(Foto, Ilustrasi/KM) |
Sudah lama aku tidak menulis surat untukmu, dan beberapa hari ini aku tidak mendengar kabar tentangmu. Tapi tadi pagi kau mengirim sebuah pesan singkat yang cukup mengagetkanku: tersesat hingga puluhan kilo meter dari tempat semula Nona berada—tanpa sadar. Sebenarnya apa yang terjadi padamu? Apakah Nona sedang mengalami gangguan psikologis?
Sejak pertama bertemu, aku sudah melihat karakter Nona yang labil dan paranoid, sering berubah-ubah pikiran, dan terkadang memperlihatkan kepribadian “yang bukan dirimu”. Dalam psikologi, ini biasa disebut dengan istilah “gangguan identitas disosiatif”, biasanya akibat trauma parah di masa kanak-kanak dan remaja; mengalami peristiwa traumatik yang cukup ekstrem dan terjadi berulang kali, sehingga membentuk dua atau lebih kepribadian yang berbeda, masing-masing memiliki memorinya sendiri; memiliki kepercayaan, perilaku, pola pikir dan cara pandangnya sendiri; setidaknya dua kepribadian sedang memegang kendali penuh atas tubuhnya. Nona, apakah kau menganggap analisisku terhadapmu ini berlebihan?
Teori psikoanalisa Freud menjelaskan bahwa trauma pada masa kanak-kanak merupakan peristiwa paling berpeluang bagi terbentuknya gangguan identitas disosiatif. Pada masa itu kepribadian mulai berkembang dan terbentuk. Ketika terjadi pengalaman buruk, pengalaman-pengalaman tersebut akan tertimbun di alam bawah sadar. Dan memori dari pengalaman yang tertimbun di alam bawah sadar itu dapat menciptakan sosok pribadi lain saat si penderita tidak mampu mengatasinya, saat ia tidak bisa menghadapi sebuah kecemasan yang luar biasa.
Nona, saat berada di sampingmu, aku mendapati beberapa gejala yang memperkuat analisisku terhadapmu ini: sikap dan perilaku yang sering berlawanan dengan dirimu yang sebelumnya (semula); fobia (ketakutan yang berlebihan); sakit kepala parah; tiba-tiba marah “tanpa sebab”; serangan panik; halusinasi; sikap asosial (atau gampang tidak suka dengan orang lain). Semoga analisisku salah. Tapi jika benar, aku akan menemanimu untuk melakukan serangkaian terapi. Jangan-jangan “identitas disosiatif”-mu masih ada hubungannya dengan represi ekstrem yang pernah diterima oleh keluargamu dan masyarakat Papua pada umumnya?
Aku tidak percaya dengan terapi yang dilakukan oleh para dokter jiwa terhadap pengidap “identitas disosiatif” dengan cara psikoterapi dan hipnosis: membawa pikiran kembali ke peristiwa masa lalu dengan mengakses kenangan-kenangan traumatiknya, harapannya si penderita akan menyadari bahwa bahaya yang terjadi di masa lalu saat ini sudah tidak ada lagi, dan bahwa kehidupannya yang sekarang tidak perlu dikendalikan oleh kejadian-kejadian traumatis di masa lalu. Terapi yang tepat, menurutku (untukmu, Nona), adalah terapi Marxis: membaca, memahami dan mengintegrasikan materialisme dialektika-historis ke dalam pikiran. Hanya dengan cara itu segala penyakit mental bisa pulih total. Ya, karena persoalan psikologi sebenarnya persoalan otak. Struktur fisik otak dimodifikasi seturut respon otak terhadap lingkungannya.
Ide dan ingatan dikodekan ke dalam otak dalam bentuk perubahan kompleks pada sistem saraf. Seluruh cakupan dari lingkungan seseorang, khususnya dalam tahun-tahun pertama pertumbuhannya, secara terus-menerus meninggalkan kesan dan citra pada perilaku dan proses-proses di dalam otak. Dengan memahami materialisme dialektika-historis, semua perilaku dapat dianalisis, dan semua persoalan mengenai perilaku—yang terkait dengan sistem kerja otak—dapat diatasi.
*) Penulis adalah Aktivis Pembelah Kebenaran Sejarah Kebagsaan
Editor: Frans P
0 thoughts on “Surat Cinta Untuk Nona Carla”