BREAKING NEWS
Search

Demokrasi: “Pengasingan” dan “Kekerasan” Sebagai Partisipasi Politik di Papua

A. E. Imbir (Foto: Dok. Prib/KM)
Oleh: A. E. Imbiri

Opini - (KM) Demokrasi
 
[1] Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. definisi demokrasi secara umum tersebut datang dari Abraham Licon, presiden amerika ke 16. Pandangannya tersebut tersugestik ke-dalam kerangka berpikir masyarakat secara menyeluruh terutama di negara-negara penganut paham demokrasi. Jauh sebelumya demokrasi hadir melalui pemikiran para filosuf yunani, eksistensinya diadopsi sebagai paham bernegara terjadi semenjak era refolusi masyarakat barat di abad 18-20an (Rr.Syarifal S. : 40). Di era moderen hampir tercirikan pada berbagai negara di belahan bumi. Termasuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada era moderen kini demokrasi sebagai sebuah paham telah tercermin melalui praktek sistem politik yang semakin dewasa dan tidak bisah terhelakan dari keikutsertaan seluruh lapisan masyarakat dalam proses politik sebuah sistem politik berciri khas demokrasi.

Eera moderen Joseph Schumpeter (1942), mengemukakan rumusan terpenting dari demokrasi identikan serupa praktek kelembagan yang erat kaitannya dengan kekuasaan dan pengambilan keputusan sebagai upaa untuk memperoleh suara rakya. [2] Pandangan tersebut tidak terlepas dari praktek-praktek partisipasi dalam bangunan sebuah sistem politik Michael Rush dan Phillip Althoff (Pengantar Sosiologi Politik:2011). Keduanya telah memetahkan hirarkhi bentuk partisipasi politik anataranya; pada puncak hirarkhi terdapat orang-orang yang menduduki jabatan politik, berikutnya para pencari jabatan politik atau adminsitrasi, keanggotaan aktif suatu organisi, keanggotaan pasif suatu organisasi, keanggotaan aktif organisasi semu politik, keanggotaan pasif organisasi semu politik, partisipasi rapat umum, demostrasi dan sebagainya, Pertisipasi dalam diskusi politik informal minat umum dalam politik, dan apati total terhadap pemerintah. Selain susunan partisipasi poltik secara hirarkhi, keduanya secara hati-hati telah mengeluarkan “keasingan” dan “kekerasan” dari susunan hirarkhi pasrtisipasi politik.[3] Kedua bentuk partisipasi tersebut tidak mendapat tempat sebagai bentuk ideal dari partisipasi secara hirarkhi dalm sistem politik berdasar pada imaji kekayaan intelektual keduaanya.

Bertolak dari sugesti tersebut posisi Papua sebagai bagian dari teritori Indonesia yang hingga kini masih terselimuti kompleksitas beragam permasalahan. Situasi tersebut berdampak pada iklim politik Papua yang tidak terpisahkan dari bentuk partisipasi politik keduanya (keasingan dan kekerasan). Penjabaran “keasinanga” dan “kekerasan” sebagai bentuk partisipasi politik di Papua dijabarakan sebagai berikut.

Keasingan atau Pengasingan Sebagai Partisipasi Politik di Papua

Konteks iklim Politik Papua “keasingan” tercirikan melalui hadirnya diaspora Papua/tokoh pergerakan OAP di Luar Negeri. Keberadaannya semakin solit, berjejaring dengan kelompok-kelompok Organisasi Papua Merdeka di Papua dan mengusung refereendum sebagai agenda akhir dari arah sepak terjangnya. Selain itu kaum diaspora papua juga menggalang dukungan internasional terutama terkosentrasi di wilayah Oceania/Pasifik selatan dan Eropa. Antara kedua kawasan hubungan diaspora dan negara-negara oceania cukup di perhitungkan dan berdampak buruk bagi ke-Indonesiaan.

Aktivitas partisipasi “keasingan” merupakan ancaman eksternal yang perlu mendapatkan perhatian tersendiri dan tindakan kongkrit guna membendung sepak terjangnya. Deputi I Koordinasi Politik Dalam Negeri, dalam acara launching executive summary bertema Papua yang diselegarakan LIPI di Jakarta, Selain pembanguna infrasturuktur, kesehatan dan ekonomi kerakyatan. Pemerintah melalui kementerian Luar Negeri Repoblik Indonesia telah melakukan dimplomasi opensif sebagai upaya meredam aktivitas diaspora Papua. Langkah pemerintah melalui Kemenlu merupakan upaya membendung ancama eksternal bagi Negra melalui tindadakan-tindakan berupa diplomasi ofensif. Terutama di kawasan pasifik selatan yang memiliki ikatan psikologis dan kesamaan-kesamaan agama dan budaya dengan Masyarakat Papua penghuni bagian barat dari Pulau Papua dan berbatasan dengan PNG.

