Sonny Dogopia (Foto: Istimewa) |
Oleh: Sonny Dogopia
“Saya sendiri tidak memahami, apa itu NKRI.
Sebab, rakyat Indonesia sendiri ditindas, dibantai, dilema pada perubahan
politik Indonesia yang mematahkan kepala Garuda ke ‘kanan’ sehingga rakyat
kehilangan tanahnya dan dibekukan.”
****
Soekarno
untuk mencari dukungannya ke negara Pemodal atau Kapitalisme lebih khusus
Amerika, Ia harus ke kiri (uni soviet). Apalagi, Ia dikenal sebagai
anti-imperialisme.
Amerika
tahu bahwa Belanda merupakan sekutunya maka akan lebih
mudah untuk mencegah Indonesia ke kiri.
Indonesia
bisa dikatakan terjebak dalam perang dingin, memiliki paham Politik Negara
Non-Blok. Tetapi, tidak! Karena, walau pun telah memproklamasi kemerdekaannya,
dan dalam kepemipinan Presiden seumur hidup, Soekarno diprotes oleh unsur
mahasiswa, pemuda dan rakyat. Sederhananya, PKI harus bubar dan Soekarno harus
turun.
Seluruh
unsur masyarakat ter-politisasi dan seluruh faksi dalam masyarakat, termasuk
mahasiswa, aktif terlibat dalam permainan politik. Intinya menolak pemimpin
Negara Indonesia yang mempunyai kekuasaan absolut pada rakyatnya, atau melawan
ketidakadilan, korupsi, dan kediktatoran korporasi. Semua sumber media
dikendalikan dan dikontrol penguasa. Tetapi, di dalam protes dari semua unsur
tersebut bukan membentuk satu negara baru selain Indonesia, melainkan merehap
negara Indonesia.
Tuntutan
semua unsur di atas bertentangan denga konspirasi politik oleh Soeharto. Atau
PKI dihancurkan dan Surat Perintah Sebelas Maret(Supersemar) lahir.
Dengan
adanya Supersemar, situasi politik di kolonial Indonesia berubah, antara lain
sejak ada surat itu kekuasaan Soekarno semakin mengerucut habis. Sedangkan,
kekuasaan Letnan Jenderal Soeharto semakin meningkat. Arah perpolitikan
Indonesia yang tadinya sipil berubah menjadi militer. Pemerintahan yang
sebelumnya kritis terhadap kekuatan-kekuatan asing menjadi sebuah pemerintahan
yang pro kepada Kapitalisme.
Isi
Supersemar adalah memberikan kekuasaan kepada Letjen Soeharto untuk mengambil
tindakan yang dianggap perlu demi terjaminnya keamanan dan ketenangan jalannya
pemerintahan.
Berdasarkan
surat itu Soeharto melakukan banyak hal, seperti; membubarkan sebuah partai
politik (PKI-ed), mengatur keanggotaan partai-partai, menangkap 18 orang
menteri, menyingkirkan orang-orang yang pro Soekarno, dan akhirnya Soekarno
tersingkir.
Sebelum
dikeluarkannya Supersemar, bulan-bulan sebelumnya bahwa terjadi peristiwa
tragis. Yaitu: Banjir darah yang menelan kira-kira setengah juta jiwa orang
Indonesia sendiri (termasuk tiong-hoa).
Mereka dibunuh oleh bangsanya sendiri. Semua itu terjadi tanpa proses
pengadilan, meskipun Negara Indonesia adalah negara hukum, negara republik
modern. Sampai dengan saat ini, beberapa unsur peduli Hak Asasi Manusia (HAM)
untuk melakukan proses rekonsiliasi selalu dihalang-halangi, sehingga sampai
hari ini tidak jelas kemana arahnya.
Ada hal yang
lebih penting membahas teori konspirasi. Dan yang perlu diketahui oleh gerakan
–gerakan perlawanan, harapannya mendiskusikannya lebih lanjut. Pertama, pra kondisi Supersemar dan Kedua, dampak dari lahirnya Supersemar.
Kemudian, lilitan kepentingan kapitalisme yang mengikat Papua sehingga
tercapainya maksud dari niat buruk pada Papua.
