketenangan jalannya pemerintahan.

Berdasarkan surat itu Soeharto melakukan banyak hal, seperti; membubarkan sebuah partai politik (PKI-ed), mengatur keanggotaan partai-partai, menangkap 18 orang menteri, menyingkirkan orang-orang yang pro Soekarno, dan akhirnya Soekarno tersingkir.

Sebelum dikeluarkannya Supersemar, bulan-bulan sebelumnya bahwa terjadi peristiwa tragis. Yaitu: Banjir darah yang menelan kira-kira setengah juta jiwa orang Indonesia sendiri (termasuk tiong-hoa). Mereka dibunuh oleh bangsanya sendiri. Semua itu terjadi tanpa proses pengadilan, meskipun Negara Indonesia adalah negara hukum, negara republik modern. Sampai dengan saat ini, beberapa unsur peduli Hak Asasi Manusia (HAM) untuk melakukan proses rekonsiliasi selalu dihalang-halangi, sehingga sampai hari ini tidak jelas kemana arahnya.

Ada hal yang lebih penting membahas teori konspirasi. Dan yang perlu diketahui oleh gerakan –gerakan perlawanan, harapannya mendiskusikannya lebih lanjut. Pertama, pra kondisi Supersemar dan Kedua, dampak dari lahirnya Supersemar. Kemudian, lilitan kepentingan kapitalisme yang mengikat Papua sehingga tercapainya maksud dari niat buruk pada Papua.

Dalam melihat pra kondisi itu, dua kategori kondisi atau situasi yang menjadi latar belakang lahirnya Supersemar. Yaitu: Kondisi internasional dan nasional Indonesia. Kita ketahui tahun 1960-an sebagai bagian dari kondisi dunia, setelah Perang Dunia Ke-II merupakan masa di mana dunia mengalami apa yang disebut Perang Dingin, yakni; konflik antara Amerika dan Uni Sovyet (negara kapitalis/liberalis Versus sosialis/komunis)  tidak pernah berperang secara langsung, sehingga merupakan ketegangan saja dan tidak menjadi konflik militer terbuka. Di tempat lain, perangnya betul-betul menjadi terjadi dan konfliknya benar-benar menjadi konflik militer.

Amerika waktu itu memiliki kekhawatiran bahwa Indonesia semakin lama semakin mendekat ke Soviet atau ke RRC. Itu terjadi karena Soekarno lebih condong ke “kiri”, dan PKI semakin lama semakin memiliki pengikut yang besar. Apalagi, Soekarno mencanangkan Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme). Dia ingin menyatukan para nasionalis, agamawan dan juga kaum komunis untuk bersama-sama membangun Negara Indonesia. Bagi Amerika itu menjadi sesuatu yang harus dilawan. Tidak hanya Amerika, tetapi juga sekutu-sekutu Amerika. Oleh sebab itu, Amerika harus segera menghentikan kecenderungan Indonesia ke “kiri”.

Disamping kecenderungan itu, Soekarno juga mencanangkan politik konfrontasi melawan Malaysia. Bagi Amerika itu adalah bukti bahwa Indonesia tidak hanya memiliki ambisi ke dalam, tetapi juga ingin mempengaruhi dunia luar, khususnya Asia Tenggara atau bahkan negara-negara bekas jajahannya. Amerika memiliki pikiran bagaimana kecenderungan tersebut dihentikan. Dalam konteks itulah Supersemar lahir.
Amerika tidak hanya ingin menghentikan kecenderungan Indonesia yang ke “kiri”, tetapi juga bagaimana pemerintah yang “kiri” tersebut dihabisi lalu digantikan oleh pemerintah yang pro terhadap Amerika dan sekutunya (pro-Kapitalisme). Di Indonesia sendiri sedang terjadi dinamika yang bukan main, antara lain dimulai pada pemilu tahun 1955. Meskipun, dalam pemilu tersebut partai peserta pemilu banyak (tiga puluhan lebih) dan ada empat partai besar. Yaitu: PNI, Masyumi, NU dan PKI. PKI di tahun 1955 menjadi partai keempat terbesar di Indonesia. Karena itu, banyak kelompok lain menjadi gelisah menghadapi kenyataan itu. Terlebih lagi Soekarno tampaknya sendiri sebagai  PKI.
Pada tanggal 1 Oktober 1965 terjadi sebuah operasi militer yang dipimpin oleh sebuah gerakan bernama G30S yang pelaksa utamanya adalah Kolonel Untung, Kolonel Abdul Latief dan Brogjen Soeparjo (Sumber: Pasca G30S). Ketika peristiwa itu terjadi dengan korban enam orang jenderal dan seorang perwira pertama yang tewas. PKI dituduh sebagai aktor yang ada dibalik itu. Itulah yang menjadi alasan dilakukannya pembantaian massal yang dimulai pada tanggal 27 Oktober 1965 di Jawa Tengah, November di Jawa Timur, dan Desember di Bali serta, di beberapa tempat lain (Papua).

