Sumber Foto; Google, Perkebunan Sawit dan Kebebasan Masyarakat Adat Kerom |
Oleh: Jhe Kowaiye
I. Dasar Pikiran Penulis
Konteks pengelolaan tanah, pada prinsipnya negara tak punya hak milik sebab negara meliputi batas wilayah dan manusia yang mendiami di dalam negara itu. Arti lain negara merupakan sebuah sistem yang mengontrol sebuah wilayah, eksistensi masyarakat. Kontes indonesia yang plural, dan di diami oleh masyarakat agraris, konteks pengelolaan tanah telah di atur dalam UUPA tahun 1960 yang mengatur hak atas kepemilikan tanah, udara dan Air.
Dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960, mengatur tentang kepastian menjamin hukum agraria dan perlindungan tanah bagi masyarakat Indonesia, secara khusus pengakuan atas hak-hak adat atas tanah. Dalam amandemen kedua UUD 1945 pada tahun 2000 mengakui keberadaan ‘masyarakat hukum adat’ (pasal 18b). Undang-undang tentang hak asasi manusia (nomor 29 tahun 1999) menyebutkan bahwa hak ulayat sebagai bagian dari identitas budaya masyarakat adat, layak di akui dan di lindungi (pasal 6). Sebuh peraturan Menteri tahun 1999 tentang hak ulayat, bahkan memuat aturan tentang mekanisme pendaftran dan penentuan batas-batas wilayah tanah ulayat. Dan pada tahun 2004 tentang pengelolahan sumber daya agraria (yang di maksudkan untuk menggantikan UUPA) tidak hanya mengakui hak ulayat, tetapi juga mengatur bahwa hukum adat seharusnya di pakai sebagai dasar pengaturan sumber daya alam (pasal 5 dan 8).
II. Latar Belakang
Konflik-konflik yang terjadi di dalam masyarakat sosial, esensinya di sebabkan oleh sebuah kontradiksi. Hal fundamental memanifestasi konflik yang terus terjadi hingga hari ini adalah persoalan pengolahan tanah oleh negara. Konteks Negara, dalam hal ini penetapan Undang-undang penanaman Modal Asing (UU No.1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing dan No 11 tahun 1967 tentang pokok-pokok Pertambangan).
Dengan adanya izin negara untuk membuka lahan usaha bagi investor asing, pada tahun 1967 telah berlangsungnya kontrak karya perusahaan raksasa milik Amerika Serikat (AS), PT Freeport Indonesia. Juga perusahaan, dan pertanian, dan industri (milik investor asing juga lokal) di buka lahan di mana-mana di nusantara ini.
Di Papua, selain pertambangan emas (PT FI),kurang lebih ada 20[1]investasi asing dan lokal di Papua, diantaranya:
Yakni: 1). BP dari UK, penghasil LNG di Teluk Bintuni: Tangguh Unit, Papua dan masih beroperasi. Conoco Phillips dari USA, penghasil LNG di Warim, Papua dan telah eksploitasi.CNOOC dari Cina, penghasil LNG di Teluk Bintuni: Tangguh Unit, Papua dan masih beroperasi.ECR Minerals dari UK, penghasil Emas di Sungai Degeuwo, Paniai-Papua dan masih beroperasi. Freeport McMoran dari USA, penghasil Emas dan Tembaga di Timika: Grasberg Mine, Papua dan masih beroperasi. Hillgrove Resources dari Australia, penghasil Emas di Kepala Burung Peninsula, Papua dan telah eksploitasi. Killara Resources dari Australia, penghasil Batu Bara di Kepala Burung Peninsula, Papua dan Perusahaan ini baru diberitahukan. KG dari Jepang, penghasil LNG di Teluk Bintuni: Tangguh Unit, Papua dan masih beroperasi. Paniai Gold dari Australia, penghasil Emas di Sungai Degeuwo, Papua dan masih beroperasi.PT. Akram Resources dari Indonesia, penghasil Emas di Kepala Burung Peninsula, Papua dan telah eksploitasi. PT. Anugerah Surya Indontama dari Indonesia, penghasil Nikel dan Kobalt di Raja Ampat: Kawe Island, Papua dan masih beroperasi.PT. Anugerah Surya Pratuma, penghasil Nikel dan Kobalt di Raja Ampat: Kawe Island, Papua dan masih beroperasi. PT. Kawe Sejahtera dari Indonesia, penghasil Nikel dan Kobalt di Raja Ampat: Kawe Island, Papua dan masih beroperasi. MI Berau dari Jepang, penghasil LNG di Teluk Bintuni: Tangguh Unit, Papua dan masih beroperasi. Nippon Oil dari Jepang, penghasil LNG di Teluk Bintuni: Tangguh Unit, Papua dan masih beroperasi.Queensland Nickel dari Australia, penghasil Nikel dan Kobalt di Raja Ampat, Papua dan masih mengimpor-impor Nikel. Rio Tinto dari Australia, penghasil Emas dan Tembaga di Timika: Grasberg Mine, Papua dan masih beroperasi. Santos dari Australia, penghasil Oli di Kau, Cross Catalina, Papua dan sudah mengeksploitasi. Talisman Energy dari Canada, penghasil LNG di Teluk Bintuni, North Semai, Papua dan masih beroperasi. West Wits Mining Ltd dari Afrika Selatan, penghasil Emas, LNG di Sungai Degeuwo,Paniai-Papua dan masih beroperasi (daftar perusahaan asing, nonton BloombergTV).