Dalam
melihat pra kondisi itu, dua kategori kondisi atau situasi yang menjadi latar
belakang lahirnya Supersemar. Yaitu: Kondisi internasional dan nasional
Indonesia. Kita ketahui tahun 1960-an sebagai bagian dari kondisi dunia,
setelah Perang Dunia Ke-II merupakan masa di mana dunia mengalami apa yang disebut
Perang Dingin, yakni; konflik antara Amerika dan Uni Sovyet (negara
kapitalis/liberalis Versus
sosialis/komunis) tidak pernah berperang
secara langsung, sehingga merupakan ketegangan saja dan tidak menjadi konflik
militer terbuka. Di tempat lain, perangnya betul-betul menjadi terjadi dan
konfliknya benar-benar menjadi konflik militer.
Amerika
waktu itu memiliki kekhawatiran bahwa Indonesia semakin lama semakin mendekat
ke Soviet atau ke RRC. Itu terjadi karena Soekarno lebih condong ke “kiri”, dan
PKI semakin lama semakin memiliki pengikut yang besar. Apalagi, Soekarno
mencanangkan Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme). Dia ingin menyatukan
para nasionalis, agamawan dan juga kaum komunis untuk bersama-sama membangun
Negara Indonesia. Bagi Amerika itu menjadi sesuatu yang harus dilawan. Tidak
hanya Amerika, tetapi juga sekutu-sekutu Amerika. Oleh sebab itu, Amerika harus
segera menghentikan kecenderungan Indonesia ke “kiri”.
Disamping
kecenderungan itu, Soekarno juga mencanangkan politik konfrontasi melawan
Malaysia. Bagi Amerika itu adalah bukti bahwa Indonesia tidak hanya memiliki
ambisi ke dalam, tetapi juga ingin mempengaruhi dunia luar, khususnya Asia
Tenggara atau bahkan negara-negara bekas jajahannya. Amerika memiliki pikiran
bagaimana kecenderungan tersebut dihentikan. Dalam konteks itulah Supersemar
lahir.
Amerika
tidak hanya ingin menghentikan kecenderungan Indonesia yang ke “kiri”, tetapi
juga bagaimana pemerintah yang “kiri” tersebut dihabisi lalu digantikan oleh
pemerintah yang pro terhadap Amerika dan sekutunya (pro-Kapitalisme). Di
Indonesia sendiri sedang terjadi dinamika yang bukan main, antara lain dimulai
pada pemilu tahun 1955. Meskipun, dalam pemilu tersebut partai peserta pemilu
banyak (tiga puluhan lebih) dan ada empat partai besar. Yaitu: PNI, Masyumi, NU
dan PKI. PKI di tahun 1955 menjadi partai keempat terbesar di Indonesia. Karena
itu, banyak kelompok lain menjadi gelisah menghadapi kenyataan itu. Terlebih
lagi Soekarno tampaknya sendiri sebagai
PKI.
Pada tanggal
1 Oktober 1965 terjadi sebuah operasi militer yang dipimpin oleh sebuah gerakan
bernama G30S yang pelaksa utamanya adalah Kolonel Untung, Kolonel Abdul Latief
dan Brogjen Soeparjo (Sumber: Pasca G30S).
Ketika peristiwa itu terjadi dengan korban enam orang jenderal dan seorang
perwira pertama yang tewas. PKI dituduh sebagai aktor yang ada dibalik itu.
Itulah yang menjadi alasan dilakukannya pembantaian massal yang dimulai pada
tanggal 27 Oktober 1965 di Jawa Tengah, November di Jawa Timur, dan Desember di
Bali serta, di beberapa tempat lain (Papua).
Supersemar
menjadi semacam titik belok dari situasai Indonesia sebelum dan setelahnya.
Beberapa penguasa Negara Indonesia (tidak termasuk Soekarno dan PKI) diperalat
untuk mematahkan stir ke arah “kanan.” Antara lain, dari pemerintahan sipil
menjadi ke militer, menjadi pro elite, yang dulu sedikit kritis terhadap modal
asing menjadi pro modal asing dan sebagainya. Supersemar menjadi salah satu
batu loncatan yang membuat Indonesia mengarah pada sesuatu yang berbeda,
dampaknya terasa sampai sekarang, bagaimana modal asing sangat berkuasa dan
berpengaruh di Negeri Indonesia.
Selanjutnya,
Supersemar sebagai perintah harian ditetapkan menjadi TAP MPR. Pada akhirnya
Soekarno digantikan dengan Soeharto sebagai presiden. Kekuatan kiri dihabisi,
yang dampaknya bisa kita rasakan sampai hari ini. Negara Indonesia mengalami
perubahan Politik yang sangat besar, dililiti kepentingan Pemodal Asing. Walau
pun, presiden berganti presiden namun, lilitan kapitalisme pada sistem
pemerintahan negara Indonesia semakin mengencang dan tidak dapat dipisahkan.