Supersemar menjadi semacam titik belok dari situasai Indonesia sebelum dan setelahnya. Beberapa penguasa Negara Indonesia (tidak termasuk Soekarno dan PKI) diperalat untuk mematahkan stir ke arah “kanan.” Antara lain, dari pemerintahan sipil menjadi ke militer, menjadi pro elite, yang dulu sedikit kritis terhadap modal asing menjadi pro modal asing dan sebagainya. Supersemar menjadi salah satu batu loncatan yang membuat Indonesia mengarah pada sesuatu yang berbeda, dampaknya terasa sampai sekarang, bagaimana modal asing sangat berkuasa dan berpengaruh di Negeri Indonesia.
Selanjutnya, Supersemar sebagai perintah harian ditetapkan menjadi TAP MPR. Pada akhirnya Soekarno digantikan dengan Soeharto sebagai presiden. Kekuatan kiri dihabisi, yang dampaknya bisa kita rasakan sampai hari ini. Negara Indonesia mengalami perubahan Politik yang sangat besar, dililiti kepentingan Pemodal Asing. Walau pun, presiden berganti presiden namun, lilitan kapitalisme pada sistem pemerintahan negara Indonesia semakin mengencang dan tidak dapat dipisahkan.

Bagaimana dengan Papua? Awalnya klaim wilayah oleh Soekarno karena, berkembangnya wacana satu koloni Belanda dalam Hindia Belanda. Kemudian, menjadikan wilayah jajahannya yang dimulai dari Operasi Trikora 19 Desember 1961. Dan untuk mengelabui itu, Indonesia dan Amerika mengskenariokan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang di mulai dari New York Agreement 15 Agustus 1962 untuk mencari simpati Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sehingga, Aneksasi 1 Mei 1963 dilakukan secara sepihak tanpa, melibatkan satu orang Papua pun.Mobilisasi massa (Imigran), dan invasi militer besar-besaran ke Papua dilakukan dengan maksud memenangkan PEPERA pada 14 Juli – 2 Agustus 1969 serta, memenangkan niat perluasan basis Kapitalisme, juga menjajah.

PEPERA 1969, dua tahun sebelumnya sudah dilakukannya penandatanganan Undang – undang Republik Indonesia Nomor 1, Tahun 1967: Tentang, “Penanaman Modal Asing”. Status UU RI NO. 1, Tahun 1967 lahir karena, Freeport milik Amerika Serikat dan saat ini kurang lebih 20-an negara kapital beradu keuntungan dalam Freeport di Papua.

PEPERA 1969 tidak sah karena, dilaksanakan dengan sistem “musyawarah” (sistem lokal Indonesia) yang bertentangan dengan isi dan jiwa New York Agreement. (Baca Referensi: P.J. Drooglever; Tindakan Pilihan Bebas! Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri). Di samping itu, PEPERA 1969 dimenangkan oleh Indonesia lewat teror, intimidasi, penangkapan, dan pembunuhan (pelanggaran hukum, HAM dan esensi demokrasi). Kemenangan PEPERA 1969 secara cacat hukum dan moral ini akhirnya diterima oleh PBB lewat Resolusi Nomor 2504 dan diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 7 tahun 1971. Negara Indonesia mengklaim dan menjalankan praktek-praktek penjajahannya karena, Resolusi itu. Tetapi, inti dari isi Resolusi itu adalah “Mencatat Laporan, dari Sekertaris Jendral (Sekjend) PBB dan mengakui dengan apresiasi ‘pemenuhan tugas’ yang diberikan oleh Sekjend PBB kepada wakil-wakilnya atas dasar Perjanjian New York 15 Agustus 1962 antara Republik Indonesia dengan kerajaan Belanda terkait West New Guinea (Irian Barat). (Baca Referensi: Melinda Janki; West Papua dan Hak Penentuan Nasib Sendiri Dalam Hukum Internasional).

Setelah hasil PEPERA 1969, Negara Indonesia lebih cepat dan disiplin dalam praktek-praktek penjajahan. Akibatnya, Hak Sipil dan Politik serta Hak Ekonomi, Sosial-Budaya bagi OAP diperlakukan seperti OAP kehilangan identitas dan jati diri sebagai pemilik tanah Papua.

Resolusi Nomor 2504 dan diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 7 tahun 1971, kemudian dalam pembentukan UU Oleh Presiden Republik Indonesia, Nomor: 12 Tahun 1969 (12/1969), pada tanggal 10 September 1969 (Jakarta), Sumber: LN 1969/47; TLN NO. 2907. Tentang, Pembentukan Provinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonom di Provinsi Irian Barat.