Selain itu, kompeksnya, keberadaan perkebunan kepala sawit dapat di temukan di Kabupaten Kerom, Nabire, Merauke, Timika, Sentani, Bintuni, dan Pegunungan Bintang.
Persoalan tanah adalah persoalan yang sensitif dan eksplosif. Itu sebabnya konflik-konflik horizontal, atau juga negara dan masyarakat agraris, sering terjadi dan sulit di minimalizir dalam proses penyelesaiannya. Sebab tanah adalah properti bagi investor, masyarakat pribumi, dan negara. Tanah juga yang menentukan proses kehidupan makhluk hidup.
Maka dalam pembahasan berikut ini penulis menitik beratkan pada persoalan tanah adat di Papua, khususnya di area perkebunan kelapa Sawit, PT PN II di Distrik Arso, kabupaten Kerom, Kota Jayapura, Papua.
Terkait persoalan tanah, khususnya tanah adat di Kerom, Jayapura Papua, menjadi titik perhatian persoalan lainnya pada umumnya di Papua. Maka dalam tulisan ini akan memberikan sedikit penjelasan tentang orang papua, masyarakat adat, dan hubungannya dengan tanah dengan manusia Papua, tak hanya penimbunan komoditi hidup tetapi apa lebih dari itu?Dan kondisi keberadaan masyarakat di areal perkebunan kelapa sawit.
III. Tanah Adat Bagi Masyarakat Kerom
Secara Inheren hubungan antara masyakart Arso, Kerom, dengan tanah sangat signifikan. Signifikansinya, tanah bagi mereka (masyakarat adat Arso, Kerom) bukan hanya sebatas tanah-hutan menyediahkan barang mentah, potensi alam yang menjamin hidup mereka. Tetapi dari segi filosofi dan religiusnya masyakarat arso tergolong dalam masyarakat etnobiologi. Tanah tidak hanya membuat seseorang bertahan hidup secara fisik, namun juga spiritual (Bambang,2003; Wiyata, 2013)[2].
Selain itu tanah adalah harta warisan yang di turunkan dari moyang mereka, maka peluang untuk di perjual-belikan di identifikasi sangat kecil. Lagi pula tanah adat di Arso telah dibagi berdasarkan klan, dan persuku di atasnya. Tentunya tak ada tanah kosong (tanpa kepemilikan). Jauh lebih luas lagi, pulau Papua pun terbagi dalam wilayah-wilayah dalam skala besar. Kepemilikan tanah pun terdiri dari ribuan marga, bahkan 340an suku-suku yang mendiami di pulau papua. Lalu dari suku-suku besar ini kemudian tanah di bagi per marga, dari marga di bagi per keturunan darah (patriakri).
Maka prinsipnya tanah Papua, khususnya tanah Arso tak ada tanah kosong; dan bagi orang Arso, tanah bukan hanya sebatas sumber penyediaan kelangsungan hidup-hidup, lebih dari itu adalah hubungan spritualitas lokal, yang juga berhubungan langsung pada kelangsungan hidup mereka.
Perkebunan Kelapa Sawit di Arso dan memanifestasi Kontradiksi
Sekitar tahun 1981 PTPN II Arso mulai dibuka. Diawali dengan penebangan, pembersihan hutan hingga penanaman kelapa sawit dilakukan perusahaan. Masyarakat transmigrasi dan warga lokal bahu membahu membantu melakukannya dalam pemeliharaan dan produksi.
Perusahaan tersebut beroperasi secara keseluruhan, tanah yang diambil oleh perusahaan PT Tandan Sawita Papua dari beberapa kampung di Distrik Arso Timur mencakup luas 18.337,90 hektare. Kompensasi yang di bayarkan untuk hak ulayat dari 8 kereth tersebut sebesar kurang lebih Rp 348.000 per hektare atau hanya sekitar 38 rupiah saja per meter perseginya. Delapan kereth yang menyerahkan tanahnya kepada pihak perusahaan adalah kereth Putuy, Kera, Jombori dan Itunggir dari kampung Yetti, kereth Bugovkir dan Konondroy dari kampung Suskun, serta kereth Bewangkir dan Enef dari kampung Kriku.
Upaya Pemerintah Daerah Provinsi Papua (baca: Pemda) dalam proses beroperasian perkebunan kelapa Sawit menjadi sangat penting. Hal tersebut berawal dari slogan janji-janji yang mengiming-imingkan masyarakat adat Arso. Seperti yang diwartakan melalui beritabumi.or.id[3] (2008), kenang Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Kerom, Longginus Fatagur, “Empat tahun lagi saat sawit sudah berproduksi, semua masyarakat disini akan berdasi, hidup enak dan berkecukupan. Ada banyak sekolah dan guru, anak-anak akan mudah sekolah. Ada rumah sakit, air bersih dan rumah yang besar.” Janji oleh pihak perusahaan Sawit.
Selain itu Pidato Gubernur Basnabas Suebu[4]di tahun 2007 mengatakan bahwa, “Kita sudah menghitung dengan cermat. Dua juta hektar kelapa sawit yang 50 persennya dialokasikan untuk petani plasmaakan memberikan pekerjaan kepada 250.000 KK penduduk Papua. Dengan alokasi 4 Hektar kebun kelapa sawit per keluarga, dan rata rata tiap keluarga menerima Rp. 5 – 7 juta per bulan. Suatu penghasilan yang jauh diatas gaji seorang PNS yang bekerja di kantor pemerinta.” Namun janji-janji itu tidak di realisasikan sejak perusahaan sawit beroperasi hingga tahun 2007 dan hingga saat ini.