Bagaimana
dengan Papua? Awalnya klaim wilayah oleh Soekarno karena, berkembangnya wacana
satu koloni Belanda dalam Hindia Belanda. Kemudian, menjadikan wilayah jajahannya
yang dimulai dari Operasi Trikora 19 Desember 1961. Dan untuk mengelabui itu,
Indonesia dan Amerika mengskenariokan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang
di mulai dari New York Agreement 15 Agustus 1962 untuk mencari
simpati Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sehingga, Aneksasi 1 Mei 1963
dilakukan secara sepihak tanpa, melibatkan satu orang Papua pun.Mobilisasi
massa (Imigran), dan invasi militer besar-besaran ke Papua dilakukan dengan maksud
memenangkan PEPERA pada 14 Juli – 2 Agustus 1969 serta, memenangkan niat
perluasan basis Kapitalisme, juga menjajah.
PEPERA
1969, dua tahun sebelumnya sudah dilakukannya penandatanganan Undang – undang
Republik Indonesia Nomor 1, Tahun 1967: Tentang, “Penanaman Modal Asing”.
Status UU RI NO. 1, Tahun 1967 lahir karena, Freeport milik Amerika Serikat dan
saat ini kurang lebih 20-an negara kapital beradu keuntungan dalam Freeport di
Papua.
PEPERA
1969 tidak sah karena, dilaksanakan dengan sistem “musyawarah” (sistem lokal
Indonesia) yang bertentangan dengan isi dan jiwa New York Agreement. (Baca Referensi: P.J.
Drooglever; Tindakan Pilihan Bebas! Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri).
Di samping itu, PEPERA 1969 dimenangkan oleh Indonesia lewat teror, intimidasi,
penangkapan, dan pembunuhan (pelanggaran hukum, HAM dan esensi demokrasi).
Kemenangan PEPERA 1969 secara cacat hukum dan moral ini akhirnya diterima oleh
PBB lewat Resolusi Nomor 2504 dan diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia
melalui Keppres Nomor 7 tahun 1971. Negara Indonesia mengklaim dan menjalankan
praktek-praktek penjajahannya karena, Resolusi itu. Tetapi, inti dari isi
Resolusi itu adalah “Mencatat Laporan, dari Sekertaris Jendral (Sekjend) PBB
dan mengakui dengan apresiasi ‘pemenuhan tugas’ yang diberikan oleh Sekjend PBB
kepada wakil-wakilnya atas dasar Perjanjian New York 15 Agustus 1962 antara
Republik Indonesia dengan kerajaan Belanda terkait West New Guinea (Irian
Barat). (Baca Referensi: Melinda Janki;
West Papua dan Hak Penentuan Nasib Sendiri Dalam Hukum Internasional).
Setelah
hasil PEPERA 1969, Negara Indonesia lebih cepat dan disiplin dalam
praktek-praktek penjajahan. Akibatnya, Hak Sipil dan Politik serta Hak Ekonomi,
Sosial-Budaya bagi OAP diperlakukan seperti OAP kehilangan identitas dan jati
diri sebagai pemilik tanah Papua.
Resolusi Nomor 2504
dan diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 7 tahun 1971,
kemudian dalam pembentukan UU Oleh Presiden Republik Indonesia, Nomor: 12 Tahun
1969 (12/1969), pada tanggal 10 September 1969 (Jakarta), Sumber: LN 1969/47;
TLN NO. 2907. Tentang, Pembentukan Provinsi Otonom Irian Barat dan
Kabupaten-Kabupaten Otonom di Provinsi Irian Barat.
Presiden Republik
Indonesia menimbang bahwa sebagai tindak lanjut dari hasil PEPERA yang
menetapkan Irian Barat tetap merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) dan untuk kepentingan pelaksanaan pemerintahan di Irian Barat yang
efektif, demi kemajuan rakyat di Irian Barat, dipandang perlu Propinsi Irian
Barat beserta Kabupaten-kabupatennya yang dibentuk dan diatur berdasarkan
Penetapan Presiden No. 1 tahun 1962, Penetapan Presiden No. 1 tahun 1963,
Keputusan Presiden No. 57 tahun 1963, Undang-undang No. 5 tahun 1969, segera
diatur kembali sebagai Daerah-daerah Otonom, sesuai dengan ketentuan yang
tercantum dalam pasal 6 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No.