Presiden Republik Indonesia menimbang bahwa sebagai tindak lanjut dari hasil PEPERA yang menetapkan Irian Barat tetap merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan untuk kepentingan pelaksanaan pemerintahan di Irian Barat yang efektif, demi kemajuan rakyat di Irian Barat, dipandang perlu Propinsi Irian Barat beserta Kabupaten-kabupatennya yang dibentuk dan diatur berdasarkan Penetapan Presiden No. 1 tahun 1962, Penetapan Presiden No. 1 tahun 1963, Keputusan Presiden No. 57 tahun 1963, Undang-undang No. 5 tahun 1969, segera diatur kembali sebagai Daerah-daerah Otonom, sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam pasal 6 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXI/MPRS/ 1966.

Imigran atau sering disebut transmigrasi merupakan warga buangan oleh penguasa kolonial Indonesia. Mereka adalah korban. Mereka telah kehilangan tanah asalnya hanya karena, perluasan imperialisme melaui pembangunan industri-industri. Juga, korban politisasi “NKRI Harga Mati” oleh penguasa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang menutup rapih wajah pemodal (Kapitalis). Penipuan publik, pengalihan isu, pengalihan pola fikir, menutup rapih sejarah Papua, menutup rapih Ilegalnya Negara Indonesia di teritori Papua Barat, mengalihkan kurikulum berbasis Imperialisme. Semua itu karena, wajah asli penguasa Negara Indonesia yang memberi keuntungan pada Kapitalisme.

Akibat dari semua itu, saat ini rakyat Papua telah kehilangan Manusia dan Karakter Olah Tanah, Tatanan Sosial dan Budaya, Tanah Pertanian dan Hewan Ternak, Ekosistem dan Marga Satwa, Laut dan Isinya, Hutan dan Tanah Adat, Makanan dan Bahan Pokok. Suara rakyat dibungkam amunisi militer dan jeruji besi. Sehingga, rakyat memilih diam. Semua unsur ter-politisasi “NKRI” hanya karena, trauma, takut, dan takut tidak diberi kesempatan untuk mendapatkan kebutuhan ekonomi.

Rantai penderitaan rakyat bukan karena, rakyat lapar dan haus atau lebih kasarnya rakyat miskin. Jika, kita memahami akarnya bahwa penguasa Negara Indonesia mementingkan Kapitalisme sehingga, rakyat mengalami ketidak adilan dan pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM). Rakyat mempunyai Tanah dan Air, apakah rakyat lapar dan haus. Rakyat mempunyai hasil bumi, apakah rakyat miskin. Lantas, siapakah wajah penguasa.

Hari ini rakyat kehilangan tanah, air, isi bumi dan hasil bumi. Karena, trauma, takut, dan takut tidak diberi kesempatan untuk mendapatkan kebutuhan ekonomi dari penguasa (penguasa Negara Indonesia dan Kapitalisme, selanjutnya dibaca penguasa). Rakyat harus berubah menjadi munafik untuk bisa mendapatkan uang agar menghidupi kebutuhan sehari-hari dan biaya pendidikan. Jikalau, kesehatan terganggu maka rumah sakit bukan tempat penyembuhan. Melainkan, tempat pemerasan sama dengan dunia pendidikan.

Dampak kolonisasi dan Pemodal yang terus mencari keuntungan dalam Imperialisme hingga jumlah penduduk OAP menurun drastis. Dilihat dari Pembunuhan secara fisik maupun sistematis terhadap OAP dan Pembatasan pada Rahim Perempuan Papua untuk mereproduksi keturunan. (Pantauan dan diskusi, Referensi: angka kelahiran yang berkurang dan angka kematian yang meningkat.)

Sumber data oleh Jim Elsmslie, sebuah laporan dari Universitas Sydney pada tahun 2011. Dari tahun 1971, penduduk orang Papua; 887.000 jiwa dan Pendatang; 36.000 jiwa, dengan jumlah keseluruhan penduduk; 923.000 jiwa. Pada tahun 1990, penduduk orang Papua; 1.215.897 jiwa dan pendatang; 414.210 jiwa, dengan jumlah keseluruhan penduduk; 1.630.107 jiwa. Pada tahun 2005, penduduk orang Papua; 1.558.795 jiwa dan pendatang; 1.087.694 jiwa, dengan jumlah keseluruhan penduduk; 2.646.489 jiwa. Pada tahun 2011 data penduduk orang Papua; 1.700.000 jiwa dan Pendatang; 1.980.000 jiwa, dengan jumlah keseluruhan 3.680.000 jiwa.

Jika, hal ini dibiarkan maka penduduk pendatang akan mendominasi dan penguasa Indonesia akan mempolitisasi rakyat indonesia yang jelas-jelas ditindas oleh presidennya sendiri hingga dibenturkan dengan rakyat bangsa Papua.

Aktivis Aliansi Mahasiswa Papua
(http://kabar-mapega.com)



nanomag

Media Online Kabar Mapega adalah salah situs media online yang mengkaji berita-berita seputar tanah Papua dan Papua barat secara beragam dan berimbang.


0 thoughts on “Perubahan Politik Indonesia, Skenario PEPERA 1969