Kekerasan Sebagai Partisipasi Politik di Papua

Seperti telah di jabarakan Michael Rush dan Phillip Althoff selain “keasingan” terdapat “kekrasan” sebagai bentuk partisipasi dalam bangunan sistem politik. Pandangan tersebut bila digunakan untuk meneropong dimensi iklim politik Papua tidak bisah tidak sangat erat kaitannya dengan benturan antara nilai-nilai yang telah mendasari terbentuknya sikap politik masing-masing aktor. Saling mempertahankan sikap politk berpengaruh terhadap ruang partisipasi dan tidak terhelakan dari konflik sebagai akibat benturan antara aktor yang terlibat secara intens.

Dapat dilihat ancaman eksternal dan internal terhadap eksistensi Negara. Aktivitasnya baik di dalam maupun di luar negeri telah menjebak Pemerintah kedalam drama konflik berkepanjangan. Benturan atara aktor pro-kemerdekaan dan Pemerintah (Aparat TNI/Polri) tidak terhelakan dari praktek-praktek kekerasan. Pergerakan Papua beradah di bawah payung United Liberation Mofement of West Papua dengan target refrendum sebagai agenda akhir. Sementara Pemerintah melalui Aparat (TNI/Polri) dengan jargon NKRI Harga Mati mempertahankan teritori kedaulatan dari sabang hing meroke Papua. Bagi Pemerintah kehadiran ULMWP sadalah ancaman terhadap nilai-nilai Idiologi Pancasila. Dan begitu pulah sebaliknya ULMWP menyakini aktivitas pemerintahan (Aparat TNI/Polri) di Papua merupakan bentuk-bentuk praktek penjajahan di Papua. Dalam mempertahanan nilai masing-masing sering menjadikan kekerasan sebagai jalan keluar solusi penyelesaian benturan antara keduanya.

Jauh sebelum kehadiran ULMWP sebagai sebuah struktur organisasi yang memayungi organisasi-organisasi papua merdeka. Praktek kekerasan sebagai bentuk partisipasi dalam bangunan sisitem politik tidak bisah dipisahkan dari kehidupan masyarakat di Papua. seperti diketahui serentetan dugaan pleangaran HAM antaranya; Penyanderaan Mapenduma (09 Januari 1996), Kerusuhan Biak (02 s/d 06 Juli 1998), Pembunuhan Theys H Eluay (10 November 2001), Peristiwa Paniai (14 Juni 2012). Selain itu kekerasan juga sebagai dampak dari upaya mempertahankan sikap politik gerakan pro-kemerdekaan telah berujung pada Penyerangan Polsek Abepura (7 Desember 2000), Peritiwa Uncen berdarah berdampak pada tewasnya Angota POLRI (16 Maret 2006), dst. [4] Kekerasan sebagai solusi/jalan keluar bagi para aktor telah menciptakan konflik berkepanjangan di Papua.

Tidak ditemukannya titik temu antara aktor-aktor yang terlibat secara intens telah meletakan Papua kedalam konflik penuh dramatis. Konteks seperti inilah yang diyatakan oleh Clymer Rodee. dkk (Pengantar Ilmu Politik:2014), “..Pemerintah bisa menindas warga nergara (pemberontak) menggunakan dalil ketuhanan raja (kekuasaan tertinggi) atau kehendak sejarah, tapi para pemberontak bisa membenarkan tindakan kekerasan mereka dengan bersandar pada prinsip hak-hak dasar atau kehendak yang kuasa.[5]” Sulit meletakan kebenaran diantara keduanya dan kesemuanya berlangsung dibawah bayang-bayang demokrasi. (A. E. Imbiri)

Politik Kaum Muda dan Diaspora Papua: Updating Papua Road Map” bertemap di Auditorium LIPI

Daftar Pustaka
 
[1] Penulis Seorang Akademisi.
[2] Joseph Schumpeter, yang di kutip kembali Dr. Syarifial s., Dkk, 2011, Pengantar Dasar Ilmu Politik (Bogor :Ghalilea Indonesia) Hal. 40,
[3] Michael Rush dan Phillip Althoff, 2011 Pengantar Sosiologi Politik, (Jakarta: Raja Grafindo Persada) hal. 128
 
1. Joseph Schumpeter, yang di kutip kembali Dr. Syarifial s., Dkk, 2011, Pengantar Dasar Ilmu Politik (Bogor :Ghalilea Indonesia) Hal. 40,
 
2. Michael Rush dan Phillip Althoff, 2011 Pengantar Sosiologi Politik, (Jakarta: Raja Grafindo Persada) hal. 128

3. Dikutip dari materi Paulus Waterpow, Kapolda Papua, disampaikan dalam launching executive summary “Proses Perdamaian

4. Dikutip dari materi Paulus Waterpow, Kapolda Papua, disampaikan dalam launching executive summary “Proses Perdamaian, Politik Kaum Muda dan Diaspora Papua: Updating Papua Road Map” bertemap di Auditorium LIPI
 
5. Ibid. Hal 105

Editor: Frans Pigai



nanomag

Media Online Kabar Mapega adalah salah situs media online yang mengkaji berita-berita seputar tanah Papua dan Papua barat secara beragam dan berimbang.


0 thoughts on “Demokrasi: “Pengasingan” dan “Kekerasan” Sebagai Partisipasi Politik di Papua