XXI/MPRS/ 1966.
Imigran
atau sering disebut transmigrasi merupakan warga buangan oleh penguasa kolonial
Indonesia. Mereka adalah korban. Mereka telah kehilangan tanah asalnya hanya
karena, perluasan imperialisme melaui pembangunan industri-industri. Juga,
korban politisasi “NKRI Harga Mati” oleh penguasa Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) yang menutup rapih wajah pemodal (Kapitalis). Penipuan publik,
pengalihan isu, pengalihan pola fikir, menutup rapih sejarah Papua, menutup
rapih Ilegalnya Negara Indonesia di teritori Papua Barat, mengalihkan kurikulum
berbasis Imperialisme. Semua itu karena, wajah asli penguasa Negara Indonesia
yang memberi keuntungan pada Kapitalisme.
Akibat
dari semua itu, saat ini rakyat Papua telah kehilangan Manusia dan Karakter Olah Tanah, Tatanan Sosial dan Budaya, Tanah
Pertanian dan Hewan Ternak, Ekosistem dan Marga Satwa, Laut dan Isinya, Hutan
dan Tanah Adat, Makanan dan Bahan Pokok. Suara rakyat dibungkam amunisi militer
dan jeruji besi. Sehingga, rakyat memilih diam. Semua unsur ter-politisasi
“NKRI” hanya karena, trauma, takut, dan takut tidak diberi kesempatan untuk
mendapatkan kebutuhan ekonomi.
Rantai penderitaan rakyat bukan karena, rakyat lapar
dan haus atau lebih kasarnya rakyat miskin. Jika, kita memahami akarnya bahwa
penguasa Negara Indonesia mementingkan Kapitalisme sehingga, rakyat mengalami
ketidak adilan dan pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM). Rakyat mempunyai Tanah
dan Air, apakah rakyat lapar dan haus. Rakyat mempunyai hasil bumi, apakah
rakyat miskin. Lantas, siapakah wajah penguasa.
Hari
ini rakyat kehilangan tanah, air, isi bumi dan hasil bumi. Karena, trauma, takut, dan takut tidak diberi kesempatan
untuk mendapatkan kebutuhan ekonomi dari penguasa (penguasa Negara Indonesia
dan Kapitalisme, selanjutnya dibaca penguasa). Rakyat harus berubah menjadi
munafik untuk bisa mendapatkan uang agar menghidupi kebutuhan sehari-hari dan
biaya pendidikan. Jikalau, kesehatan terganggu maka rumah sakit bukan tempat
penyembuhan. Melainkan, tempat pemerasan sama dengan dunia pendidikan.
Dampak
kolonisasi dan Pemodal yang terus mencari keuntungan dalam Imperialisme hingga
jumlah penduduk OAP menurun drastis. Dilihat dari Pembunuhan secara fisik
maupun sistematis terhadap OAP dan Pembatasan pada Rahim Perempuan Papua untuk
mereproduksi keturunan. (Pantauan dan diskusi, Referensi: angka kelahiran yang berkurang dan angka kematian yang meningkat.)
Sumber data oleh Jim Elsmslie,
sebuah laporan dari Universitas Sydney pada tahun 2011. Dari tahun 1971,
penduduk orang Papua; 887.000 jiwa dan Pendatang; 36.000 jiwa, dengan jumlah
keseluruhan penduduk; 923.000 jiwa. Pada tahun 1990, penduduk orang Papua;
1.215.897 jiwa dan pendatang; 414.210 jiwa, dengan jumlah keseluruhan penduduk;
1.630.107 jiwa. Pada tahun 2005, penduduk orang Papua; 1.558.795 jiwa dan
pendatang; 1.087.694 jiwa, dengan jumlah keseluruhan penduduk; 2.646.489 jiwa.
Pada tahun 2011 data penduduk orang Papua; 1.700.000 jiwa dan Pendatang;
1.980.000 jiwa, dengan jumlah keseluruhan 3.680.000 jiwa.
Jika, hal ini dibiarkan maka
penduduk pendatang akan mendominasi dan penguasa Indonesia akan mempolitisasi
rakyat indonesia yang jelas-jelas ditindas oleh presidennya sendiri hingga
dibenturkan dengan rakyat bangsa Papua.
0 thoughts on “Perubahan Politik Indonesia, Skenario PEPERA 1969”