Dalam hal ini pemerintah mampu meyakinkan kenyataan yang hingga hari ini belum terealisasikan. Pemerintah tak mampu memberikan kewaspadaan terhadap dampak negatif yang di berikan oleh keberadaan Perkebunan Sawit di kemudian hari (yang di hadapi saat ini).
Dalam proses perjalanannya banyak problematik sosial yang menimpah masyarakat Arso. Dalam Recorder Voice Ketuan Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Keerom, Longginus Fatagur, menurutnya sejak awal ada kesalahan oleh pihak perusahaan dan pemerintah dalam proses masuknya. Ketika perusahaan dan masyarakat adat (di dorong oleh pemerintah provinci) melakukan proses pelepasan tanah adat, setiap kepala suku sepakati melepaskan tanah seluas 5000 hektar. Namun pihak Perusahaan kepala sawit telah memanipulasi data. Mereka (perusahaan) menambahkan angka nol (0) di menjadi 50. 000 hektar tanah.
Hal ini juga awal memicuh bangkitnya gerakan-gerakan sosial yang memprotes terhadap pihak perusahaan dan pemerintah. Namun pihak pemerintah dan perusahaan beserta militernya selalu menstigma separatis, makar, dan sebagainya. Maka aksi protes tersebut selalu berakhir dengan pertumpahan darah, penembakan, penangkapan, dan pemenjarahan.
IV. Keterasingan: Dampak Keberadaan Sawit Terhadapa Masyarakat Arso
Dengan hadirnya perkebunan sawit, tentunya membawa perubahan dalam struktur tatanan masyarakat adat dan keberadaan sosial masyarkat keerom. Pertama, kehilangan hutan, ekologi, Sagu (makanan Pokok). Kedua, Transmigasi dan petani sagu menjadi buru sawit. Ketiga, Perempuan Pekerja Seks Komersial (PSK) dan Penyakit HIV/AIDS. Keempat, Upah Murah dan Ketergantungan.
Menurut peneliti Edy Rosariyanto, OFM[5](2007), Hutan yang dibuka untuk perkebunan sawit saja mencapai 10.700 hektar, maka sebagian besar potensi alam seperti sagu, kayu, babi, ikan, burung semakin sulit ditemukan, padahal kekayaan alam tersebut telah terbukti mampu memberikan kehidupan bagi masyarakat orang Arso.
Pertama, Kehilangan Tanah, Hutan, dan Petani jadi Buru. Kehilangan hutan dan potensi alam tersebut, mengakibatkan keterasingan dan ketergantungan secara corak produksi. Hal itu mengalami kemajuan berpotensi ketenagaan kerja bagi perkebunan sawit. Mengutip di beberapa media, masyarakat adat yang sudah tak memiliki tanah, mereka menjual tenaga kerjanya kepada perusahaan. Para wanita dan pria petani telah menggantikan pekerjaan lama dengan pekerjaan baru yang tentunya menguras banyak tenaga[6]. Dalam hal ini, proses penyesuaian dengan metode perkebunan yang baru, waktu dan ketetapan peraturan perkebunan, hingga menggantungkan sumber hidup kepada upah murah (Konteks Upahan, akan di bahas dibawa).
Kedua, Transmigrasi, PSK dan Miras.Di area perkebunan Sawit juga di (ter)sediahkan wanita Pekerja Seks Komersial (PSK). Wanita-wanita itu bermunculan ketika para pekerja (petani sawit) menerima upah kerjaan. Dampaknya, kutip cerita di media downtoearth-indonesia.org (2014) mengakibatkan seks bebas[7] yang menimbulkan penyakit HIV.
Kedatangan PSK ini pun di paketkan dalam program transmigrasi yang di datangkan dari luar Papua. Transmigrasi, selain program dari Pemerintah daerah, juga perusahaan mendatangkan transmigrasi ketenagaan kerja di perkebunan dari luar Papua. Hal itu bersamaan di paketkan dengan Tempat hiburan, PSK, dan Miras.
Upah Murah dan Ketergantungan
Dulu masyarakat selalu mengambil bahan mentah untuk makan dari hutan, mulai dari sagu, sayur genemo (melinjo), - (tanaman ini cukup penting karena benihnya bisa dimakan pengganti kacang-kacangan, daunnya untuk sayur dan kulit pohonnya adalah bahan baku untuk membuat noken.) Mereka juga berburu babi dan kusu (kuskus) tanah untuk bahan makan. Hasil kebun seperti pinang dijual ke kota yang pendapatannya juga tidak terlalu besar.
Setelah perusahaan masuk mereka tidak bisa dapat bahan makan dari hutan karena hutan mereka sudah menjadi milik perusahaan dan sudah dibabat untuk membuka kebun kelapa sawit. Uang yang mereka hasilkan dari bekerja sebagai buruh di perusahaan digunakan untuk belanja bahan makan di Arso Kota berupa beras dan lauk-pauk. Untuk lauk mereka makan ikan, tahu, tempe dan daging ayam, walaupun jarang karena harga daging ayam lebih mahal. Orangtua lebih senang makan makanan tradisional jika ada, tetapi anak-anak kecil lebih suka makan nasi karena mereka sudah terbiasa makan nasi sejak bayi. Hanya ada satu kios kecil di Kampung Suskun tetapi tidak menjual kebutuhan dengan lengkap dan harganya juga lebih mahal. Selain itu, kios tersebut lebih sering ditutup karena tidak ada barang jualan.
