Melian Nawipa: (Foto: Istimewa/AO/KM) |
Oleh: Melian Nawipa
OPINI, KM--- Industri pertambangan Indonesia afiliasi Freeport McMoRan Copper and Gol
Inc Amerika Serikat yang populer sebagai lembaga investasi multinasional sedang
menghadapi kemelut, terutama dalam relasinya dengan publik. Masalah demi masalah
selalu dan masih terus bertumpang-tindih dalam keberlangsungan operasi
penambangannya dikawasan adat Papua selama 48 tahun.
Sebetulnya bukanlah
masalah ekternal, tetapi kemungkinan besar ulahnya tak lain adalah ketidak-adilan
pengambilan langkah-langkah kebijakan dari kalangan internal perusahaan.
Konkritnya ialah sementara program awal belum tuntas, dengan begitu cepat dan
tergesa-gesa sang perusahaan raksasa ini terkadang mulai menggagas
rancangan-rancangan baru.
Sebagai contoh pertama adalah masalah hak-hak dasar
Indigenous People (Masyarakat Adat) yang terabaikan. Deklarasi Universal
tentang Hak Azasi Manusia (DUHAM) dan rekomendasi yang dibuat komisi
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Eliminasi Diskriminasi Rasial dan Rekomendasi
tentang Penduduk Asli, mewajibkan kepada seluruh pihak untuk mengakui dan
melindungi Masyarakat Hukum Adat dengan segala hak-hak dan wilayah
tradisionalnya dan larangan perampasan hak-hak dan wilayah Masyarakat Hukum
Adat dengan alasan apapun, kecuali disetujui oleh Masyarakat Adat tersebut dan
disertai kompensasi yang pantas, adil dan tepat.
Selanjutnya, Konvensi ILO 169
Tahun 1989 Concerning Indigenous and Tribal Peoples in Independent States
menetapkan bahwa setiap pemerintah harus menghormati kebudayaan dan nilai-nilai
spiritual masyarakat asli yang dijunjung tinggi dalam hubungan mereka dengan
lahan yang mereka tempati atau gunakan. Dengan kata lain Indigenous Peoples
adalah suatu entitas yang harus diakui dan dilindungi dengan pengakuan terhadap
hak-hak azasi mereka, seperti hak untuk penentuan nasib sendiri, hak atas
pembangunan, hak atas milik, hak atas kesehatan, hak hidup, serta sejumlah hak
lain yang diatur dalam konvensi tersebut. Namun, dalam konteks Perundingan
Kontrak Karya tahun 1967, Freeport kroninya tidak pernah mempedulikan hak-hak
dimaksud, karena orang asli Papua sebagai pemilik hak ulayat tidak diikut-sertakan
didalamnya.
Selain itu, menurut Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960
ditentukan bahwa perbuatan pengambil-alihan atau pemindahan tangan atas suatu
lokasi baru harus dilakukan secara resmi dan tertulis dalam bentuk pelepasan
tanah adat. Walaupun demikian, peraturan perundang-undangan ini ternyata hanya
sekadar wacana belaka. Buktinya, orang asli Papua sebagai pihak pertama sama
sekali belum pernah membuat kontrak tanah adat dengan Freeport selaku pihak
kedua. Dengan demikian, Kontrak Karya tahun 1967 dianggap ilegal karena
penandatanganan perjanjiannya hanya dilakukan dengan pihak kedua dan ketiga
(Indonesia).
Melakukan kompromi dengan pemilik tanah saja belum mampu, apalagi
mau membayar ganti rugi hak ulayat semaksimal mungkin dari pendapatan hasil
produksi tambang sekian tahun lamanya. Dana satu persen yang dikucurkan pasca
Kontrak Karya kedua ternyata hanyalah sebagai uang tutup malu atas
kesalahan-kesalahannya. Jadi sudah jelas investor dan elit kleptokrasi Freeport
melakukan perbuatan melawan Undang-undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1967
yang mengatur Ketentuan Pokok tentang Pertambangan. Yang kedua adalah isu
yang bersangkut paut dengan Renegosiasi Kontrak Karya Freeport yang mulai berkembang
antara tahun 2003 s/d 2010.
Selagi rencana tersebut masih alot hingga akhir
2013, Pemerintah Republik Indonesia tergesa-gesa melahirkan satu produk hukum
baru, yakni Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara yang
intinya memuat pelarangan ekspor konsentrat sejak 12 Januari 2014. Kalau
pemerintah mengambil langkah seperti ini sudah jelas berakibat fatal terhadap
Freeport sebagai Badan Usaha Milik Negara yang selalu membantu memperbesar
modal Anggaran Pedapatan dan Belanja Negara. Mengapa masalah pertama belum tuntas,
dengan sengaja dan segera menimbulkan masalah kedua, ketiga dan seterusnya.
Bagaimana mungkin bisa diketemukan solusi dan alternatif penyelesaiannya.
Dengan demikian, peraturan demi peraturan dinyatakan ilegal atau cacat hukum.
Bukan saja karena Pemerintah Republik Indonesia tidak mampu merealisasikan
keabsahan pemberlakuannya. Tetapi juga karena saat ini Kontrak Karya kedua
dengan masa konsesi 30 tahun sebagai perpanjangan Kontrak Karya pertama tahun
1967 belum finis. Kontrak Karya tersebut mulai terhitung tahun 1991, dan
selesai tahun 2021. Diatas tahun itulah saat yang tepat untuk menggelar perjanjian
dalam bentuk apa saja, entah Perpanjangan Kontrak Karya (Renegosiasi) ataupun pembuatan
Kontrak Karya baru.
Mengenai kejanggalan tersebut diakui juga oleh mantan Menteri
Koordinator Perekonomian Kabinet Indonesia Bersatu, Chairul Tanjung dalam
keterangan resminya seusai mengadakan rapat koordinasi dengan Menteri terkait
di Jakarta pada tanggal 28 Mei 2014. Beliau mengatakan, Renegosiasi masa
Kontrak Karya Freeport bukan kewenangan kabinet pemerintah saat ini. Menurut
dia, apa yang secara intensif dilakukan pemerintah saat ini hanyalah untuk
melaksanakan amanat Undang-undang Mineral dan Batubara (Minerba). Ada perbedaan
antara Kontrak Karya dan perpanjangan masa kontrak (Renegosiasi).
Dimana
mengenai perpanjangan masa Kontrak (Renegosiasi) dengan Freeport bisa dilakukan
oleh pemerintah yang akan datang, karena masa tersebut baru akan habis tahun
2021 dan paling cepat tahun 2019. Jadi maksud Chairul Tanjung, saat ini
pemerintah hanya berwenang membuat sebuah Perjanjian Kontrak Karya baru dengan
perusahaan atau lembaga investasi mana saja, bilamana Freeport bersedia
mencabut sahamnya. Sementara, Renegosiasi itupun tidak layak dilakukan saat
sekarang, berhubung masa Kontrak dengan Freeport McMoRan tahun 1967 yang
diperpanjang sejak tahun 1991 belum selesai.
Namun, sesuai sudut pandang atau
mekanisme hukum, pernyataan sang Menteri tersebut diatas sangatlah keliru. Saat
ini sangat tidak tepat sekali menetapkan kebijakan semodel apapun, entah itu
Renegosiasi, Undang-undang Minerba maupun Perjanjian Kontrak Karya baru,
berhubung Kontrak Karya tahun 1967 belum berakhir.
Penulis : Pemerhati Hak-hak Dasar Masyarakat
Adat Koteka Papua Barat
0 thoughts on “Freeport Indonesia Company Dalam Multiproblema”