Upahan
Menurut data penelitian Edy Rosariyanto, OFM, Kehadiran kelapa sawit yang semula diharapkan mampu memberikan peningkatan pendapatan, saat ini justru menyusahkan. Jika melihat pendapatan kotor perbulan yang diperolehnya memang besar, berkisar Rp 1, 6 juta per KK/bulan. Jumlah tersebut kemudian dipotong dengan ongkos angkutan sawit dari kebun ke pabrik Rp 700.000, ongkos buruh untuk menurunkan buah dan pikul Rp 400.000, maka sisa bersih yang diterima petani Rp 501.000 per KK/bulan.
Ini belum termasuk uang rokok petugas pabrik sebesar Rp 100.000. Antrian yang panjang saat truk berisi tandan-tandan sawit masuk ke pabrik, menyebabkan petani harus mengeluarkan biaya tambah bagi petugas pabrik. Pabrik juga memprioritaskan truk yang berasal dari lahan miliknya ketimbang truk yang berasal dari lahan plasma milik petani. Hal ini menyebabkan ongkos truk semakin membengkak. Dengan pertimbangan ini kemudian banyak petani pribumi yang mengontrakkan lahannya sebesar Rp 300.000 perbulan dibandingkan mengolah sendiri.
Dari hasil penelitian ini ternyata sekitar 95 persen petani asli Arso mengontrakkan lahannya Rp 300.000 per bulan atau berkisar antara Rp 10.000 sampai dengan 16.700 per KK/hari, karena hanya ada selisih Rp 200.000 daripada mengolah sendiri[8].
Dengan pendapatan seminim ini, mereka kemudian memanfaatkan lahan pekarangan yang kecil, tanpa menggunakan pupuk kimia dan pestisida dengan mengembangkan pisang, keladi, singkong dan pinang.
Dalam keadaan seperti ini, bukan saja petani pribumi yang menderita, petani non pribumi (transmigran) juga menderita. Dengan pendapatan hanya Rp 501.000 per bulan, mereka harus memenuhi kebutuhan pangan, menyekolahkan anak-anak, berobat dan lain sebagainya. Namun petani non pribumi, seperti Jawa, Timor, Bali dan Masyarakat Papua dari pegunungan tengah memiliki keterampilan tentang pengelolaan pertanian yang lebih baik dibandingkan masyarakat pribumi Arso yang peramu. Mereka bisa lebih survive dengan memanfaatkan lahan pekarangan yang ada.
Kemudian, ketika hak guna usaha perkebunan Sawita Papua berakhir, tanah tidak akan dikembalikan kepada komunitas melainkan kepada pemerintah. Walaupun keputusan Mahkamah Konstitusi tahun lalu menetapkan landasan hukum yang jelas atas kepemilikan masyarakat adat akan hutannya, praktiknya diragukan apakah akan berpihak kepada masyarakat karena pemerintah daerah cenderung mendahulukan perusahaan ketimbang masyarakat setempat. Maka dari itu, kelompok masyarakat sipil Papua menentang investor dan pemerintah daerah mereka sendiri terkait kebijakan yang merugikan masyarakat adat Papua.
* Penulis adalah Kader Anggota Aliansi Mahasiswa Papua (AMP)
Sumber Referensi:
1). http://www.ampnews.org/2016/03/sejarah-papua-barat-dan-fakta-di-balik.html
2).Indoprogress.com/2016/09/akumulasi-primitif-dan-masalah-agraria-di-pesisir-sumenep/
3).http://beritabumi.or.id/jadi-petani-sawit-berdasi-hanya-mimpi-di-arso-kabupaten-keerom-papua/
4).https://tabloidjubi.wordpress.com/2008/01/23/kelapa-sawit-tak-sejahterakan-masyarakat-pir-iiarso/
5). Edy Rosariyanto, OFM peneliti dari Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Jayapura; dan dipresentasikan hasil penelitiannya pada acara ulang tahun SKP ke -10 (2007), Sabtu, 05 Juli 2007.
6). http://www.ppmn.or.id/id/microsite/item/94-cerita-sendu-buruh-kelapa-sawit-papua
7. http://www.jeratpapua.org/2016/06/07/problematika-perkebunan-sawit-di-keerom/
8). lib. Hasil penelitian oleh Edy Rosariyanto, OFM tentang upah dan ganti rugi, Sabtu, 05 Juli 2007
9). https://awasmifee.potager.org/?p=853&lang=id
10). http://www.downtoearth-indonesia.org/id/story/sawit-dan-perempuan-di-wilayah-investasi
11). http://sawitwatch.or.id/2013/05/sawit-kian-menggusur-hutan-papua/
[1] http://www.ampnews.org/2016/03/sejarah-papua-barat-dan-fakta-di-balik.html
[2]indoprogress.com/2016/09/akumulasi-primitif-dan-masalah-agraria-di-pesisir-sumenep/
[3]http://beritabumi.or.id/jadi-petani-sawit-berdasi-hanya-mimpi-di-arso-kabupaten-keerom-papua/
[4]https://tabloidjubi.wordpress.com/2008/01/23/kelapa-sawit-tak-sejahterakan-masyarakat-pir-ii-arso/
[5] Edy Rosariyanto, OFM peneliti dari Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Jayapura saat mempresentasikan penelitiannya dalam rangka ulang tahun SKP ke -10 (2007), Sabtu, 05 Juli 2007.
Konteks pengelolaan tanah, pada prinsipnya negara tak punya hak milik sebab negara meliputi batas wilayah dan manusia yang mendiami di dalam negara itu. Arti lain negara merupakan sebuah sistem yang mengontrol sebuah wilayah, eksistensi masyarakat. Kontes indonesia yang plural, dan di diami oleh masyarakat agraris, konteks pengelolaan tanah telah di atur dalam UUPA tahun 1960 yang mengatur hak atas kepemilikan tanah, udara dan Air.
Dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960, mengatur tentang kepastian menjamin hukum agraria dan perlindungan tanah bagi masyarakat Indonesia, secara khusus pengakuan atas hak-hak adat atas tanah. Dalam amandemen kedua UUD 1945 pada tahun 2000 mengakui keberadaan ‘masyarakat hukum adat’ (pasal 18b). Undang-undang tentang hak asasi manusia (nomor 29 tahun 1999) menyebutkan bahwa hak ulayat sebagai bagian dari identitas budaya masyarakat adat, layak di akui dan di lindungi (pasal 6). Sebuh peraturan Menteri tahun 1999 tentang hak ulayat, bahkan memuat aturan tentang mekanisme pendaftran dan penentuan batas-batas wilayah tanah ulayat. Dan pada tahun 2004 tentang pengelolahan sumber daya agraria (yang di maksudkan untuk menggantikan UUPA) tidak hanya mengakui hak ulayat, tetapi juga mengatur bahwa hukum adat seharusnya di pakai sebagai dasar pengaturan sumber daya alam (pasal 5 dan 8).
II. Latar Belakang
Konflik-konflik yang terjadi di dalam masyarakat sosial, esensinya di sebabkan oleh sebuah kontradiksi. Hal fundamental memanifestasi konflik yang terus terjadi hingga hari ini adalah persoalan pengolahan tanah oleh negara. Konteks Negara, dalam hal ini penetapan Undang-undang penanaman Modal Asing (UU No.1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing dan No 11 tahun 1967 tentang pokok-pokok Pertambangan).
Dengan adanya izin negara untuk membuka lahan usaha bagi investor asing, pada tahun 1967 telah berlangsungnya kontrak karya perusahaan raksasa milik Amerika Serikat (AS), PT Freeport Indonesia. Juga perusahaan, dan pertanian, dan industri (milik investor asing juga lokal) di buka lahan di mana-mana di nusantara ini.
Di Papua, selain pertambangan emas (PT FI),kurang lebih ada 20[1]investasi asing dan lokal di Papua, diantaranya:
Yakni: 1). BP dari UK, penghasil LNG di Teluk Bintuni: Tangguh Unit, Papua dan masih beroperasi. Conoco Phillips dari USA, penghasil LNG di Warim, Papua dan telah eksploitasi.CNOOC dari Cina, penghasil LNG di Teluk Bintuni: Tangguh Unit, Papua dan masih beroperasi.ECR Minerals dari UK, penghasil Emas di Sungai Degeuwo, Paniai-Papua dan masih beroperasi. Freeport McMoran dari USA, penghasil Emas dan Tembaga di Timika: Grasberg Mine, Papua dan masih beroperasi. Hillgrove Resources dari Australia, penghasil Emas di Kepala Burung Peninsula, Papua dan telah eksploitasi. Killara Resources dari Australia, penghasil Batu Bara di Kepala Burung Peninsula, Papua dan Perusahaan ini baru diberitahukan. KG dari Jepang, penghasil LNG di Teluk Bintuni: Tangguh Unit, Papua dan masih beroperasi. Paniai Gold dari Australia, penghasil Emas di Sungai Degeuwo, Papua dan masih beroperasi.PT. Akram Resources dari Indonesia, penghasil Emas di Kepala Burung Peninsula, Papua dan telah eksploitasi. PT. Anugerah Surya Indontama dari Indonesia, penghasil Nikel dan Kobalt di Raja Ampat: Kawe Island, Papua dan masih beroperasi.PT. Anugerah Surya Pratuma, penghasil Nikel dan Kobalt di Raja Ampat: Kawe Island, Papua dan masih beroperasi. PT. Kawe Sejahtera dari Indonesia, penghasil Nikel dan Kobalt di Raja Ampat: Kawe Island, Papua dan masih beroperasi. MI Berau dari Jepang, penghasil LNG di Teluk Bintuni: Tangguh Unit, Papua dan masih beroperasi. Nippon Oil dari Jepang, penghasil LNG di Teluk Bintuni: Tangguh Unit, Papua dan masih beroperasi.Queensland Nickel dari Australia, penghasil Nikel dan Kobalt di Raja Ampat, Papua dan masih mengimpor-impor Nikel. Rio Tinto dari Australia, penghasil Emas dan Tembaga di Timika: Grasberg Mine, Papua dan masih beroperasi. Santos dari Australia, penghasil Oli di Kau, Cross Catalina, Papua dan sudah mengeksploitasi. Talisman Energy dari Canada, penghasil LNG di Teluk Bintuni, North Semai, Papua dan masih beroperasi. West Wits Mining Ltd dari Afrika Selatan, penghasil Emas, LNG di Sungai Degeuwo,Paniai-Papua dan masih beroperasi (daftar perusahaan asing, nonton BloombergTV).
Selain itu, kompeksnya, keberadaan perkebunan kepala sawit dapat di temukan di Kabupaten Kerom, Nabire, Merauke, Timika, Sentani, Bintuni, dan Pegunungan Bintang.
Persoalan tanah adalah persoalan yang sensitif dan eksplosif. Itu sebabnya konflik-konflik horizontal, atau juga negara dan masyarakat agraris, sering terjadi dan sulit di minimalizir dalam proses penyelesaiannya. Sebab tanah adalah properti bagi investor, masyarakat pribumi, dan negara. Tanah juga yang menentukan proses kehidupan makhluk hidup.
Maka dalam pembahasan berikut ini penulis menitik beratkan pada persoalan tanah adat di Papua, khususnya di area perkebunan kelapa Sawit, PT PN II di Distrik Arso, kabupaten Kerom, Kota Jayapura, Papua.
Terkait persoalan tanah, khususnya tanah adat di Kerom, Jayapura Papua, menjadi titik perhatian persoalan lainnya pada umumnya di Papua. Maka dalam tulisan ini akan memberikan sedikit penjelasan tentang orang papua, masyarakat adat, dan hubungannya dengan tanah dengan manusia Papua, tak hanya penimbunan komoditi hidup tetapi apa lebih dari itu?Dan kondisi keberadaan masyarakat di areal perkebunan kelapa sawit.
III. Tanah Adat Bagi Masyarakat Kerom
Secara Inheren hubungan antara masyakart Arso, Kerom, dengan tanah sangat signifikan. Signifikansinya, tanah bagi mereka (masyakarat adat Arso, Kerom) bukan hanya sebatas tanah-hutan menyediahkan barang mentah, potensi alam yang menjamin hidup mereka. Tetapi dari segi filosofi dan religiusnya masyakarat arso tergolong dalam masyarakat etnobiologi. Tanah tidak hanya membuat seseorang bertahan hidup secara fisik, namun juga spiritual (Bambang,2003; Wiyata, 2013)[2].
Selain itu tanah adalah harta warisan yang di turunkan dari moyang mereka, maka peluang untuk di perjual-belikan di identifikasi sangat kecil. Lagi pula tanah adat di Arso telah dibagi berdasarkan klan, dan persuku di atasnya. Tentunya tak ada tanah kosong (tanpa kepemilikan). Jauh lebih luas lagi, pulau Papua pun terbagi dalam wilayah-wilayah dalam skala besar. Kepemilikan tanah pun terdiri dari ribuan marga, bahkan 340an suku-suku yang mendiami di pulau papua. Lalu dari suku-suku besar ini kemudian tanah di bagi per marga, dari marga di bagi per keturunan darah (patriakri).
Maka prinsipnya tanah Papua, khususnya tanah Arso tak ada tanah kosong; dan bagi orang Arso, tanah bukan hanya sebatas sumber penyediaan kelangsungan hidup-hidup, lebih dari itu adalah hubungan spritualitas lokal, yang juga berhubungan langsung pada kelangsungan hidup mereka.
Perkebunan Kelapa Sawit di Arso dan memanifestasi Kontradiksi
Sekitar tahun 1981 PTPN II Arso mulai dibuka. Diawali dengan penebangan, pembersihan hutan hingga penanaman kelapa sawit dilakukan perusahaan. Masyarakat transmigrasi dan warga lokal bahu membahu membantu melakukannya dalam pemeliharaan dan produksi.
Perusahaan tersebut beroperasi secara keseluruhan, tanah yang diambil oleh perusahaan PT Tandan Sawita Papua dari beberapa kampung di Distrik Arso Timur mencakup luas 18.337,90 hektare. Kompensasi yang di bayarkan untuk hak ulayat dari 8 kereth tersebut sebesar kurang lebih Rp 348.000 per hektare atau hanya sekitar 38 rupiah saja per meter perseginya. Delapan kereth yang menyerahkan tanahnya kepada pihak perusahaan adalah kereth Putuy, Kera, Jombori dan Itunggir dari kampung Yetti, kereth Bugovkir dan Konondroy dari kampung Suskun, serta kereth Bewangkir dan Enef dari kampung Kriku.
Upaya Pemerintah Daerah Provinsi Papua (baca: Pemda) dalam proses beroperasian perkebunan kelapa Sawit menjadi sangat penting. Hal tersebut berawal dari slogan janji-janji yang mengiming-imingkan masyarakat adat Arso. Seperti yang diwartakan melalui beritabumi.or.id[3] (2008), kenang Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Kerom, Longginus Fatagur, “Empat tahun lagi saat sawit sudah berproduksi, semua masyarakat disini akan berdasi, hidup enak dan berkecukupan. Ada banyak sekolah dan guru, anak-anak akan mudah sekolah. Ada rumah sakit, air bersih dan rumah yang besar.” Janji oleh pihak perusahaan Sawit.
Selain itu Pidato Gubernur Basnabas Suebu[4]di tahun 2007 mengatakan bahwa, “Kita sudah menghitung dengan cermat. Dua juta hektar kelapa sawit yang 50 persennya dialokasikan untuk petani plasmaakan memberikan pekerjaan kepada 250.000 KK penduduk Papua. Dengan alokasi 4 Hektar kebun kelapa sawit per keluarga, dan rata rata tiap keluarga menerima Rp. 5 – 7 juta per bulan. Suatu penghasilan yang jauh diatas gaji seorang PNS yang bekerja di kantor pemerinta.” Namun janji-janji itu tidak di realisasikan sejak perusahaan sawit beroperasi hingga tahun 2007 dan hingga saat ini.
Dalam hal ini pemerintah mampu meyakinkan kenyataan yang hingga hari ini belum terealisasikan. Pemerintah tak mampu memberikan kewaspadaan terhadap dampak negatif yang di berikan oleh keberadaan Perkebunan Sawit di kemudian hari (yang di hadapi saat ini).
Dalam proses perjalanannya banyak problematik sosial yang menimpah masyarakat Arso. Dalam Recorder Voice Ketuan Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Keerom, Longginus Fatagur, menurutnya sejak awal ada kesalahan oleh pihak perusahaan dan pemerintah dalam proses masuknya. Ketika perusahaan dan masyarakat adat (di dorong oleh pemerintah provinci) melakukan proses pelepasan tanah adat, setiap kepala suku sepakati melepaskan tanah seluas 5000 hektar. Namun pihak Perusahaan kepala sawit telah memanipulasi data. Mereka (perusahaan) menambahkan angka nol (0) di menjadi 50. 000 hektar tanah.
Hal ini juga awal memicuh bangkitnya gerakan-gerakan sosial yang memprotes terhadap pihak perusahaan dan pemerintah. Namun pihak pemerintah dan perusahaan beserta militernya selalu menstigma separatis, makar, dan sebagainya. Maka aksi protes tersebut selalu berakhir dengan pertumpahan darah, penembakan, penangkapan, dan pemenjarahan.
IV. Keterasingan: Dampak Keberadaan Sawit Terhadapa Masyarakat Arso
Dengan hadirnya perkebunan sawit, tentunya membawa perubahan dalam struktur tatanan masyarakat adat dan keberadaan sosial masyarkat keerom. Pertama, kehilangan hutan, ekologi, Sagu (makanan Pokok). Kedua, Transmigasi dan petani sagu menjadi buru sawit. Ketiga, Perempuan Pekerja Seks Komersial (PSK) dan Penyakit HIV/AIDS. Keempat, Upah Murah dan Ketergantungan.
Menurut peneliti Edy Rosariyanto, OFM[5](2007), Hutan yang dibuka untuk perkebunan sawit saja mencapai 10.700 hektar, maka sebagian besar potensi alam seperti sagu, kayu, babi, ikan, burung semakin sulit ditemukan, padahal kekayaan alam tersebut telah terbukti mampu memberikan kehidupan bagi masyarakat orang Arso.
Pertama, Kehilangan Tanah, Hutan, dan Petani jadi Buru. Kehilangan hutan dan potensi alam tersebut, mengakibatkan keterasingan dan ketergantungan secara corak produksi. Hal itu mengalami kemajuan berpotensi ketenagaan kerja bagi perkebunan sawit. Mengutip di beberapa media, masyarakat adat yang sudah tak memiliki tanah, mereka menjual tenaga kerjanya kepada perusahaan. Para wanita dan pria petani telah menggantikan pekerjaan lama dengan pekerjaan baru yang tentunya menguras banyak tenaga[6]. Dalam hal ini, proses penyesuaian dengan metode perkebunan yang baru, waktu dan ketetapan peraturan perkebunan, hingga menggantungkan sumber hidup kepada upah murah (Konteks Upahan, akan di bahas dibawa).
Kedua, Transmigrasi, PSK dan Miras.Di area perkebunan Sawit juga di (ter)sediahkan wanita Pekerja Seks Komersial (PSK). Wanita-wanita itu bermunculan ketika para pekerja (petani sawit) menerima upah kerjaan. Dampaknya, kutip cerita di media downtoearth-indonesia.org (2014) mengakibatkan seks bebas[7] yang menimbulkan penyakit HIV.
Kedatangan PSK ini pun di paketkan dalam program transmigrasi yang di datangkan dari luar Papua. Transmigrasi, selain program dari Pemerintah daerah, juga perusahaan mendatangkan transmigrasi ketenagaan kerja di perkebunan dari luar Papua. Hal itu bersamaan di paketkan dengan Tempat hiburan, PSK, dan Miras.
Upah Murah dan Ketergantungan
Dulu masyarakat selalu mengambil bahan mentah untuk makan dari hutan, mulai dari sagu, sayur genemo (melinjo), - (tanaman ini cukup penting karena benihnya bisa dimakan pengganti kacang-kacangan, daunnya untuk sayur dan kulit pohonnya adalah bahan baku untuk membuat noken.) Mereka juga berburu babi dan kusu (kuskus) tanah untuk bahan makan. Hasil kebun seperti pinang dijual ke kota yang pendapatannya juga tidak terlalu besar.
Setelah perusahaan masuk mereka tidak bisa dapat bahan makan dari hutan karena hutan mereka sudah menjadi milik perusahaan dan sudah dibabat untuk membuka kebun kelapa sawit. Uang yang mereka hasilkan dari bekerja sebagai buruh di perusahaan digunakan untuk belanja bahan makan di Arso Kota berupa beras dan lauk-pauk. Untuk lauk mereka makan ikan, tahu, tempe dan daging ayam, walaupun jarang karena harga daging ayam lebih mahal. Orangtua lebih senang makan makanan tradisional jika ada, tetapi anak-anak kecil lebih suka makan nasi karena mereka sudah terbiasa makan nasi sejak bayi. Hanya ada satu kios kecil di Kampung Suskun tetapi tidak menjual kebutuhan dengan lengkap dan harganya juga lebih mahal. Selain itu, kios tersebut lebih sering ditutup karena tidak ada barang jualan.
Upahan
Menurut data penelitian Edy Rosariyanto, OFM, Kehadiran kelapa sawit yang semula diharapkan mampu memberikan peningkatan pendapatan, saat ini justru menyusahkan. Jika melihat pendapatan kotor perbulan yang diperolehnya memang besar, berkisar Rp 1, 6 juta per KK/bulan. Jumlah tersebut kemudian dipotong dengan ongkos angkutan sawit dari kebun ke pabrik Rp 700.000, ongkos buruh untuk menurunkan buah dan pikul Rp 400.000, maka sisa bersih yang diterima petani Rp 501.000 per KK/bulan.
Ini belum termasuk uang rokok petugas pabrik sebesar Rp 100.000. Antrian yang panjang saat truk berisi tandan-tandan sawit masuk ke pabrik, menyebabkan petani harus mengeluarkan biaya tambah bagi petugas pabrik. Pabrik juga memprioritaskan truk yang berasal dari lahan miliknya ketimbang truk yang berasal dari lahan plasma milik petani. Hal ini menyebabkan ongkos truk semakin membengkak. Dengan pertimbangan ini kemudian banyak petani pribumi yang mengontrakkan lahannya sebesar Rp 300.000 perbulan dibandingkan mengolah sendiri.
Dari hasil penelitian ini ternyata sekitar 95 persen petani asli Arso mengontrakkan lahannya Rp 300.000 per bulan atau berkisar antara Rp 10.000 sampai dengan 16.700 per KK/hari, karena hanya ada selisih Rp 200.000 daripada mengolah sendiri[8].
Dengan pendapatan seminim ini, mereka kemudian memanfaatkan lahan pekarangan yang kecil, tanpa menggunakan pupuk kimia dan pestisida dengan mengembangkan pisang, keladi, singkong dan pinang.
Dalam keadaan seperti ini, bukan saja petani pribumi yang menderita, petani non pribumi (transmigran) juga menderita. Dengan pendapatan hanya Rp 501.000 per bulan, mereka harus memenuhi kebutuhan pangan, menyekolahkan anak-anak, berobat dan lain sebagainya. Namun petani non pribumi, seperti Jawa, Timor, Bali dan Masyarakat Papua dari pegunungan tengah memiliki keterampilan tentang pengelolaan pertanian yang lebih baik dibandingkan masyarakat pribumi Arso yang peramu. Mereka bisa lebih survive dengan memanfaatkan lahan pekarangan yang ada.
Kemudian, ketika hak guna usaha perkebunan Sawita Papua berakhir, tanah tidak akan dikembalikan kepada komunitas melainkan kepada pemerintah. Walaupun keputusan Mahkamah Konstitusi tahun lalu menetapkan landasan hukum yang jelas atas kepemilikan masyarakat adat akan hutannya, praktiknya diragukan apakah akan berpihak kepada masyarakat karena pemerintah daerah cenderung mendahulukan perusahaan ketimbang masyarakat setempat. Maka dari itu, kelompok masyarakat sipil Papua menentang investor dan pemerintah daerah mereka sendiri terkait kebijakan yang merugikan masyarakat adat Papua.
* Penulis adalah Kader Anggota Aliansi Mahasiswa Papua (AMP)
Sumber Referensi:
1). http://www.ampnews.org/2016/03/sejarah-papua-barat-dan-fakta-di-balik.html
2).Indoprogress.com/2016/09/akumulasi-primitif-dan-masalah-agraria-di-pesisir-sumenep/
3).http://beritabumi.or.id/jadi-petani-sawit-berdasi-hanya-mimpi-di-arso-kabupaten-keerom-papua/
4).https://tabloidjubi.wordpress.com/2008/01/23/kelapa-sawit-tak-sejahterakan-masyarakat-pir-iiarso/
5). Edy Rosariyanto, OFM peneliti dari Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Jayapura; dan dipresentasikan hasil penelitiannya pada acara ulang tahun SKP ke -10 (2007), Sabtu, 05 Juli 2007.
6). http://www.ppmn.or.id/id/microsite/item/94-cerita-sendu-buruh-kelapa-sawit-papua
7. http://www.jeratpapua.org/2016/06/07/problematika-perkebunan-sawit-di-keerom/
8). lib. Hasil penelitian oleh Edy Rosariyanto, OFM tentang upah dan ganti rugi, Sabtu, 05 Juli 2007
9). https://awasmifee.potager.org/?p=853&lang=id
10). http://www.downtoearth-indonesia.org/id/story/sawit-dan-perempuan-di-wilayah-investasi
11). http://sawitwatch.or.id/2013/05/sawit-kian-menggusur-hutan-papua/
[1] http://www.ampnews.org/2016/03/sejarah-papua-barat-dan-fakta-di-balik.html
[2]indoprogress.com/2016/09/akumulasi-primitif-dan-masalah-agraria-di-pesisir-sumenep/
[3]http://beritabumi.or.id/jadi-petani-sawit-berdasi-hanya-mimpi-di-arso-kabupaten-keerom-papua/
[4]https://tabloidjubi.wordpress.com/2008/01/23/kelapa-sawit-tak-sejahterakan-masyarakat-pir-ii-arso/
[5] Edy Rosariyanto, OFM peneliti dari Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Jayapura saat mempresentasikan penelitiannya dalam rangka ulang tahun SKP ke -10 (2007), Sabtu, 05 Juli 2007.
[6]http://www.ppmn.or.id/id/microsite/item/94-cerita-sendu-buruh-kelapa-sawit-papua
[7] Perilaku seks bebas seperti di atas meningkatkan risiko penularan HIV/AIDS. Di kampung Suskun HIV/AIDS bukan sesuatu yang biasa didengar, mungkin cuma beberapa orang saja yang tahu. Hal ini sangat berisiko karena masyarakat tidak punya pengetahuan yang cukup.
[7] Perilaku seks bebas seperti di atas meningkatkan risiko penularan HIV/AIDS. Di kampung Suskun HIV/AIDS bukan sesuatu yang biasa didengar, mungkin cuma beberapa orang saja yang tahu. Hal ini sangat berisiko karena masyarakat tidak punya pengetahuan yang cukup.
[8]. Hasil penelitian oleh Edy Rosariyanto, OFM tentang upah dan ganti rugi, Sabtu, 05 Juli 2007
Editor: Frans P
0 thoughts on “Perkebunan Sawit dan Keberadaan Masyarakat Adat Kerom”